Mading Sekolah yang Dilupakan
Daftar Isi
Ngomong-ngomong tentang mading di SMA-ku dulu, rasa-saranya tidak ada
yang istimewa. Semuanya serba biasa meskipun sudah kukulik semua kenangan di
masa SMA ku.
Aku bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kalibeber. Lokasi sekolah
kami berada di pinggiran kota dan masih masuk wilayah kecamatan Mojotengah
tepatnya di Desa Krasak. Kalau Teman-teman pernah pergi ke Wonosobo, menuju
arah Dieng akan menemui pom bensin terakhir. Nah, di seberang pom bensin itu
ada gerbang warna hijau bertuliskan ‘MAN KALIBEBER WONOSOBO’ gedung sekolahku
berdiri sekitar 50m dari jalan raya.
MAN IDOLAKU |
Kebanyakan teman-teman sekolahku berasal dari wilayah Wonosobo bagian
utara dan didominasi oleh anak-anak dari atas (Dieng) termasuk yang masuk
wilayah Kabupaten Banjarnegara. Selain itu, tak sedikit juga siswa dari kota
lain yang masuk pesantren di wilayah kecamatan Mojotengah lalu bersekolah di sana.
Bagi kami pada waktu itu, kegiatan yang paling aktif hanya Pramuka dan
OSIS. Sebenarnya mading berada di wilayah kekuasaan OSIS di bidang minat dan
bakat. Tapi, sayangnya tidak semua kelas antusias dengan program ini.
Pengurus OSIS membuat jadwal setiap dua pekan sekali bergiliran setiap
kelas. Ada kelas yang aktif mengirim bahan untuk mading, tapi tak sedikit yang membiarkannya
tanpa merasa bersalah. Akibatnya, seringkali mading terbengkalai dan isinya
itu-itu saja sampai lebih dari satu bulan.
Kalau ingin tahu penampakan mading kami, jangan harapkan sebuah mading
yang indah berisi kreasi dari para siswa atau ekskul jurnaslistik. Tidak ada
semua itu. Yang ada hanyalah sebuah papan display ukuran 1x2m mirip lemari kaca
yang menempel di dinding. Sebuah gembok terpasang di tengah, sehingga saat
dibuka bentuknya seperti dua daun pintu.
Kelasku termasuk yang kurang antusias saat mendapat jadwal mengisi
mading. Padahal bagiku ini sesuatu banget. Mau tak mau akhirnya ketua kelas
meminta beberapa orang untuk mengisi mading dengan seadanya dan semaunya, tidak
ada konsep sama sekali. Aku? Dengan modal pas-pasan hanya membeli kertas HVS
warna lalu menulis cerpenku di atas kertas itu, ditulis tangan meskipun
tulisanku tidak bagus-bagus amat. Judul cerpennya dibuat tebal dengan spidol
agar mencolok. Pinggiran kertas dibuat rawis-rawis dengan bantuan gunting agar
tidak terkesan monoton. Untuk puisi, juga kutulis tangan di kertas polos lalu
pinggirnya kubakar agar menimbulkan kesan kertas lusuh tapi artistik. Teman-teman
lain yang bersedia mengirim bahan untuk mading pun tak jauh beda.
Nggak kreatif ya kami? Bukan, tapi sepertinya karena masalah lain seputar
kurang percaya diri dan lebih banyak berfikir ‘yang penting sekolah’. Bisa jadi
jika kami mendapat fasilitas yang lebih baik dan beragam kami juga tumbuh
menjadi anak-anak keren (sok pede banget inih).
Jika sampai lebih dari sebulan tidak ada kelas yang mengisi mading, makan
tim dari OSIS yang berinisiatif mengisinya dengan foto-foto dokumentasi
kegiatan OSIS dan pramuka. Terus menerus begitu sampai kami naik ke kelas tiga
dan sibuk memikirkan kelulusan. Kami tak lagi peduli dengan mading itu. Kasihan,
maafkan kami ya.
Entah sekarang bagaimana kondisinya, semoga jauh lebih baik karena
beberapa tahun terakhir sekolahku itu sedang berdandan alias renovasi
besar-besaran. Ya, semoga.
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
OOT ya? hihi