Merajut Mimpi Bersama Bapak
Daftar Isi
Mengingat masa kecil, bagiku sama dengan membuka kembali luka lama yang
telah mengering tapi bekasnya tak bisa disembunyikan. Ada masa getir bersama
ketiga adikku yang masih kecil. Ada masa haru biru saat keluarga kecil kami
sangat tidak dianggap oleh keluarga besar, hanya bully-an meraka yang selalu ada untuk kami. Ada masa pemberontakan
di dalam hati tapi tidak bisa mengungkapkan sehingga yang terjadi adalah sikap tak
acuh dengan wajah garang dan cemberut.
Siapa mau disalahkan?! Tidak ada. Cukup menjadi pelajaran buatku bahwa korban
bully itu tak pernah lupa dengan apa
yang dialaminya di masa lalu, dan ada efek psikologis yang sangat besar semacam
penyakit yang tidak terdiagnosa oleh dokter tapi sebenarnya ia menyerang dengan
ganas. Ah, sudahlah semoga penyakit itu akan hilang dengan sendirinya terhapus
oleh keikhlasan meskipun rasanya seperti terluka tanpa darah. Aku belajar untuk
tidak mem-bullly agar tak ada lagi korban
masa lalu.
Ya, cukuplah masa lalu menjadi pelajaran berharga dan biarlah kukenang moment-moment bersama bapak dan keluarga kami, tak perlu memikirkan
orang-orang di luar itu yang kadang begitu mudahnya men-judge tanpa mengetahui latar belakang setiap masalah. Ups. Malah kembali ke topik ini lagi..
hihi. Sudah-sudah! Cut! Ganti screen! Hehe.
Masa kecilku menyenangkan! Itu yang pertama. Aku dilahirkan di keluarga
petani sederhana di sebuah desa kecil di Kabupaten Wonosobo. Teman-teman tahu
Wonosobo? Itu lho, yang ada tempat wisata keren DIENG PLATEU. Pernah ke Dieng? Jika
belum, sesekali saat berkunjung ke sana bisa berbelok dulu sebelum menempuh
perjalanan menanjak ke pegunungan Dieng, berbelok ke arah desaku yang masih
hijau dan asri, Desa Wonokromo. Tidak perlu khawatir tak menemukan pemandangan
indah karena menuju Wonokromo mata kita akan dimanjakan oleh view kelak-kelok sungai serayu dan
sawah-sawah terasering di tebing-tebingnya. Jalannya yang naik turun
mengingatkan pada film kartun tahun 90’an.. ‘mendaki gunung lewati lembah.. sungai
mengalir indah ke samudera..’ iya.. Ninja Hatori. Hihi
Pemandangan di jalan menuju Desa Wonokromo |
Gunung Sindoro dan Gunung kembang dilihat dari sekitar Desa Wonokromo |
Di sanalah petualanganku yang sebenarnya bermula. Petualangan a la anak
desa yang akrab dengan aroma sawah, ladang, kerbau, kambing dan ayam. Tak jarang
aku membantu bapak mengirim makanan dan minuman saat istirahat di ladang. Kali lain
aku ikut memetik biji-biji kopi, sayur, cabai dan hasil sawah lainnya. bergumul
dengan lumpur dan kerbau saat membajak sawah adalah hal seru lainnya.
Oia, masa kecilku dulu belum ada listrik masuk desa. Setiap hari
anak-anak berkumpul di masjid untuk belajar mengaji. Setelah shalat maghrib
belajar membaca Alqur’an dan setelah shalat isya belajar ilmu agama. Meskipun kami
harus berangkat dan pulang beramai-ramai sambil membawa obor, masjid tak pernah
sepi dari anak-anak. Belajar di rumah pun dengan bantuan lampu teplok atau senthir dalam Bahasa Jawa, sesekali
memakai lilin jika ada uang untuk membelinya.
Meski bukan keluarga berada, tapi bapakku adalah orang yang sangat peduli
pendidikan. ia bercota-cita anaknya melanjutkan sekolah hingga perguruan
tinggi. Mimpi-mimpinya itu sekaligus menjadi mimpi ku karena hampir setiap saat
dalam kebersamaan kami di sawah, bapak tak henti membicarakan soal itu.
”Ayo, yang rajin bantu Bapak di Sawah, Nduk.. nanti kalau kita punya uang banyak bisa beli ini itu, bisa
sekolah tinggi, dll.” Kurang lebih begitu yang beliau katakan. Beliau ingin
anak-anaknya menjadi ‘orang’, sekolah tinggi, punya ilmu agama sekaligus paham
ilmu umum, dan menjadi orang yang bermanfaat.
Atau saat bapak memulai pembicaraan dengan kalimat “Kelak jika kalian
sudah besar...” dan aku pun terhanyut dalam mimpi-mimpinya terutama untuk
sekolah tinggi dengan beasiswa atau dengan biaya sendiri.
Ah, banyak kenangan bersama pahlawanku itu.
Tapi kami pun pernah tertipu. Iya, tertipu karena rayuan menggiurkan dari
investasi abal-abal sebuah yayasan A. Awalnya bapak pun tidak percaya dengan
uang Rp.14.000 untuk membeli semacam sertifikat/saham yang akan dilipatgandakan
menjadi 1 juta. Uang belasan ribu saja bagiku sudah besar, apalagi sejuta? Belum
lagi jika bapak mendaftarkan semua anggota keluarga paling tidak 5 juta akan
kami terima. Sungguh tak masuk akal bukan? Tapi berdasarkan kepercayaannya
kepada seorang kyai yang mengajak anggota pengajian, bapak pun dengan setengah
hati ikut mendaftar.
“Bismillah, semoga tidak tertipu,” kata bapak waktu itu.
Aku bahkan belum bisa membayangkan sebanyak apa uang berjuta-juta itu. Hanya
membayangkan jika aku punya uang banyak aku akan membeli TV, kamera, dan mesin fotokopilalu
membuka jasa fotokopi dan toko ATK karena di sekitar desaku belum ada. Lain lagi
dengan bapak yang punya mimpi mempunyai toko buku biar bisa baca buku tanpa
beli setiap hari, katanya.
Malang tak dapat ditolak, rupanya kami benar-benar tertipu. Mau bagaimana
lagi? Selain harus terus memandang ke depan dan melupakan pengalaman pahit itu.
Uang kami pun tak akan bisa kembali meski ratusan warga berdemo ke kediaman pak
kyai itu hingga beliau diperkarakan dan berakhir di hotel prodeo.
Mimpi kami, bapak dan aku serta ketiga adikku masih terus meninggi bahkan
setelah insiden investasi bodong itu.
Alhamdulillah, sebagian dari mimpi itu telah tercapai, meski belum sempurna.
Sebagian dari mimpi kami yang sudah tercapai: wisuda S1 adik |
Ada banyak kenangan lucu dan menyedihkan lainnya yang tak cukup
diceritakan di sini. Penah hampir diculik sama seorang ibu yang punya anak
tunggal dan ingin aku menjadi anak keduanya bukan istri ke dua lho, ups.
Ada kisah saat ‘ditipu’ nenek yang mengatakan budhe sedang di sawah lalu aku
bersama sepupuku mencarinya ke sawah dan ternyata tak mendapati beliau di sana.
Usut punya usut, budhe sedang pergi ke pasar.
Oia, sebelumnya pernah kuceritakan kisah perjalanan hidupku di MetamorfoSelf:Sekelumit Kisah Si-Ulat Kecil.
Kenangan masa kecil Teman-teman bagaimana? Seperti roller coaster? Atau datar
dan mulus seperti jalan tol? Seperti apapun itu, masa lalu tak berhak merampas
kebahagiaan kita. Kenangan masa kecil yang sempurna atau pincang tetap menjadi
bagian dari perjalanan hidup yang harus disyukuri.
Inilah keluarga kami, foto diambil tahun 2012. dok pribadi |
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Ahhh, yang perih-perih di masa lalu sekarang rasanya asyik buat ditertawakan bersama. :)
baca kisah mbak jadi kebayang buku pelajaran SD; ngantar makan siang ke sawah. makan bersama di gubuk di tengah sawah. indahnya.