My Hijab My Identity
Daftar Isi
“Di Semarang
kan panas, kamu nggak kegerahan pake kerudung lebar dan pake gamis gitu?”
“Ehm, nggak
tuh, gerah mah nggak pake ginian juga tetep kerasa,” jawabku santai, meskipun sebenarnya
gerahnya nggak ketulungan.
Ini cuplikan percakapanku dengan
salah satu teman kuliah dulu. percakapan biasa, saat ngobrol santai dan akrab
bersama teman gank yang sebagian
menutup aurat lengkap hingga kaos kaki, sebagian berkerudung kecil memakai rok,
ada yang santai ber jeans tapi
berkerudung, ada pula yang tomboi dan seorang yang selalu tampil cantik ber-make up dan belum berkerudung. Entah
kenapa kami begitu akrab waktu itu. Alhamdulillah, setelah sekian tahun tak
bertemu dan hanya berkomunikasi lewat dunia maya, hampir semuanya sudah
berjilbab rapi.
Sudah menjadi kodratnya jika segala
sesuatu berubah. Dan perubahan butuh proses panjang, baik perubahan positif
atau negatif. Mungkin kita heran saat mendapati teman kita berubah menjadi
pribadi yang sangat berbeda dengan yang kita kenal dulu, terlebih hidayah Allah
siapa yang mengira dan menjamin?
Sejak kecil aku dibesarkan dalam
keluarga yang agamis dan sangat kental ke-NU-an nya. Bapak tiap hari mengajar
di madrasah diniah, dan Mbah kakung menjadi penceramah di masjid dan beberapa
desa sekitar. Untuk urusan pakaian, pendidikan dan pergaulan, Bapak adalah
orang yang sangat ketat. Aturan berpakaian yang dibuat bapak untuk anak-anak
perempuannya adalah:
Panjang, Longgar,
dan pakai rok. Jika mau pakai celana, pakailah kulot dan panjang bajunya harus
minimal di atas lutut. Mau pakai celana pun izinnya belibet! Hm... semacam
aturan kuno yang menjengkelkan bukan?! Itulah yang kurasakan dulu.
Selalu ada keinginan untuk
berpakaian seperti teman-teman yang boleh memakai T-shirt, kaos oblong, celana jeans, dll. Tapi, memang waktu itu kami
pun tak punya cukup dana untuk sekedar bergaya. Ya, namanya orang kampung yang
hidup pas-pasan, beli baju baru setahun sekali menjelang idul fitri. Hihi. Jadi
semacam tradisi H-3 hingga H-1 pergi ke pasar dan menikmati keramaian di sana
sembari mencari baju baru.
Pernah juga merasa marah dengan
bapak dan ibu yang tidak pernah mengizinkanku membeli baju sesuai keinginan.
Lebih sering membeli bahan yang bahkan warna dan coraknya pun tidak kusukai,
lalu ibu menjahitkan dengan model tunik sederhana sesuai keahliannya menjahit,
maksudku waktu itu ibu hanya bisa menjahit beberapa model baju. Kunoooo....!!
batinku.
Selalu dan selalu kuutarakan
keinginanku untuk membeli kaos, baju casual,
dan celana jeans, tapi sebanyak itu
pula bapak menyerangku dengan dalil-dalil dan wejangan tentang menutup aurat
yang biasanya hanya kudengar sambil lalu.
Saat SMA, aku mulai lebih mengenal
jilbab (ah, lebih enak menggunakan kata jilbab untuk menggantikan kata khimar)
syar’i yang menutup dada. Aku pun mulai mencoba melebarkan jilbabku. Maksudnya
tentu bukan menyambungnya dengan kain lagi, tapi melipat segitiganya tidak pas
di tengah agar kain yang di luar sebagai jilbab lebih lebar. Oia, kain
seragamku dulu terbuat dari bahan hero, mirip bahan katun tapi sedikit lebih
kaku. Ini bahan yang populer dipakai untuk jilbab pada waktu itu, karena selain
harganya lebih murah warnanya pun beragam. Asal tahu saja, jilbabku yang cukup
lebar ukuran 115cm*115cm hanya seragam sekolah warna putih dan cokelat tua
saja. Di luar itu aku kembali memakai jilbab seadanya.
Gara-gara jilbab lebar ini temanku
pernah mengatai aku terlihat seperti anak SMA dari depan, tapi dari belakang
seperti ibu-ibu beranak dua. Dueng!!
Ah, namanya teman kan suka bercanda, hiburku pada diri sendiri.
Saat melanjutkan kuliah si Semarang,
aku dipertemukan dengan komunitas perempuan berjilbab lebar. Hehehe. Nggak ada
sebenarnya komunitas itu, cuma aku dulu menyebutnya begitu. Alhamdulillah,
berkat mbak-mbak kos yang shalihah cantik dan baik hati aku bisa terus
berpakaian syar’i. Bahkan dulu saat stok rok yang hanya tiga biji itu habis,
pagi-pagi sudah bersiap berangkat kuliah dengan celana kulot tetiba dicegat
salah satu mbak yang secepat kilat meminjamkan rok hitam lebarnya. Aaah...!!
terharu mengingat ini. Ada juga yang langganan meminjami jilbab dan baju,
bahkan memberi hadiah jilbab lebar. Terimakasih, mbakku semua...
*pelukciumsatusatu.
Sejak itulah aku mulai merasakan
betapa beruntungnya aku karena sejak kecil dulu orangtua selalu keras dalam
masalah pakaian. Ini juga yang membuat selera berpakaianku sampai sekarang
hampir tidak berubah. Alhamdulillah....
Perlahan, kerudung-kerudung tipis
kucomot dari lemari, berganti dengan kerudung segi empat lebar yang kebanyakan
kuperoleh dari hasil berjualan jilbab secara konsinyasi. Iya, keuntungan jualan
jilbab lebih sering kupakai untuk membeli jilbab. Lama-lama koleksi kerudung
sudah lebih dari cukup, yang artinya tidak perlu beli lagi dalam waktu lama
karena awetnya bisa bertahun-tahun.
Tantangan selanjutnya adalah cuaca
di Semarang yang cenderung panas, membuat siang hari terasa terpanggang.
Apalagi saat jalan kaki pulang kuliah atau ada jadwal kuliah siang. Rasanya
ingin buka jilbab dan berhenti di bawah pohon menunggu ada angin sepoi-sepoi
(hush!). untuk menyiasati ini kami biasanya sedia payung atau pas melewati ATM
dan kebetulan sepi sengaja masuk ke ATM untuk sejenak ngadem, pura-pura cek saldo tabungan, gitulah... Haha.
Dituduh pengikut aliran sesat
Pengikut aliran sesat. Wahab*.
Ekstrimis. Itulah berbagai kata yang dilontarkan masyarakat di sekitarku saat
aku pulang liburan kuliah dengan penampilan yang berubah: kerudung lebar, rok
lebar dan kaos kaki. Berbagai pandangan sinis selalu kuterima saat melintas di
depan banyak orang. Bahkan pernah seorang tokoh menyindirku saat beliau mengisi
pengajian di masjid. Katanya aku ini menggadaikan keyakinan dengan berpindah
mazhab demi mendapat beasiswa kuliah, mana belum nikah juga orangnya. Kalau
dipikir-pikir nggak nyambung juga sih si ibu itu, memangnya apa hubungannya saya
dapat beasiswa kuliah di Undip, belum menikah dan penampilan yang berubah?! .
Hihihi.
Untungnya bapak membelaku saat
seorang keluarga memprotes penampilanku. Bapak bilang, imam Syafi’i bahkan
mewajibkan bercadar, tidak hanya kaos kaki. Fyuuuh...
lega.. ternyata bapak mendukung.
Sejak saat itulah semakin merasa
mantap dan nyaman memakai pakaian yang lebar. Alhamdulillah jejakku ini pun
diikuti oleh kedua adik perempuanku yang melanjutkan kuliah di Purwokerto dan
Semarang. Kini kami selalu kompak, sering memakai baju yang sama atau senada,
kerudung lebar, dan kadang sedikit modifikasi/kombinasi warna, agar kami bisa
‘mengatakan’ kepada keluarga besar bahwa berjilbab lebar pun bisa tetap fashionable.
Hijab nyaman di Hati
Hijab yang nyaman di hati tentunya
yang sesuai dengan aturan Allah, syar’i itu syarat utamanya. Menutup dada itu
wajibnya, dan mengulurkannya ke bawah itu sunnah. Sebelum menikah, sangat
nyaman memakai blouse, rok lebar
dengan dalaman kulot, dan kerudung segiempat. Dengan penampilan seperti ini
bisa bebas keman-mana dan nyaman hangout
kemana aja. Kerja, ngaji, ke perpus, main ke gunung, jalan kaki pulang-pergi
kerja, ngajar les, dll. Benar-benar pakaian multifungsi.
Setelah menjadi emak-emak, ternyata
selera selera sedikit berubah, lebih karena tuntutan profesi agar simpel dan
tidak ribet. Hijab yang nyaman itu yang mudah dipakai, akses menyusuinya
gampang, bahannya adem nyaman tidak mudah kusut, dan bawah tetap lebar agar
bisa ‘pencilakan’ keman-mana. Hihi nggak ding,
biar bisa main sama anak yang suka lari-larian maksudnya.
Untuk khimarnya sekarang juga jarang
pakai yang segiempat kecuali untuk datang ke acara yang formal. Saat mengintip
lemari pun sambil senyum-senyum karena tumpukan khimar segiempatnya hampir
tidak pernah berubah. Lebih banyak pakai bergo-bergo kaos untuk di rumah dan
khimar semi instan bahan cerutty
untuk pergi-pergi. Iya, punya balita yang masih nge-ASI memang kudu waspada
dengan peniti dan jarum-jarum yang biasanya akrab dengan hijaber.
d' sisters. tebak aku yang mana? hihi |
Sejatinya, berhijab itu adalah bentuk
ketaatan pada yang memberi kehidupan, untuk membentengi diri dari perbuatan maksiat,
dan menjadi pengingat agar senantiasa menghiasi diri dengan akhlaqul karimah.
Mau dalam kondisi apapun, berhijab
itu wajib bagi setiap muslimah. So, nggak perlu dibikin ribet dan harus
ngikutin trend kekinian dalam busana
muslimah. Jika ada rejeki cukup untuk itu, alhamdulillah dan kenapa nggak? tapi
alangkah lebih baik jika dialokasikan untuk yang lain daripada sekadar
mengoleksi baju di lemari. Jika tidak ada? Ya syukuri apa yang ada karena
prinsip syar’i itu tidak terbatas pada model dan waktu. Setuju?! Mari berhijab,
because hijab is muslimah identity.
Tulisan ini diikutkan dalam GiveAway #HijabNyamandiHati
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Tulisan yang sunggug direkomendasikan ke para muslimah.
InshaAllah, aamiin..^_^
Sama mba saya sejak punya bayi juga sukanya yg simple kyk jilbab instan gtu....
jilbab dan baju lebar justru memberi perlindungan yang ya mbak :)
walau pernah dibilang seperti 'karung'
*ihiks*
Subhaanalloh bagus bgt tulisannya..
Baarokallaahufiik...
Kalo foto2 brg jualannya dmna dik.