MetamorfoSelf: Sekelumit Kisah Si Ulat Kecil
Daftar Isi
Episode Ulat Kecil
Menjelang
dini hari, di riak gerimis bulan Juni. Pasangan muda itu tengah menanti
kelahiran buah hati pertamanya. Hanya di dalam rumah diatas dipan usang
berkasur tipis si ibu yang masih belia menahan sakit tak terkira.
Rintihannya diselingi takbir dan istighfar. Dukun bayi yang akan membantu
persalinan ikut mengurut perutnya dan membimbing mengejan.
‘Ah,
padahal belumlah 8 bulan sudah tak sabarkah kau di dalam sana, Nak? Semoga kau
baik-baik saja...’ batin si Ibu.
Calon bapaknya pun tak kalah jeri menyaksikan perjuangan istrinya bergulat
dengan waktu dan rasa sakit. Detik demi detik berlalu seperti waktu yang
terhenti, tak ada pergerakan. Saat tangisan pertama itu pecah ucapan syukur
terlantun dari bibir-bibir mereka, gema adzan syahdu mengalir di telinga kanan
si bayi dan iqamat melengkapi telinga kirinya.
Tunjukkanlah kepada kami perbuatan yang baik
bagitu harapan besar mereka yang tersemat dalam nama si jabang bayi, Si-mungil yang besarnya tak lebih dari botol air mineral 600ml.
Dekil. Ingusan. Kutuan. Begitulah si bayi tumbuh menjadi gadis kecil yang penurut
tapi tak jarang bandel. Hobinya bergumul dengan lumpur sawah dan nyamuk-nyamuk
di ladang.
Ia kenyang oleh cacian dan hinaan bahkan dari saudara-saudara dekatnya, yang
hanya ia terima dengan diam dan menangis dalam hati. Apalah yang diharapkan
oleh keluarga sederhana serba kekurangan itu selain keajaiban dari Allah.
Beruntung, si gadis dekil meski mindernya tak ketulungan tapi ia langganan
juara kelas dan menjadi kesayangan guru-guru, ikut lomba sana-sini meski hanya
menjadi penggembira karena tak pernah menggondol juara.
Semakin beranjak besar ia bukan menjadi gadis ceria tapi malah makin cemberut
dan bersungut-sungut jika menghadapi sesuatu yang membuatnya tak enak hati. Hanya
buku dari perpustakaan sekolah yang menjadi sahabat setianya.
Masuk SMP, masih selalu menerima bullyng
dari teman-temannya. Beruntung ia menemukan sahabat baik yang tak berteman
karena fisik.
Duduk di
bangku SMA, ia mulai menemukan jati dirinya. Rasa percaya diri mulai tumbuh dan ia mulai aktif
mengikuti kegiatan OSIS dan Pramuka. Tak hanya itu, kini ia berani berbicara di
depan kelas atau dengan lawan jenisnya. Ah, dulu ia tak pernah sekedar memulai dengan
teman-temannya, ibarat kata orang seperti gendang yang harus dipukul dahulu
agar berbunyi.
Ia
membangun mimpi bersama bapaknya: meraih beasiswa untuk kuliah di tempat
terbaik. Hm... mimpi yang teramat tinggi seperti pungguk merindukan bulan.
Mimpi yang seringkali dibicarakan saat di sawah atau saat mengupas jagung
dirumah. Mimpi yang hanya digantungkan pada Allah saja, karena mereka sangat
sadar diri bukan orang berpunya.
Suatu hari
ia tengah memipil jagung untuk dijual dan hasilnya untuk uang saku sekolah esoknya.
Si Bapak tiba-tiba menghampiri.
“Nduk, kalau nggak usah kuliah gimana?
Bapak sepertinya nggak sanggup dengan biaya kuliah sementara adik-adikmu pun
masih sekolah,”
“Semoga
beneran bisa dapat beasiswa ya Pak jadi bisa tetap kuliah,” jawabnya dengan
mata berkaca-kaca. Sungguh ia tak ingin membebani kedua orangtuanya namun ia
juga punya mimpi besar yang sangat ingin diwujudkannya.
Ia kembali
meneruskan pekerjaannya dalam diam, ingin menangis tapi ditahannya sekuat
mungkin.
Hari-hari
selanjutnya masalah itu terus menghantui. Beberapa sahabatnya mulai hunting informasi perguruan tinggi dan
sering mengajaknya namun ia selalu menolak dengan halus sembari menyembunyikan
perih. Ah, mungkinkah aku juga gagal melanjutkan pendidikanku?! Bantinnya. Saat
salah seorang guru menanyakan rencana melanjutkan kuliah, ia hanya tersenyum
dikulum dan mengatakan belum pasti bagaimana nasibnya nanti. Hari-hari berlalu
ia pun mencoba ikhlas dan melupakan mimpi itu, mencoba menyibukkan diri dengan
berbagai kegiatan sekolah dan organisasi.
“Ada apa,
Pak?” ia datang menghadap wali kelas dengan ribuan tanya di kepala.
“Ini, ada
formulir untuk mendaftar beasiswa masuk universitas. Silakan dipelajari dan
diisi segera ya. Semoga berhasil,” ucapan wali kelas itu membuat hatinya
buncah. Rupanya Allah mendengar do’a dan mencatat mimpinya. Sebuah jalan yang
benar-benar tak disangka rupanya menghampiri. Formulir beasiswa masuk
universitas (BMU) sudah ditangannya, diisi dengan sepenuh hati dan permohonan
yang sangat pada Sang Kuasa.
Episode Perjuangan Kepompong Buluk
Kelegaan
tak bisa disembunyikan dari wajah berpeluh mereka. Seorang remaja putri
berjilbab diiringi laki-laki paruh baya berpeci. Subhanallah walhamdulillah,
hampir sampai di tempat tujuan. Mereka terdiam cukup lama, sibuk dengan fikiran
masing-masing demi melihat sebuah gerbang megah dengan tulisan 'Universitas
Diponegoro' lengkap dengan patung Pangeran Diponegoro beserta kuda dan kerisnya
yang terkenal itu. Tepat ketika adzan dzuhur berkumandang mereka sampai di
depan auditorium UNDIP.
"Nduk, langsung shalat aja yuk, dijamak
sekalian. Kaya'e di depan situ ada
mushala". Ucap sang bapak.
Si gadis
hanya mengangguk mengiyakan dan mengiringi langkah ayahnya ke mushala di
sebelah auditorium Undip. Usai shalat dengan bersujud lebih lama dari biasanya
fikir dan fisik terasa lebih segar, namun udara yang panas tak urung membuat
tenggorokan terasa kering. Penjaja es teh yang mondar mandir membuatnya semakin
tersiksa.
"Kamu
puasa ya Nduk? Bapak pengen beli es
teh tapi mahal banget nggak jadi aja lah. Tadi dibawain air sama Mamak kan?
Sini Bapak minum".
Setitik
air bening hampir menetes dari matanya demi mendengar perkataan bapak.
Buru-buru dialihkan pandangannya dan diangsurkannya botol air mineral itu.
"Ayo
Pak, ke tempat registrasi. Sudah dibuka". Ucapnya seraya berdiri dan
menuju tempat registrasi.
Masalah
baru pun muncul. Memang mereka berdua berangkat dengan modal nekat. Uang untuk
registrasi di kantong tak sebanyak jumlah yang tertera di formulir.
"Kita
mengharapkan keajaiban lagi hari ini". Terngiang kembali perkataan bapak
sebelum berangkat pagi tadi.
Beruntung
dia dihampiri oleh beberapa orang dengan senyum rembulan, menawarkan bantuan
untuk mengisi formulir. Dengan menyembunyikan malu ia pun bertanya perihal
keringanan biaya daftar ulang kepada mereka. Alhamdulillah, rupanya keajaiban
itu datang. Lewat advokasi dengan bantuan dari tim advokasi senat dan BEM
Undip, biaya registrasi bisa ditangguhkan sebagian: 2 juta dari total 3,5 juta.
MasyaAllah.. sujud syukur untuk jalan yang dibukakanNya.
Satu
stasiun dari rel panjang kehidupannya telah terlewati, ia pun menuju stasiun
berikutnya untuk lulus dari kampus. Namun dalam perjalannya pun tak mudah
karena disana lah ia malah merasa salah jurusan. Tak jarang Ia harus mengatur strategi mundur selangkah untuk melesat maju
hingga setiap pos terlewati sesuai harapannya atau sesuai skenario Tuhan.
Episode Kupu-Kupu
Kini ia
tak sendiri lagi, seorang malaikat telah dikirim Tuhan untuk menemaninya
bersama seorang ‘Anugerah terindah dari surga’. Kehidupannya belum berbeda jauh
dengan masa-masa lajangnya, ia masih seperti seekor kupu-kupu yang baru
berhasil memecahkan cangkang kepompongnya. Ia gagap melihat dunia setelah
perjuangan dan puasa panjang didalam
kepompong. Ia masih tertatih belajar terbang, berkali-kali terjatuh saat
mencoba mengembangkan dan mengepakkan sayapnya. Tapi ia yakin suatu saat ia
akan terbang tinggi menuju taman untuk bercengkerama bersama bunga-bunga dan
mengisap madunya.
Dan ia
percaya, sukses tak hanya diukur dari
materi yang diperoleh, tapi sukses yang sesungguhnya adalah saat seseorang bisa
memberikan manfaat untuk orang lain, sebanyak-banyaknya manfaat.
Seperti bagi Bapak, mungkin kesuksesan terbesar adalah bisa mengantarkan anak-anaknya
sekolah sampai perguruan tinggi meskipun dalam kondisi serba pas-pasan. Bahkan
bisa beli TV second pun setelah anak
pertamanya hampir lulus kuliah. Ah, Bapak dan Mamak... hanya Allah yang bisa
membalas penjuangan mereka.
Satu lagi yang tak lekang diingatannya, bapak pernah berkata "Dulu kalian
masih kecil Bapak pun sering kesulitan untuk makan, sekarang kalian semua
sekolah Alhamdulillah tetap masih bisa hidup."
Kebahagiaan sederhana seorang bapak, yang selalu optimis dan punya mimpi besar
meski harus melawan gelombang masalah yang menerpa. Jika diibaratkan seperti
kain tenun, maka pola yang semakin rumit akan semakin lama pengerjaannya akan
menjadi masterpiece dan dihargai
tinggi. Masalah, adalah nadinya kehidupan. Yang dengannya seseorang
menjadi dewasa, menjadi kuat, dan menjadi bijak.
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
pas SMA baru sadar diri, :D
Alhamdulillah, mbak masih sempat icip kuliah sampai tamat, kalau saya musti bolak balik antar surat cuti kuliah sampai akhirnya...ah sudahlah, itu cerita lama~~hihi
PErjalanan hidup itu bila penuh rintangan, serasa manis dirasakan ketika sukses datang. Semangat Rina :D
Dulu aku suka kebsysng pengen dkul di sana...keinget pstung diponegoro deh klo lewat daerah situ, eh ada ga ya