Saat Kebaikan Disalahartikan, Bukan Alasan untuk Berhenti Melakukan
Daftar Isi
Bismillahirrahmanirrahim,
Setiap orang pasti menginginkan segala hal berjalan dengan baik dan benar
di rel-nya dan sesuai dengan keinginannya. Tetapi, kehidupan yang kita jalani
ini selalu merunut pada skenario yang di Atas, bukan kehendak kita sendiri. Pun
lain kepala lain hati, maka akan ada saja orang yang berbeda paham dan bisa
menimbulkan masalah hanya dari suatu hal kecil seperti beda persepsi.
Pernah mengalaminya, Teman?
Aku pernah (nggak ditanya juga :P). Meski telah berlalu beberapa tahun
silam, ternyata masih belum bisa terlupa. Semoga kejadian yang kualami saat
masih berstatus mahasiswa ini menjadi pelajaran berharga. Meski berat,
menuliskan kembali kisah itu seperti membuka luka lama. Ah, anggaplah sebagai
salah satu cara healing agar bekas
luka itu memudar sedikit demi sedikit hingga akhirnya hilang sama sekali.
Muharram Fair dan Kegentingan Itu
Semua mata tertuju pada pemimpin rapat. Masing-masing punya kekhawatiran
yang sama sekaligus harapan yang teramat tinggi.
“Acara kita ini harus berhasil!
Kita tunjukkan bahwa kita mampu mengerjakan tugas ini sebaik-baiknya bahkan
melebihi target!” ketua panitia masih menggebu menyemangati semua anggota
yang hadir dan berwajah kuyu, kehilangan semangat sejak beberapa hari terakhir.
Tanggal acara sudah di depan mata, tetapi masih banyak sekali yang belum clear, ditambah beberapa panitia yang
tidak bisa dihubungi.
Muharram Fair, adalah salah satu event
pengurus rohis dengan serangkaian agenda hampir sebulan penuh. Para senior
menitahkan agar agenda kali ini digawangi langsung oleh anggota baru, bukan
perpeloncoan, hanya semacam training untuk menguji kekompakan dan kebersamaan
mereka.
“Mas! Bagian bookfair belum ada
kejelasan sama sekali. Penanggung jawabnya katanya pulang kampung tapi dia
tidak memberi kabar. Dihubungi lewat SMS dan telepon tidak ada respon.
Bagaimana?”
Belum habis membahas beberapa hal yang masih mengganjal, panitia lain
menyambung soal bookfair yang
tujuannya memang untuk support
pendanaan acara. Rapat memutuskan jika sampai dua hari ke depan PJ tidak bisa
dihubungi maka bookfair akan
diserahkan ke tim Dana Usaha untuk di-handle
dan disesuaikan dengan program mereka.
Aku tertegun di pojokan, antara bingung dan berharap agar si-PJ segera
kembali ke kampus. Jika tidak, sangat besar kemungkinan akulah yang akan ketiban sampur karena teman-teman
magangku yang lain di Danus hampir tak pernah datang rapat.
Credit islamicity.org |
Bazaar Muharram dan Kegalauan
Tim danus harus segera memutuskan, mau tak mau aku harus mengangguk
setuju saat mereka memberikan amanah padaku untuk menggantikan PJ. Acara yang
sedianya bookfair diubah menjadi
bazaar muslim yang menyediakan aneka buku dan perlengkapan hingga pernak-pernih
muslim/ah. Berat bagiku untuk menerima karena hampir tidak ada pengalaman berorganisasi
selain dari MAN (ecek-ecek) di kota kecil tempat lahirku. Lebih-lebih aku tak
ingin berurusan dengan PJ (aslinya) jika dia kembali ke kampus dan tahu-tahu program-programnya
telah digantikan oleh orang lain.
“Sudah, bismillah saja. Kami akan
membantumu,” kata teman-teman seperjuangan dan senior.
Fyuuh... waktu yang tidak ada
sebulan menjelang hari H membuat kami harus berlari dengan kecepatan penuh. Setiap
hari harus mengajukan dan mengejar proposal kerjasama dengan beberapa pihak.
Beruntung, banyak senior yang punya relasi dengan toko buku dan berani
memberikan potongan hingga 30%. Sisanya, berbagai perlengkapan muslim/ah
dibantu oleh setiap anggota yang punya kenalan.
Menjelang sekian hari menuju pembukaan Muharram Fair sekaligus bazaar,
dia datang. Dia hanya diam menatap tumpukan barang untuk bazaar di sekretariat.
Ah, aku tak berani membicarakan tentang bazaar itu padanya. Siapa aku? Batinku.
Sedang dia adalah seorang yang (merasa) superior dan meskipun salah tak
pernah mau disalahkan. Bagaimana ini? Hanya dua orang yang bisa menandingi
sifat kolerisnya, yang jika rapat dan mereka bertiga beradu argumen, maka yang
lain hanya remahan biskuis di dasar stoples.
“Sudah, kamu lanjut dan tenang
saja. Kalau tidak ada yang mengurus acara ini, bagaimana dengan tambahan
pendanaan? Nanti Teteh yang akan ngomong sama dia,” seorang senior mencoba menyemangatiku.
“Kalau begitu, serahkan lagi saja
sama dia Teh, aku cukup sampai di sini. PJ aslinya kan dia, aku hanya menggantikan
sementara,” kataku berkilah.
“Nggak bisa begitu, karena rapat
sudah memutuskan bazaar kita yang handle. Bagaimanapun, keputusan rapat adalah
keputusan bulat yang harus dipatuhi”
“Kalau dia marah gimana?”
“Salah dia sendiri tidak pernah
merespon saat dihubungi, bahkan ditelepon pun tidak dijawab.”
Aku tak bisa berkutik lagi. Bismillah, mudahkanlah Yaa Allah... semoga
usaha kami selama beberapa pekan terakhir bukanlah suatu kesalahan. Aamiin..
Gelas Kaca yang Pecah Berkeping-keping
Sejauh ini, selama beberapa hari bazaar lancar. Banyak yang datang untuk
membeli buku atau sekedar melihat-lihat dan membeli pernak-pernik. Aku yang dua
hari di awal masih bingung letak barang dan daftar harga, menjadi sangat hafal
bahkan sampai barang yang kecil sekalipun.
Teman-teman yang ada jadwal kosong bergantian menjaga bazar meskipun
tidak ada jadwal yang mengikat. Semua atas kesadaran sendiri dan bersuka ria
karena melihat antusias mahasiswa yang berkunjung ke bazaar.
Puncak acara Muharram Fair adalah talkshow yang menghadirkan seorang
trainer. Tim bazar tak kalah semangat untuk menggelar lapak di hari terakhir.
“Di kepanitiaan ini memang banyak
sekali anggota yang belum punya pengalaman organisasi, jadi wajar jika masih
belepotan di sana-sini, dan banyak hal yang dilakukan tak sesuai dengan job
desk-nya,” seorang teman yang sudah menjadi seorang organisatoris sejak
dulu unjuk suara dalam rapat evaluasi dan pembubaran panitia setelah talkshow berakhir.
Hawa yang tidak enak langsung menyeruak begitu kalimat selesai. Banyak
mata perpandangan sambil tersenyum kecut, merasa melakukan banyak kesalahan
selama menjadi panitia. Tak terkecuali aku.
“Tidak apa-apa, karena ini adalah
latihan. Agar semua anggota bisa belajar dari kesalahan sebelumnya,” ketua
rohis yang kali ini hadir mencoba menengahi dan memberikan pencerahan.
Rapat berjalan lancar, sampai sebuah suara yang sangat kukenal terdengar
menggebu memprotes tentang bookfair.
Dalam hati aku ingin berteriak sekencangnya lalu berbicara tepat di depan
wajahnya, kenapa tidak memprotes sejak awal? Bukankah dulu salah satu senior di
danus juga sudah mengomunikasikan!? Ke mana kamu sebelum itu?! Maunya apa?!.
Tapi kucoba positive thinking, toh tadi pagi pun kami berangkat
bersama dan bercengkerama, kupikir tak ada lagi masalah seputar bazar dan
bookfair.
”Saya sebenarnya kaget kenapa
bookfair tiba-tiba berubah menjadi bazaar dan dihandle oleh Mba Arina yang
seperti orang BODOH mondar-mandir kebingungan saat menghitung uang penjualan!”
Jleb! Jelas sekali ia menekankan kata bodoh itu dan menyebut namaku seterang-terangnya,
tidak memakai nama si-Fulanah atau apa yang meskipun semua juga sudah paham
yang dibahas adalah aku.
Ruangan rapat sejenak sunyi begitu dia selesai berucap. Berpasang-pasang
mata membombardirku. Sebagian maklum karena telah memahami duduk persoalannya
sebagian lagi makin mencibirku sebagai barisan yang tidak punya pengalaman ikut
organisasi.
Sejurus kemudian seorang kakak senior dan sahabatku menghampiri, memeluk
dan berusaha menenangkanku.
“Sabar, kamu sudah berusaha
melakukan semuanya dengan baik,” Kata mereka. Tak urung, aku menangis juga
sebelum berlari ke kamar mandi dan disaksikan oleh seluruh panitia.
“Apa yang sejak awal kukhawatirkan
terjadi bukan? Aku harus bagaimana?” kataku sembari terisak di hadapan
teman-teman.
“Sabar, dan mau tak mau harus
menerimanya. Kita semua sudah paham hal seperti ini pasti terjadi. Nasi sudah
menjadi bubur. Tenang saja, bukankah dari bazar banyak pemasukan? Aku yakin tidak
banyak yang mempersoalkan kejadian tadi,” hibur salah satu sahabatku.
“Aku terlanjur sakit hati. Tidak
hanya sekali,tapi ini adalah puncaknya. Ibarat gelas kaca yang kemarin hanya
retak, kini ia hancur berkeping-keping. Sekeras apapun mencoba memasangnya
kembali, tak akan menjadi seperti semula.”
Hening. Tak ada yang menanggapi ucapanku. Mereka membiarkanku terisak
cukup lama sampai aku merasa lega dan berani pulang ke kos.
Ah, kisah lama yang bahkan saat mengingatnya pun masih terasa perih di
hati. Tapi, lagi-lagi meskipun hubunganku dengannya tak bisa seperti dulu lagi,
paling tidak kami tidak memutuskan tali silaturrahim.
Setelah kejadian itu, sampai beberapa kali aku dipertemukan dengan orang
yang sifatnya hampir sama dengannya. Dan setiap mengingat kejadian itu aku
hanya bisa berhati-hati dan menjaga sikap agar tidak menyakiti atau membangunkan
singa tidur.
Berbuat Baik Karena Allah
Banyak orang yang mencemooh orang yang berbuat kebaikan.
‘Alah..., palingan ada udang di
balik batu’
‘Sok alim banget sih!’
‘Eh, ngapain tiba-tiba nganter
makanan? Nggak kek biasanya. Nggak ada racunnya kan?!’
Atau ucapan-ucapan lain yang hanya dalam hati atau benar-benar terlontar
dari mulut saat orang lain melakukan kebaikan.
Jika menurutkan anggapan manusia, niscaya makin sedikit orang yang
berbuat kebaikan di sekitar kita. Muncul penyakit TAKUT mulai dari takut
dianggap sok alim sampai takut dianggap riya’/pamer
dan ujung-ujungnya makin banyak orang yang selfish
yang menganggap semua hal adalah urusan masing-masing.
Berbuat baik karena Allah, hanya mengharap balasan dari Allah akan
menyingkirkan kita dari sifat mengharapkan balasan dari orang lain. Juga akan
menghilangkan kecewa. Iya, kecewa terhadap manusia memang tidak akan ada
habisnya, apalagi manusia diciptakan tak pernah luput dari salah dan dosa.
Berdamai dengan Diri Sendiri dan Orang Lain
Credit Kaskus |
Hukum alam yang tarik-menarik, ada yang kuat dan ada yang lemah. Maka
dalam menghadapai masalah atau orang pun harus ada yang mengalah dan berdamai.
Berdamai dengan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Kuncinya, kita harus
melihat dari berbagai sisi. Saat orang lain tak menerima kebaikan kita, anggap
saja dia sedang terserang pre-menstrual
syndrome.
Selain kebenaran yang hakiki, kita memang tidak bisa memaksakan sesuatu
kepada orang lain. Jika ada rasa yang masih tersisa dan terasa pedih di hati,
maka yang kita lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri. Menganggap setiap
luka adalah sebuah proses agar menjadi dewasa akan lebih baik dibandingkan kita
meratapi dan mengingat si pembuat luka.
“Kita tidak perlu menjelaskan
panjang lebar, itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk
dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita
lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak,
tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menhapai seluruh
catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa
damai dalam hati kita sendir.,” (RINDU, Tere Liye).
Menjauh dari Sumber Energi Negatif
Berkali-kali melakukan kebaikan tetapi selalu dianggap sebagai sebuah
kesalahan? Hm.. sebaiknya memang sejenak perlu menjauh dari sumber seperti ini.
Recharging soul untuk sementara waktu
lalu kembali lagi menghadapai dunia nyata dengan wajah tersenyum dan dada yang
lebih lapang.
Ah, jadi teringat tulisan Tere Liye bahwa banyak orang yang tidak senang
dengan kita tapi kita tak perlu bersusah-payah untuk memikirkannya apalagi
membuatnya menyukai kita. Karena itu adalah masalahnya, bukan masalah kita. Keep calm and show must go on, Dear!
Banyak peluang kebaikan di sekitar kita, bukan berarti kita harus
berhenti saat ada sandungan kecil, bukan?
Be your self and do your best!
Regards,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Waktu itu ikut baksos merapi, eh malah dibilang gaya gayaan, pdhal mmg beneran mau bantuin...
bisa diambil pelajaran ini mbak..
nice sharing, dan sukses GA nya ^_^