Sudut yang Penuh Kenangan Itu
Daftar Isi
credit pixabay.com |
I’m a happy stay-at-home-mother
now!
Teringat percakapan saat kenalan dengan orang beberapa bulan lalu..
“Mba Arin trus sekarang kerja dimana?”
“Alhamdulillah di rumah saja, Bu”
Biasalah ya, percakapan dimulai dengan banyak hal basa-basi seperti ini.
“Dulu kuliah di mana?”
“Di Undip, Bu” jawabku sambil berusaha tersenyum.
“Wah, sayang ilmunya jadi nggak kepakai dong, Mba! Nggak ngelamar kerja
dimana-mana Mba?”
Nah! Kalau sudah begini saya memilih menjawab “Nggak, Bu” dan (lagi-lagi)
tersenyum manis tapi tak menanggapi lebih jauh. Ah, saya kadang baper apalagi
kalau lagi ada tamu bulanan :P
***
21 April 2013, itu tanggal yang bersejarah karena setelah dua tahun lebih
beberapa bulan mengabdi di lembaga amil zakat, saya harus mengajukan resign
untuk mengikuti suami (eh, waktu itu masih calon ding!) ke Semarang.
Tidak mudah melepaskan semua hal yang telah dilalui selama dua tahun itu,
meskipun awalnya ada rasa tidak betah, bete, bingung, ingin bekerja di lembaga
yang lebih besar, juga stress dengan tekanan pekerjaan dan sebagainya. Namun saya
terlanjur menikmati senyum bahagia orang-orang yang menerima manfaat dari
lembaga kami. Ya, meskipun belum menjadi donatur, penjadi perantara antara
donatur dengan penerima manfaat kuanggap sebagai batu loncatan agar suatu saat
bisa menjadi donatur mereka. Karena waktu itu yang bisa kusumbangkan adalah
tenaga dan pikiranku.
Di lembaga yang masih kecil di Kabupaten Wonosobo itu, hanya ada beberapa
karyawan. Jadi setiap pagi kami bergantian menjadi satpam, menjadi office boy
yang nyapu dan ngepel, juga menjadi front officer. Hehe. Kalau mau minum
tinggal membuat sendiri karena sudah disediakan dispenser. Makan siang bawa
bekal dari rumah supaya bisa berhemat. Begitulah hari-hari kami, kantor kami
mengontrak di sebuah rumah di pinggir jalan raya yang ramai, tapi tepat di
belakang rumah ada sungai dan kadang-kadang ada ular mampir ke dalam. Seram ya?
Sempat membuat saya trauma gara-gara beberapa kali bertemu ular di sana.
Seperti Apa Meja Kerjaku?
Awalnya adalah sebuah meja kerja yang dulunya dipakai oleh karyawan
laki-laki freelance, jadi dia tidak setiap hari ngantor. Terbayang lah
bagaimana kondisi di atas meja itu lengkap dengan komputer butut yang seringn
ngadat.
Setelah sekian bulan, pak bos berinisiatif membuat sekat agar posisi
duduk saya tidak terlihat dari luar. dan renovasi itu sedikit lebih mirip
dengan ksekat warteg, sehingga saat ada teman-teman yang datang mereka biasanya
bercanda dengan berteriak : “Mba Arin.! Pesan nasi rames sama es teh ya!” yang
kusambut dengan gelak tawa atau dengan seruan bernada sama :”Pakai sambal dan
kerupuk nggak?!”
Pada renovasi selanjutnya, meja kerjaku dipindah lagi, alhamdulillah mendapat
tempat yang lebih nyaman, di sudut ruangan. Di sudut lainnya berdiri lemari
besar sekaligus kami jadikan sebagai meja untuk menempatkan barang dan buku-buku.
Selfie di depan meja kerja, tapi mejanya nggak terlihat lengkap cuma ini foto di kantor yang tersisa :) dok.pribadi |
Isi mejaku ada segala macam barang kesekretariatan karena tugas utamaku
adalah menjadi admin dan bagian keuangan. Komputer butut telah berubah menjadi netbook
12’ yang setiap hari kubawa pulang dan (dengan izin kantor) kugunakan untuk menulis
juga. Di sebelah kanan ada sebuah printer gagah yang kadang harus bekerja
terlalu keras mencetak surat atau brosur yang sedemikian banyak. Di sebelahnya
ada rak kecil berisi dokumen surat-menyurat. Lalu di sebelah kiri ada tempat
pernak-pernik seperti paper clip, stapller dan refill-nya,
selotip, bolpoint, dan sebagainya. Tepat di dinding bagian depan kupasang
besar-besar berbagai macam target dan tugas yang belum atau harus kulakukan. Di
sebelah kirinya, terpasang juga time schedule dan maca-macamnya dalam styrofoam yang kami buat sendiri.
Cukup menyenangkan bekerja di sana, meskipun harus penuh perjuangan untuk
berangkat dan pulangnya. Dulu saya berangkat jalan kaki atau naik ojek, lalu
naik angkutan umum sampai depan kantor. Pulangnya pun begitu. Setelah punya
motor dan berani mengendarainya sampai kota, aku pun membawa MoJiHoKI (Motor
Jihad Honda Kharisma 125) mendaki gunung lewati lembah.
Apa daya, saya yang belum begitu mahir melewati tanjakan dan turunan
berbelok berkali-kali harus berkenalan dan mencium aspal. Terakhir kalinya yang
membuatku trauma naik motor sampai sekarang (sediih...) adalah saat saya hampir
terjatuh ke jurang. Untung waktu itu tidak pernah melaju dengan kecepatan
tinggi, sehingga saat hampir terjatuh stang langsung kulepas, motor kubiarkan
terjatuh dan saya terjungkal di sebelah kirinya. Fyuuh... kenangan yang masih menyisakan trauma dan bekas luka di tangan
sampai sekarang. Tak usah dibayangkan bagaimana kondisi motornya, karena saat
esoknya diantarkan bapak ke bengkel sepupu, tiba-tiba dia datang kerumah
bermaksud membezuk, dipikirnya kondisiku tak jauh beda dengan si MoJiHoKi.
Ah ya, di meja paling sudut itu juga saya sering berdiskusi dengan teman,
tentang apa saja. Kebetulan teman-teman di salah satu organisasi pemuda sana
menjadikan kantor itu sebagai basecamp
(tak tertulis) sehingga saat sepi dan kerjaan sedikit, kehadiran mereka sangat
berarti.
Di sudut itu pula saya biasanya menerima kehadiran seorang mbah tua yang
rajin datang setiap dua pekan sekali meminta sumbangan. Mbah tua renta yang
berjalan jauh dari rumahnya hingga daerah kantor kami untuk mengambil ‘jatah’
dari beberapa orang. Beliau tak bersedia jika kami mengantarkan kerumahnya, padahal
ia harus menanggung seorang anaknya yang lumpuh menderita stroke. Setiap menerima amplop, beliau selalu mendoakan kami, ah
indahnya... apalagi yang lebih kami harapkan dari mereka selain do’a-do’a dan
senyum kebahagiaan itu?!
Narsis bareng anak-anak di panti asuhan |
Di meja itu pula saya menyusun jadwal untuk memberikan pelajaran tambahan
di panti asuhan dekat rumah. Bertemu anak-anak yang berlari menyambut lalu berteriak
gempita “Bu guru Arina....!” lalu tangan-tangan kecil yang berebut menyalami,
adalah kebahagiaan tersendiri setelah menghadapi penatnya rutinitas kantor
setiap hari. Betapa, sangat merindukan mereka, yang hingga saat ini jika
bertemu di jalan mereka masih memanggilku ‘Bu guru Arina’.
Ah, meja kerja yang sudah kutinggalkan selama 3 tahun lebih...
Meja Kerjaku Kini
Setelah menikah, saya pernah sekali bekerja lagi menjadi relawan di
lembaga yang sama di Semarang. Tapi karena hamil, ibu mertua dan suami
melarangku untuk bekerja lagi. Yeah! Seringkali keinginan untuk bekerja pun
datang dan mengganggu tidur lelapku. Tapi, bukankah jika intinya adalah
berpenghasilan, bisa kulakukan dari rumah? Hanya perlu sedikit lebih banyak
bersabar, lebih kreatif, lebih bersyukur dan lebih menikmati setiap prosesnya.
Dan kini, saya juga punya meja kerja di rumah (hahaha). Meja kerja itu
sebenarnya adalah tempat kerja suami saat awal membuka biro jasa penerjemah
tersumpah (nah, kalau butuh jasa untuk menerjemahkan dokumen, bisa banget tuh
hubungi kami, lihat saja di www.translatornusantara.com)
nah! Malah iklan (piss!)
abaikan rambut sikecil yang awut-awutan. hehe |
Isinya hanya meja kerja dengan dua laci di bawahnya, simpel. Warnanya pun
standar, coklat kopi. Tak ada yang menarik memang, karena kami tak menambahkan
apapun sebagai ornamen di sana. Bukan karena tidak ingin ada pajangan, tapi
lebih karena kemananan sikecil kami yang aktif.
Ingin sekali, punya ruang kerja yang tertata rapi, dengan warna kesukaan
yang bisa jadi moodbooster, memajang
hiasan favorit, wangi... hm.. semoaga suatu saat tercapai, nanti ya kalau sudah
punya rumah sendiri. Sekarang masih numpang di pondok mertua indah jadi nggak
usah neko-neko dulu. Pastinya, meja kerja itu jadi tempat keduaku setelah
kamar. Hehe.
Bagaimana meja kerja Teman-teman? sharing yuk!
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Sungguh kenangan yang indah ya mbak, bisa mendapatkan pekerjaan yang bermanfaat buat orang banyak, kemudian bisa menjadi Bu Guru Arina pula :)
Saya pengen juga punya pekerjaan yang syar'i gitu mbak, no bohong pokoknya deh :)
Semoga sukses ya mbak Arin, selamat mendapatkan income dari rumah, hehe
meja kerja saya berantakan gitu deh he he he
Dulu memang pernah ada meja khusus untuk belajar/kerja. Tapi gak pernah dipakai lagi. Akhirnya entah dikemanain tuh mejanya sama orangtua saya. Hihihi