Menjadi Tamu di Surga-Nya*
Daftar Isi
“Untuk apa
nabung terus Pak?” kata perempuan tua itu pada laki-laki yang duduk di
sampingnya. Pak Ahmad, laki-laki itu hanya tersenyum kecut dan menjawab pelan.
“Untuk berangkat haji.” Matanya
berkaca, menyiratkan kerinduannya pada dua tanah Haram, pada rukun islam
terberat itu.
“Kita ini sudah tua Pak, mungkin
sebentar lagi Allah memnggil kita. Kapan berhajinya? Lebih baik uang itu
diambil saja buat cucu,” timpalnya pesimis.
“Tak apa Bu, barangkali Allah masih
memberi kita rejeki untuk beribadah kesana, berdua.” Lagi-lagi pak Ahmad tersenyum.
“Pak, katanya
kuota haji sekarang sampai 15 tahun padahal kita belum daftar haji. Lha kalau
nanti bisa daftar apa iya bisa berangkat?! Umur kita sekarang sudah 75 tahun,
Pak,” lanjut Bu Siti sembari menghangatkan diri di depan tungku. Udara Wonosobo
di musim kemarau terasa sangat dingin di pagi dan malam hari.
“Kita hanya bisa menunggu keajaban dari Allah, Bune ….”
***
Pak Ahmad berangkat
seorang diri, usianya yang sudah 82 tahun tak membuatnya gentar untuk berngkat
naik perahu. Ya, ia lewat jalur laut karena tak mampu membayar haji reguler
apalagi haji plus. Saat ada tawaran berhaji murah-mudah-cepat ia pun antusias
mendaftar. Segala urusan administrasi ia serahkan kepada anak laki-laki tertuanya.
Hanya menunggu beberapa bulan berkas telah selesai dan ia mendapatkan paspor
beserta perlengkapan haji. Pak Ahmad pun bersiap menjemput mimpi terbesarnya, sendiri
tanpa istri dan anak yang menemani.
Tangis kesedihan
dan haru keluarga mengiringinya saat tubuh renta itu melangkah gontai menuju
mobil.
“Hati-hati, Pak,” ucapan perpisahan
Siti yang teramat singkat tapi mendalam bagi sepasang suami istri yang telah
berpuluh tahun merajut asa.
“Iya, Bune. Ibu juga jaga diri
baik-baik, ikhlaskan apapun yang terjadi”, Ia menjawab seolah ia telah punya
firasat tentang sesuatu.
“Bismillahi Allahumma Hajjan,”
bisik Pak Ahmad. Gurat-gurat usia di dahinya makin mengerut, tapi senyum
terkembang indah di bibirnya. senyum yang terbasahi dzikir setiap saat. Matanya
tetap awas meniti ayat-ayatNya di Alquran tua miliknya. Lihatlah ia begitu
mudah akrab dan mengenal teman seperjalannya. Namun saat yang lain tertidur
kelelahan, ia masih terjaga. Menyiapkan diri untuk bertamu ke rumah Allah,
menjadi tamu yang pantas dimuliakanNya.
Labbikallahumma labbaika. Labbaika laa syarika laka
labbaika
Kalimat talbiyah mengalun merdu
dari bibir itu. Suara serak rentanya berdengung, sesekali terdengar seperti
kucing tercekik. Tapi ia bahagia. Teramat bahagia. Ka’bah seolah telah di depan
mata. Masjidil haram dan masjid nabawi berada sangat dekat dengannya.
“Pak Ahmad,
masuk saja Pak, jangan di luar terus. Berbahaya kalau ada badai,” tegur pemuda
yang duduk di sebelah pak Ahmad sejak dalam perjalanan menuju pelabuhan. Firman,
pemuda itu merasa kagum dengan kegigihan dan ketegaran orang tua itu maka ia
merasa berkewajiban menjaganya.
Pak Ahmad hanya mengangguk pelan.
Bibirnya terus berdzikir. Namun kini pandangannya menyapu sekitar buritan.
Hamparan biru di sekelilingnya. Air.
Laut. Dan ia tersadar ia masih berada dalam kendaraan yang akan mengantarkannya
menuju Madinah.
Oh, bersabarlah,
Ahmad. Kau pasti akan sampai di sana tak lama lagi. Bersabarlah. Teruslah
berdzikir sebagaimana air laut mengumandangkan takbir-tahmid di setiap
liukannya. Gemuruh dalam dada Pak Ahmad tak ubahnya air laut di sekelilingnya.
Tetiba angin
menderu kencang dari segala penjuru. Hitam legam awan gemawan menggantung di
langit. Gemuruh menggelegar nun jauh di sana. Terlihat ABK mulai menyiapkan
segala sesuatu dan menghimbau penumpang untuk masuk. Pak Ahmad terlongo di
tempatnya berdiri. Ia melirik tempat Firman berdiri tadi telah kosong, mungkin
ia sedang shalat dhuha.
Tasbih dalam genggamannya semakin erat
dan berputar lebih cepat. Kerut wajahnya menegang, perlahan ia berjalan menjuhi
buritan.
“Rabb… izinkan
aku untuk menjadi tamu Mu terlebih dahulu, sebelum Engkau panggil aku menghadap
Mu, yaa Rabb ….” bisiknya dalam tagis tertahan.
“Ayo Pak, masuk!” teriakan ABK yang
memperingatkannya hanya terdengar sayup-sayup di telinganya. Sejurus kemudian
ombak besar menghantam kapal. Kapal oleng ke kanan dan ke kiri mengikuti
gerakan ombak, mengayak semua isi kapal . Tubuh renta Pak Ahmad tak sanggup
berdiri tegak. kepalanya seolah berputar. Peluh bercucuran dari dahinya,
menetes melewati anak-anak rambut yang telah memutih. Peluh yang makin lama
kian menderas.
Bruk! Ia limbung
saat ombak menyapu kanan kapal.
***
Wajah-wajah pias
dan khawatir mengelilingi tubuh renta Pak Ahmad yang terbaring lunglai.
Tubuhnya terbujur, demam, dan dari mulutnya terucap kalimat talbiyah tanpa
henti. Tetiba laki-laki itu terbangun dan kebingungan menatap wajah di
sekitarnya.
“Dimana aku? Sampai dimana
sekarang?”
“Dirumah Pak, Bapak mau kemana?”
“Dirumah? Tidak. Aku sedang berangkat
haji naik perahu, menuju Baitullah. Apa ini sudah sampai Madinah?” bisiknya.
Sontak ia turun
dari dipan dan berjalan menuju kamar mandi, berwudlu. Tangan-tangan di sekitarnya
sigap merangkul tapi ditepisnya. Ia berjalan terseok-seok seolah mengikuti irama
perahu yang terombang-ambing di samudera luas.
“Astaghfirullahal’adzim…
labbaikallahumma labbaika. Labbaika laa syariika laka labbaika”.
Lagi-lagi kalimat
itu terdengar. Wajah-wajah yang mengawasinya makin sedih dan menderi air mata. Sekembalinya
berwudlu Ia hendak mengadu pada Allah namun tubuh lunglainya terjerembab. Anak
dan istrinya makin panik. Ia dipodong tangan-tangan sigap anak-anaknya. Kalimat
‘laa ilaaha illa Allah’ terus terngiang dari segala penjuru. Sejurus kemudian
tangis pecah di ruangan itu. Tangis pilu keikhlasan, mengantarkan Pak Ahmad
bertemu Rabbnya.
Wajah-wajah yang
panik menjadi pias pertanda sedih. Sedih, karena ayah mereka telah terpanggil
sebelum mampu menyempurnkan rukun islam. Bukankah haji juga panggilan dari
Allah? Ternyata kerinduannya pada baitullah telah didengarNya sehingga ia
dipanggil langsung menghadap. Meski belum menjadi tamu dirumahNya, semoga ia
menjdi tamu dan penghuni tetap di surgaNya.
*in
memoriam, Mbah Kakung yang berniat haji tapi belum mendapat kesempatan dari
Allah hingga akhir hayatnya. Simbah yang mimpi berhaji naik perahu sesaat
sebelum Allah memanggil. Alhamdulillah,
salah seorang sepupu ipar yang berangkat haji telah membadalkan haji untuk Mbah
Kakung kami. Semoga Simbah Kakung dan Simbah Putri mendapat tempat terbaik di
sisiNya. Aamiin….
Based
on the true story, dengan penyesuaian cerita dan percakapan
*Tulisan ini dimuat dalam antologi 'Menjadi Tamu di Surga-Nya' yang diterbitkan oleh Penerbit Pena Indis, 2014
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Dawa men ya komenku, hihii :D
Kalau nggak daftar dari sekarang, berangkat umur berapa ya mbak kita... :(