Pencerahan di KMGP The Book
Daftar Isi
Beberapa hari
terakhir banyak broadcast mampir ke Whatss App-ku yang isinya ajakan untuk menonton KMGP The movie. Sebenarnya sejak awal tahu Bunda
Helvy mau membuat proyek film KMGP langsung penasaran dan menunggu. Selalu mengikuti
update beritanya baik di facebook maupun instagram mulai dari awal penggalangan
dana, casting aktor dan aktris nya,
sampai suasana di lokasi syuting. Memang sih, ada kendala ketika ingin datang
ke agenda-agenda yang mendukung selesainya film KMGP.
Apaan sih?! Ko banyak
yang heboh?!
Hm.. sebenarnya KMGP
alias ‘Ketika Mas Gagah Pergi’ ini adalah judul dari
salah satu kumpulan novelet karya Helvy Tiana Rosa (HTR), pertama kali terbit
tahun 1997. Tahun itu aku masih duduk di bangku SD, dan belum kenal lah sama novel
dan cerpen bergenre islami seperti itu.
Tahun 1999 akhir aku
masuk SMP dan bertemu dengan seorang sahabat, dari dia lah aku kenal majalah
Annida, dan ia pun rajin meminjamiku buku-buku islami koleksinya. Kalau tidak
salah ingat, awal tahun 2000 KMGP lah novel islami pertama yang kubaca. Saat itu
kubawa novel itu baik-baik di tas takut kena hujan saat pulang sekolah jalan
kaki, lalu di rumah kujauhkan dari adik-adikku takut ada lembarannya yang sobek
atau terlipat. Bapak yang sama-sama hobi membaca pun ikut menikmati dan menjadi
diskusi panjang bersama beliau. Bahkan buku itulah yang menjadi lembar pertama
di diary-ku. Waktu SD mah belum kenal apa-apa termasuk buku harian, baru tahu
saat SMP, memang katrok sih, ehehe.
Cover Buku KMGP |
Waktu membaca
kisahnya langsung mewek sejadi-jadinya, baca di pojokan sambil ngusap-ngusap
air mata. Hiks. Berkesan banget sih buku itu, sampai makin pengen punya ‘mas
gagah’ juga yang setia melindungi ‘adik manis’ nya. Hm.. waktu itu aku merasakan
semacam derita anak cewek pertama yang ingin punya kakak, gitu lhoh!
Setidaknya, meskipun
waktu itu aku belum paham betul tentang berbagai hal mengenai apa yang Mas Gagah
sebut sebagai ‘dakwah’ , ‘jihad’ dan sebagainya, tapi menjadi kesan mendalam
buatku untuk mulai berjilbab dengan benar. Ya, waktu itu aku masih lepas-pakai
jilbab, karena sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri dan wajib berjilbab, tapi
sepulang sekolah seringkali melepas jilbab di jalan jika kegerahan. Ups!
Dan, waktu ada iklan
tiket pre-sale nya KMGP the movie, langsung semangat ingin daftar berdua sama ‘Mas
Gagah’ eh iya, sekarang sudah punya, hihi. Tapi, namanya emak-emak
akhirnya batal karena berbagai pertimbangan.
Yasudah, nonton
tanggal 21 aja, semoga bisa. Ternyata sampai tanggal 21 dan sampai hari ini
belum kesampaian juga buat nonton, belum klop jadwalnya. Jadi nyari-nyari deh
cerita aslinya KMGP, lumayan buat ngademin ati, meskipun jadinya mewek lagi
waktu baca.
Semoga pas bisa
nonton pas film nya masih diputar di Citra XXI. Aamiin..
Penasaran nggak sih, sama filmnya? intip thrillernya di You-tube dulu yuk..
Terimakasih banyak
buat Istiqomah, sahabatku dan tiga
kakaknya yang shalihah nan baik hati yang selalu meminjami buku dan majalah,
dan membuatku menemukan jalan ini. Semoga berkah dan bermanfaat, hanya Allah
yang bisa membalasnya. *kiss*
Kamu penasaran juga
cerita KMGP? Nih, ada versi aslinya
diambil dari islamedia.id KETIKA MAS GAGAH PERGI
Mas gagah berubah!
Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku
satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira
Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang
sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku
sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke
mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan
membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan
mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik,
menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia
dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami
akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau
sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat
lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan
sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan
teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira
ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak
menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua
dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak kamu itu keren,
cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git, gara-gara kamu
bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan
teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!”
“Gimana ya Git, agar
Mas Gagah suka padaku?”
Dan banyak lagi
lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan
pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas belum minat
tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran.
Banyak juga yang patah hati! He..he..he…”Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam
pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa
depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan
shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang
telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah!
Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan.
Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
“Mas Gagah! Mas! Mas
Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah
keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya.
Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab
gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum
memberi salam!
“Assalaamu’alaikum!”seruku.
Pintu kamar terbuka
dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa alaikummussalaam
warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin
kasetnya!”kataku sewot.
“Lho memangnya
kenapa?”
“Gita kesel bin
sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok
lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini Nasyid. Bukan
sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho, kamar ini kan
daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas
anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang
di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita
terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba
terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang
kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya
kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau
begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Bagus lho!”
“Ndak, pokoknya Gita
nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku
benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana
kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?”
“Wah, ini nggak
seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan
manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau
denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan
Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik
kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan
itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui
Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal
agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji
atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang
hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.
Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas
rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan
harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas
Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya
dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan
kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku
Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang
nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
“Penampilanmu kok
sekarang lain Gah?”
“Lain gimana Ma?”
“Ya nggak semodis
dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu
yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma
senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih
santun.”
Ya, dalam
pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan
panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi
mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja masih
lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma
tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga
kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males
banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya.
Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling
gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas
Gagah?”
“Sok kece banget sih
Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di
sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak
menghargai orang!”
“Justru karena Mas
menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat
sabar. “Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan.
Itu yang lebih benar!”
Huh, nggak mau
salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa
hubungannya?”
Mas Gagah membuka
sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca!”
Kubaca keras-keras.
“Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak
pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori
Muslim.”
Mas Gagah tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau
salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah
qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku.
“Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik manis? Coba
untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah
dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah
terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku
juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya
aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah.
Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku
yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah.
Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
“Mau kemana Gita?”
“Nonton sama
temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis Mas Gagah kalau diajak
nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut Mas aja yuk!”
“Ke mana? Ke tempat
yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat
jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada
pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu
tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan
berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans
belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa
disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung
yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum!”
terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Gita
nggak dikenalin?”tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman
Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak
memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa
menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar
baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
“Subhanallah,
berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengah histeris mendengar
ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi.
Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?’ ulangku.
“Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang keras membuat
beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Husy, untuk
laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai
untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tika sambil menghirup es kelapa
mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan
paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut.
Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh Git. Nggak
usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu
menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas
Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam
dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat
kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini.
Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
“Eh kapan kamu main
ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita
mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan
kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura
cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk
pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Aku senang kamu mau
membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita
banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
“Mbak Ana?”
“Sepupuku yang
kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib.
Itulah hidayah.
“Hidayah.”
“Nginap ya. Kita
ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”
“Assalaamualaikum,
Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Gagah!
Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” Kata Mas Gagah
pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika,
teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?”tanyaku sambil mengitari
kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina,
Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar.
Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
“Cuma lagi baca!”
“Buku apa?”
“Tumben kamu pingin
tahu?”
“Tunjukkin dong,
Mas…buku apa sih?”desakku.
“Eiit…eiitt Mas
Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!”serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!”serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
“Naah yaaaa!”aku
tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku “Memilih Jodoh
dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa Dik Manis?”
“Gita akhwat bukan
sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat atau
bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa.
Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah,
Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya.
Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta
pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah
sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan
semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air
mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena
Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak
meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas
bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di
belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan
dan tidur beratap langit.”
Sesaat kami terdiam.
Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok tumben Gita mau
dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan
sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Memangnya Gita
ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja. Gita
ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku
ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur
ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu.
Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami
lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda
Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di
mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila
sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
“Apa nggak bosan,
Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?”
tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas
Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya
pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu.
Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga
diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan
seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana
hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang
kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti
agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah
mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang
sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum.
“Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama.”
Memang sudah
beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah,
dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian
beliau.
“Gita mau tapi nggak
sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek
masa depan dan semacamnya.
“Itu bukan
halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
“Ini hidayah, Gita.”
Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan
Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
“Lho! ” Mas Gagah
bengong.
Dengan penuh
kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara
studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah
satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin
berteriak, “Hei itu kan Mas Gagah-ku!”
Mas Gagah tampil
tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya
luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih
mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik
dan tuntas. Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi
yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai
kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu
Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era
globalisasi. “Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat
wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab
sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para
muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, ” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku.
Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara
memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan
berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih
kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan
Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian
mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas ikhwan! Mas
Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum
pulang. “kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih,
Ma??” keluhku.
“Kan diundang
ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan
nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid.
“
“Insya Allah nggak.
Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama menepis
gelisahku.
Kugaruk-garuk
kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita
mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’
Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam
perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi
detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang
juga.
“Nginap barangkali,
Ma.” Duga Papa.
Mama menggeleng.
“Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”
Aku menghela napas
panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap
Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiinggg!” telpon
berdering.
Papa mengangkat
telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa.” Tanya
Mama cemas.
“Gagah…kecelakaan…Rumah
Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaahhhh”
Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar
kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh
perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai
Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
” Tetapi saya Gita
adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini.” Kataku emosi
pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih
tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”
Di pojok ruangan
Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah.
Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah
akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa
ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang
menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan
dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
“Mas Gagah, sembuh
ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…”
bisikku.
Tiga jam kemudian
kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal
kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam
kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas
Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga.”
Tak lama Dokter Joko
yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama
Papa, Mama dan Gi..”
“Gita…” suaraku
serak menahan tangis.
Pergunakan waktu
yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk
bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.” Perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
“Mas…ini Gita Mas..”
sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah
bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Tubuh Mas Gagah
bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.”
Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai
perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.
Perlahan kelopak matanya terbuka.
“Aku
tersenyum.”Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
“Jangan ngomong
apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk
mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa
memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki
beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah
tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter
mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan
tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak.
Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa
membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi
air mata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil
menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas
Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan
Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik
bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad
Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami
dengar.
Mas Gagah telah
kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku
memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga.
Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali
kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan
jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan
kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas
Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid.
Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan
kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid
di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan
ini.
Setitik air mataku
jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat
bukan sih?”
“Ya, insya Allah
akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu
harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok nanya gitu
sih?”
“Lha, Mas Gagah kan
ada janggutnya?”
“Ganteng kan?”
“Uuuuu! Eh, Mas,
kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong,
jihad itu…”
Setetes, dua tetes
air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya
pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!
Buat ukhti manis
Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas
Gagah!
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam