Jika Waktuku Tersisa 8 Hari Menuju Ajal
Daftar Isi
Bismillahirrahmanirrahim,
Teman-teman, apa kabar? Semoga selalu dalam lindungan Allah dalam setiap
aktivitas kita. Aamiin.
"Kematian
yg paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yg menancap di selembar kain
sutera.
Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yg tersobek ?" (HR Bukhori)
Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yg tersobek ?" (HR Bukhori)
Berbicara tentang kematian, apa yang terlintas dalam pikiran? Kalau saya
yang pertama adalah sakitnya sakaratul maut seperti dalam hadits di atas. Dalam
riayat lain mengatakan rasanya seperti tusukan 300 pedang. Bisa terbayangkan
betapa sakitnya? Sangat jauh melebihi nyeri di perut pasca operasi caesar.
Lalu pertanyaan selanjutnya pun muncul: sudahkah kamu siap menghadapinya bila saatnya tiba?! Mau tak mau
kita harus siap dengan apapun yang terjadi. Yakin sudah siap? Apa saja yang sudah kamu
siapkan untuk bekal menuju hari itu dan hari-hari panjang setelahnya?!
Astaghfirullah, hanya bisa
merenung dan menangis dalam hati. Bayangan kematian beberapa keluarga dan
sahabat pun terlintas. Mbah kakung yang berpulang setelah bermimpi beliau dalam
perjalanan menunaikan ibadah haji. Sampai wafatnya impian beliau untuk
menunaikan ibadah haji belum terlaksana. Lalu Mbah putri yang meninggal di
pangkuan anak kesayangannya, belum genap sehari setelah kuantarkan beliau
menuju rumah bulik. Ada pula teman yang meninggal pada malam menjelang akad
nikahnya. Teman yang lain dipanggil Allah hanya sebulan pasca melahirkan anak
pertama yang telah dinanti selama tiga tahun lamanya. Rahasia kematian, siapa
yang tahu?.
Sudah punya bekal apa? seberapa banyak? sudah siap mati? |
Lagi-lagi pertanyaan yang sama muncul “Sudah punya bekal apa?!”
Entahlah, karena tugas kita hanya untuk beribadah sebaik-baiknya, untuk
mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya, untuk memberi manfaat seluas-luasnya
agar saat nanti jatah kita berkunjung di dunia ini telah habis, kita bisa
tersenyum menyambut datangnya malaikat maut. Ikhlas menerima titahNya dan
orang-orang yang kita tinggalkan pun ridha dengan keputusanNya.
Aku tak pernah membayangkan jika suatu saat malaikat maut datang tapi
bukan untuk mencabut nyawaku melainkan memberi peringatan, Arin! Jatahmu di
dunia ini tinggal 8 hari lagi! Siapkan dirimu sebaik-baiknya! Mungkin begitu
kalimatnya dengan suara yang menggelegar. Tubuhku pun merasakan getaran hebat, ketakutan
yang sangat menyergap. Entah jika itu benar-benar terjadi aku masih bisa
berfikir waras atau tidak.
Kalau memang benar adanya, 8 hari menjelang kematian adalah waktu yang
sangat singkat dibandingkan 10.460 hari yang telah kulalui. Banyak ulama
megatakan bahwa menjelang kematian seseorang telah ada tanda-tanda yang
diberikan Allah padanya, hanya saja sebagai manusia sering lupa dan
mengabaikannya.
Mungkin saat itu tak akan ada lagi pikiran buruk dan jahat untuk menuju
maksiat. Dalam hati yang ada hanya Allah dan Allah serta memotivasi dan
meningkatkan kebajikan. Kenapa? Karena aset waktu yang kita punya itu tak akan
ada lagi. Setelah nyawa tercabut maka pintu taubat telah tertutup. Sanggupkah untuk
menerima siksa yang pedih?! Dan aku pun lagi-lagi hanya bergidig ngeri
membayangkan setiap hal.
Ibu, maafkan anakmu ini yang jarang sekali menjengukmu, jarang menanyakan
kabarmu bahkan sekedar lewat SMS atau telpon di pagi hari. Maafkan aku yang
terlalu disibukkan dengan berbagai macam urusan hingga melupakanmu. Terkadang saat
aku ingat untuk menanyakan kabar, aku sadar ternyata hari telah meninggi dan
kau pasti tengah berjibaku dengan pekerjaanmu yang menggunung.
Ya, aku harus menghabiskan waktu berharga itu bersamanya barang beberapa
hari. Meminta maaf dan ridha darinya,
meminta do’a-do’a dari ketulusan hatinya, dan memanjakannya. Aku sadar semua
itu tak mampu menggantikan pengorbanannya sejak aku masih dalam rahimnya hingga
menjadi seorang perempuan dewasa.
Juga ibu mertuayang rela kurepotkan dari hari ke hari, yang ikhlas
membimbing dan menemaniku bahkan dalam masa-masa sulit. Ibu yang tak pernah mengumbar
aib anak-anaknya, yang tak pernah berbicara kasar meski kami berbeda pendapat. Ibu
yang dengan lapang menerima seorang perempuan tak dikenal tiba-tiba merebut
perhatian putra terkasihnya. Semoga ia pun ridha dan Allah yang membalas setiap
tetes keringat pengorbanannya.
Suamiku. Ridha-nya adalah yang paling penting dan utama saat ini karena aku
berada dalam tanggung jawabnya. Semoga jerih payahnya untuk menghabiskan waktu
untuk mencari nafkah selalu Allah catat sebagai amal kebaikan. Semoga kasih
sayangnya kepada keluarga akan melahirkan anak-anak shalih/ah yang mendoakan
orang tuanya. Mendoakanku.
Oia! Aku pun harus melihat lagi
adakah aku mempunyai hutang dan janji yang belum tertunaikan? Aku sangat
tidak ingin hal ini menjadi penghalangku kelak. Aku pun harus menyelesaikan semua amanah yang ada di pundakku saat ini, tak
ada lagi alasan untuk menunda-nunda. Apa jadinya nanti jika pertanyaan Allah
sampai padaku tentang amanah yang seharusnya kuemban tetapi malah kusepelekan?!
Lalu harus segera membayar hutang
puasaku yang masih beberapa hari. Aku tersadar, hari-hari yang sebelumnya
aku terlalu bersantai dan banyak alasan untuk menunda qadha puasa ramadhan. Masih menyusui, lupa sahur, dehidrasi dan
banyak hal lain yang membuat puasaku batal.
Memperbaiki kualitas ibadah,
itu juga prioritas. Jika selama ini shalat, puasa, tilawah Al-qur’an dan
sebagainya hanya untuk menunaikan kewajiban tanpa ada ruh yang mengiringi maka
Setelah itu, aku harus menyiapkan sehari khusus untuk menanam pohon. Bukankah menjaga
lingkungan itu sunnah? Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan ada perintah
untuk menanam sebiji kurma di tangan meskipun kiamat telah datang. Menanam
pohon agar jika pohon itu tumbuh lalu bermanfaat untuk banyak orang maka aku
pun seperti mendapat angin segar sama seperti yang mereka dapatkan.
Bagaimana dengan sedekahmu, Arin?!
Apakah selama ini masih lebih memikirkan hidupmu dan keluargamu sendiri
dibandingkan orang-orang menderita di sekitarmu? Sudahkah kamu melihat mereka
dan tidak hanya berkutat dengan masalah – masalahmu yang mungkin tak ada
habisnya itu? Kapan lagi kau peduli jika tak pernah meluangkan waktu khusus
untuk memikirkan mereka?! Aaargh! Ini
seperti suara-suara malaikat yang kuiyakan dengan tangis.
Hanya 8 hari, cukupkah? Untuk ibu, suami, janji pada teman-teman dan
amanah, membayar hutang, menanam pohon, sedekah, dan sederet rencana lainnya.
Mungkin mata ini tak sanggup lagi terpejam untuk membayar kesalahan dan
kelalaian yang telah lalu. Hanya bibir yang terus menerus mengucap dzikir dan
istighfar, bertaubat dan memohon ampunan dariNya. Harus cukup karena hanya itu
tenggat waktunya.
Terakhir, aku ingin tetap menulis.
Karena menulis adalah ibadah, pun dengan setiap nafas yang terhela. Semoga kata-kata
sederhana yang kutorehkan bisa mencerahkan para pembacanya, agar pahala
mengalir meski ragaku telah berkalang tanah.
Sebuah quote membuatku makin
tergugu, ‘kematian bukanlah satu hal
yang harus ditakuti, tapi kepulangan yang dirindukan’. Ya, itulah hakikat
pulang yang sesungguhnya karena hanya sejenak kita singgah di dunia ini.
Semoga, bisa menyambutnya dengan senyum terikhlas dan mendapat husnul
khatimah. Aamiin..
Pergi dengan husnul khatimah, aamiin.. |
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam