Belajar Membatik di Kampung Batik Semarang, Melestarikan Budaya Daerah
Daftar Isi
Siang hari menjelang pukul 11, kami nekat menerobos panasnya udara Semarang membawa si Kecil untuk berburu informasi seputar batik Semarang.
Sebenarnya telah lama memendam keinginan untuk menelusuri jejak-jejak
perkembangan batik di kota yang telah kutinggali selama hampir 10 tahun. Kota dimana
hampir 4 tahun terakhir saya menjadi warga resminya.
Berbekal informasi di internet mengenai Kampung Batik Semarang, saya pun gambling ke sana karena tidak
mendapatkan contact person pak Eko Haryanto, yang di
sebut-sebut sebagai ketua kelompok pengusaha batik di kampung tersebut.
“Kampungnya di mana?”
“Di belakang Gedung BRI Bubakan, Kalau nggak salah ada gang-nya dengan tulisan Jl. Batik”
Kami menyusuri jalan Arteri hingga melewati Jalan Pattimura tapi tidak
menemukan Jl. Batik. Kami pun berbalik menyusuri Jalan Pattimura hingga lampu
merah lalu sampai lagi di Jl. Arteri. Tetap tidak menemukan, suami saya
mengusulkan untuk memutari Kota Lama terlebih dahulu. Motor dijalankan perlahan
sekali untuk menelusuri setiap gang yang ada. Dan di sekitaran bundaran
Bubakan, setelah Pom Bensin kami nememukan jalan itu. Ya, Jl.Batik. Demi
menemukan jalan tersebut, terasa seperti menemukan air segar di tengah panasnya
udara.
Kami pun memasuki kampung dan bertanya kepada tukang parkir untuk menuju
Balai Batik Semarang. Setelah melewati gang-gang kecil akhirnya kami temukan
juga balai Bahasa Semarang dengan kondisi persis seperti yang kulihat di
foto-foto yang tersebar di internet.
Sayang, balai tersebut dalam kondisi terkunci. Seorang penjual kolak dan
pecel di terasnya menjawab ramah saat saya bertanya.
“Oh, kalau ke rumah Pak Eko jam segini beliau biasanya tidak ada, Mba...”
Pessss! Rasanya seperti semangat yang tadi telah membubung tinggi
tiba-tiba kempes karena jarum kecil yang tak terprediksi.
***
2 Oktober, Hari Batik Nasional
Masyarakat Indonesia patut berbangga setelah tanggal 2 Oktober dinobatkan
sebagai Hari Batik Nasional. Penetapan hari tersebut bukan tanpa perjuangan
karena sebelumnya negara tetangga mengklaim bahwa batik adalah milik mereka. Tanggal
2 Oktober dipilih karena bertepatan dengan ditetapkannya batik sebagai Warisan
Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada
2 Oktober 2009.
Semenjak itu, berbagai lapisan masyarakat mulai menjadikan batik sebagai
busana wajib baik untuk seragam maupun pakaian/dress code di hari-hari tertentu.
Saya masih merasakannya semenjak penobatan hari batik tersebut, pada hari jumat
dibuat aturan di kampus yang mewajibkan dosen dan karyawan mengenakan pakaian
batik dan menyarankan mahasiswa untuk mengikutinya.
Jujur awalnya saya malu memakai batik. It’s so old! Bagi saya dulu, batik itu
pakaiannya orang-orang tua dan identik dengan guru. Tapi setelah
diberlakukannya hari batik di kampus, saya pun mulai terbiasa memakai batik
dengan corak apapun. Semenjak itu, memiliki pakaian dengan motif batik menjadi
kewajiban, karena mulai merasa memiliki dan ada keharusan untuk melestarikan
budaya Indonesia.
Sudah punya koleksi batik di rumah? jika belum, koleksi di workshop Batik Figa ini bisa menjadi pilihan dok. Pribadi |
Setiap daerah memiliki budaya dengan khas-nya masing-masing tak
terkecuali dengan kain yang melekat dengan budaya mereka tersebut. Sebut saja
ada kain tenun dari berbagai daerah, songket, batik, dll. Selama ini Batik
identik dengan budaya Solo dan Jogja, karena akarnya adalah dari sana. Batik
sebelumnya menjadi pakaian khas kerajaan. Sekarang ini, daerah lain pun
memiliki batik khas, yang bisa jadi sebenarnya telah ada sejak zaman dulu
sebagaimana batik Jogja dan Solo namun belum terekspose oleh masyarakat luas.
Sejarah Batik Semarang
Menurut beberapa sumber, batik Semarang telah ada sejak zaman penjajahan
Belanda. Hal tersebut didasarkan pada banyaknya pedagang batik di pasar Johar
dan beberapa sentra batik di sekitarnya. Namun saat pendudukan Jepang, kantong-kantong
ekonomi di Semarang dimusnahkan termasuk keberadaan sentra batik tersebut.
Semenjak itu batik Semarang tinggal kenangan. Para pedagang batik mengambil
barang jualan dari daerah lain seperti Pekalongan dan Solo.
‘Batikkerij Tan Kong Tin’ adalah salah satu cikal bakal Batik Semarang
yang didirikan pada awal abad ke-20 dan beroperasi hingga sekitar tahun 1970. Tan
Kong Tin merupakan anak seorang mayor di Semarang, Tan Siaw Liem. Dia menikah
dengan keturunan Hamengku Buwana III, Raden Ayu Dinartiningsih. Beliau yang
keturunan keraton Jogja dan pandai membatik ini kemudian bersama suaminya
mengembangkan batik dengan motif padu padan dengan corak khas tionghoa.
Selain batik Tan Kong Tien, ada batik Sri Retno yang merupakan perusahaan
besar pada masanya. Pada waktu tahun 1919 & 1925, jumlah pengusaha batik di
Semarang ada 107 orang dan jumlah pengrajin 800 orang.
Batik 'Warak Ngendog' dok. Pribadi |
Namun semenjak dibakarnya kawasan batik Semarang, geliat batik mati suri.
Bahkan jika menanyakan kepada warga sekitar kampung batik pun, mereka tidak
mengetahui sejarah batik yang mereka kembangkan sejak masa silam. Pun dengan Bu
Afifah yang saya temui waktu itu. Saat ditanya mengenai sejarah batik Semarang
beliau menjawab bahwa beliau tak tahu menahu seputar kampungnya karena
orangtuanya dan garis keturunannya ke atas tidak ada ‘darah’ batik mengalir di
dirinya.
Bagaimana saya bisa bertemu dengan Bu Ifah, panggilan akrabnya dan apa
saja yang keunikan-keunikan yang bisa didapat di rumahnya? Simak terus cerita
saya ya.
1 dari 3 Pengrajin Batik di
Kampung Batik Semarang
Ibu Siti Afifah bersama batik jumputan kreasinya dok. pribadi |
Bu Yuni, penjual pecel dan kolak di teras Balai Batik Semarang
merekomendasikan untuk menemui Bu Ifah di rumahnya yang berseberangan dengan
masjid Madrojussalikin Kampung Batik.
“Ke rumah bu Ifah saja, biasanya beliau di rumah dan sering ada yang
sedang latihan membatik, barangkali bisa ikut sekalian Mba,” saran bu Yuni.
Maka saya pun mengikuti anjuran beliau.
Tepat di seberang masjid, kami menemukan rumah sederhana dengan berbagai
perlengkapan membatik di teras rumah. Di halamannya terdapan kanopi dari bambu
menutupi halaman yang dijadikan tempat parkir sepeda motor. Di atasnya tertempel
MMT panjang yang mulai lapuk dengan tulisan ‘Batik Figa...’
Memasuki halaman rumah, terlihat beberapa remaja berjilbab tengah
melingkar dengan seorang ibu separuh baya yang mengawasi. Saya pun berbasa-basi
dan menjelaskan maksud kedatangan.
Beliau menyambut dengan ramah dan menjelaskan apa saja yang saya tanyakan
sembari mengajari anak-anak itu belajar membuat batik celup/jumputan. Rupanya
adik-adik dari SMA 10 Semarang itu mendapat tugas membuat batik jumputan dari
gurunya dalam pelajaran kewirausahaan. Nantinya hasil dari kerajinan mereka
akan dijual.
Bagaimana Bu Ifa memulai
mendirikan Figa Batik?
Tahun 2006, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) bermaksud memulihkan
kembali kejayaan batik Semarang di masa lalu. Maka diadakanlah pelatihan membatik
dengan peserta dari masyarakat Kampung Batik.
Bu Ifah yang waktu itu seorang ibu rumah tangga ikut mendaftar untuk
mengikuti pelatihan. Dan di sanalah kali pertama beliau mengenal batik dan
teknik-teknik membatik. 60 orang yang
mengikuti pelatihan tidak semuanya lantas bisa membatik. Hanya sebagian yang
sudah terampil dan kemudian mencoba membuka usaha batik dengan dukungan dari
pemerintah.
“Namun sampai sekarang yang bertahan hanya 3 orang. Saya sendiri, Pak Eko
Haryanto dan Ibu Eli”, kata Bu Ifah menjelaskan siapa saja ‘prajurit’ yang
tersisa dari pelatihan 10 tahun yang lalu.
Kini di kampung batik bertebaran toko yang menyediakan batik Khas
Semarang dan sekitarnya, namun tidak semuanya memproduksi sendiri. Di luar 3
klaster batik di Kampung Batik, ada pengrajin lain yang memperoduksi batik
sebagai sambilan.
Kesulitan apa yang dihadapi selama
menjadi pengusaha batik?
“kesulitan utama adalah pemasaran” jawab bu Ifah gamblang.
Jika tidak ada pameran, maka bu Ifah pun tidak banyak memproduksi batik
karena angka penjualannya rendah. Untuk itu beliau memproduksi hanya untuk
ketersediaan stok, di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.
Batik yang dipajang di workshop Figa Batik dok. Pribadi |
Dalam satu bulan beliau memprosuksi 1-2 batik tulis. Sedikit ya.. tapi
begitulah karena batik tulis membutuhkan ketelitian yang lebih dibandingkan
jenis batik lainnya. selain itu juga sangat tergantung dengan faktor cuaca.
Jika setelah membubuhkan malam ke dalam pola kain yang akan digunakan lalu
udara lembab, malam tersebut bisa mleber
dan berakibat hasilnya tidak rapi. Akibatnya tentu menurunkan kualitas batik
yang dihasilkan.
Saat ada panggilan dari pemerintah kota/dekranasda untuk mengikuti
pameran, beliau memproduksi batik lebih banyak dari biasanya dengan bantuan
keluarga dan tetangga sekitar.
Oia, batik beliau telah diikutkan dalam pameran di Singapura dan Malaysia
juga lho..
“Tapi orangnya belum pernah, baru ke beberapa kota saja. Paling jauh
sampai Batam,” lanjut Bu Ifah sambil mengulum senyum.
Beliau mendapatkan penghasilan tambahan dari pelatihan batik kilat baik
untuk perorangan maupun sekolah.
Seperti 5 anak SMA 10 yang saya temui waktu itu, mereka datang ke sana
atas kemauan sendiri dan pernah ikut pelatihan sebelumnya saat masih menjadi
siswa SMP.
Safa, Firga, Safia, Pipit, dan Ika sibuk dengan kain masing-masing
sementara Bu Ifah mengontrol dan menyiapkan pewarna sesuai keinginan mereka.
“Untuk pewarnaan, jenin pewarna yang digunakan pun berbeda. Remasol digunakan untuk batik celup dan colet
sedangkan Naptol khusus untuk batik
celup,” jelas bu Ifa.
Beliau menakar dengan timbangan kecil ‘ramuan’ untuk pewarna kain batik
jumputannya.
Saya pun berkeinginan untuk mengikuti kelas batik tulis, namun rupanya
hari itu beliau tidak sanggup karena ada jadwal pengajian. Saya putuskan untuk
ikut mencoba membuat batik jumputan saja dan diiyakan oleh beliau.
Karena beliau masih sibuk, saya pun diajari oleh anak-anak SMA itu, yang
sebagian prosesnya sudah saya lihat tapi saya ketinggalan proses awalnya.
Berbagai perlengkapan membatik yang tersedia di Figa batik |
Proses pewarnaan batik jumputan |
Hasil dari belajar membatik di workshop Figa batik |
Ternyata cukup mudah, hanya butuh ketelitian dan ketelatenan untuk
melipat atau mengikat kain putih agar nantinya menjadi pola sesuai yang
diinginkan.
Setelah selesai melipat-lipat kain dan mengikatnya erat dengan karet
gelang, kami pun bersiap untuk proses pewarnaan. Sebagain pewarna dimasukkan ke
dalam botol kecap dan sebagian lagi dicampurkan dengan air di dalam ember.
Bu Ifa memandu kami untuk mencelupkan kain sesuai warna yang kami
inginkan. Untuk beberapa pola yang harus diteteskan (tidak bisa dicelup), bu
Ifa menyediakan jaring-jaring besi dan wadah dari lempengan aluminum untuk
menampung tetesan pewarna agar tidak mengotori tanah.
Here we go! Dengan telaten
beliau memandu kami satu per satu untuk mewarnai sesuai dengan pola
jumputannya. Setelah itu, kain yang telah diberi pewarna harus dipanaskan di bawah
sinar matahari sampai benar-benar kering. Proses selanjutnya setelah kering
adalah fiksasi agar pewarna yang menempel di kain tidak mudah luntur.
Namun, berhubung beliau ada agenda dan ternyata datang serombongan anak
SMA 10 lainnya yang ingin belajar membatik, kami pun mohon diri dan membawa
hasil kreasi kami masing-masing.
Semoga lain kali saya bisa mencoba membuat batik tulis. Sementara cukup
dengan melihat-lihat hasil batik tulis bu Ifah dengan pola khas Semarang
seperti Asem sedompyok (daun asam dan beberapa biji asam jawa dalam satu
ranting), Blekok Pohon Asam, Lawang Sewu, Tugu Muda, Pohon Asam, dll.
Berapa biaya yang dibutuhkan untuk
belajar membatik? Murah sekali! Hanya Rp. 20.000,- bisa belajar batik tulis
(membuat sapu tangan), batik jumputan dan batik cap dengan kain yang lebih
lebar.
Ciri Khas Batik Semarang
Batik Semarang hampir sama dengan batik Pekalongan yang bermotif flora
dan fauna serta warna-warna yang cerah. Bedanya, jika batik pekalongan dipengaruhi
oleh budaya Belanda maka batik Semarangan lebih diwarnai oleh budaya China.
Para pengrajin pun menciptakan sendiri batik khas dengan ikon kota
Semarang seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, Pohon dan buah asam, Blekok (Sejenis bangau yang hidup di
pohon asam di Salah satu kawasan Semarang), dll yang identik dengan kota
Semarang.
Aneka Batik dengan dua kali pewarnaan motif Asam Sedompol, Blekok Sukun, Lawang Sewu |
Aneka Batik Semarangan satu dan dua warna Motif Blekok Sukun, Tugu Muda, Kawung Asam, Pohon dan bunga asam |
Aneka Batik Khas Semarang kombinasi Cap dan Colet |
Batik tulis dalam proses pengerjaan, motif Asam sedompol dan Lawang Sewu |
Untuk batik cap dengan satu warna (Warna dasar berwarna dengan corak
putih) dibandrol dengan harga mulai Rp. 85.000, Batik cap dengan dua warna
125.000, sedangkan untuk batik Colet (Kombinasi batik dengan warna dengan cara
disapukan manual satu per satu) harga berkisar Rp.160.000. Untuk batik cap
dengan motif yang lebih rumit dengan beragam warna dibandrol mulai Rp.350.000.
Sedangkan batik tulis pun disesuaikan dengan tingkat kerumitan coraknya, mulai
Rp.300.000 – Rp. 1.000.000 dengan ukuran standar 1,2m x 2m.
Peran apa yang bisa kita ambil?
Keberlangsungan para pengrajin batik tak luput dari dorongan dan sokongan
pemerintah serta masyarakat sekitar. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ibu
Ifah bahwa permasalahan utama ada pada pemasaran, maka kita sebagai generasi
muda diharapkan bisa memberikan solusi bagi masalah yang mereka hadapi.
Bagaimana kita bisa berperan dalam pelestarian batik daerah ini?
Menyebarkan
informasi
Coba tanyakan kepada warga Semarang tentang kampung
batik, maka tak semua orang mengetahuinya. Untuk itu, penyebaran informasi agar
viral di dunia maya dibutuhkan sehingga jika terbersit kata batik semarang maka
yang tertuju adalah kampung Batik sebagai sentra batik dan wisata edukatif
seputar batik.
Jika telah banyak orang yang mengetahui mengenai
kampung Batik Semarang, bukan mustahil jika kemudian semakin ramai dikunjungi
masyarakat baik yang ingin belajar membatik atau membeli batik khas Semarang.
Belajar Membatik
Untuk apa belajar membatik? Selain siswa sekolah yang
mendapat tugas, warga umum pun tak ada salahnya untuk belajar membatik agar
memahami bagaimana selembar kain bisa menjadi cantik untuk dikenakan. Butuh
proses panjang mulai dari memilih kain sampai kain siap dipasarkan. Sehingga,
pantaslah jika harga batik dibandrol cukup mahal terlebih untuk batik tulis.
Belajar membatik di sentra batik artinya kita juga
membantu pemasukan mereka meski kecil. Jadi, jika ingin belajar ke sana,
datanglah dengan rombongan minimal 5 orang agar mentornya mendapatkan ‘upah’
sesuai dengan jerih payahnya mengajar.
Jika dipikir-pikir, uang Rp. 20.000 toh masih digunakan
untuk membeli perlengkapan yang digunakan oleh peserta pelatihan. Berapa yang
mereka dapatkan? Mereka sudah mendapatkan kepuasan tersendiri dengan makin banyaknya orang yang antusias melestarikan batik khususnya batik Semarang.
Anak-anak TK belajar membatik. kamu kapan? dok. Figa Batik |
Anak-anak SMA belajar batik tulis dok. Figa Batik |
Menggunakan batik
daerah
Menggunakan batik Semarang bagi warga Semarang, adalah
poin pentingnya. Memang tak bisa dipungkiri dan tak bisa disalahkan bahwa batik
printing (meskipun seharusnya
dikatakan motif batik, bukan kain batik) lebih menguasai pasaran dengan harga
yang lebih terjangkau dan warna yang memikat.
Berpose bersama Bu Ifah dan siswi SMA 10 Semarang dok. pribadi |
Setidaknya kita bisa membeli selembar – dua lembar kain
batik yang dibuat langsung oleh pengrajin di Kampung Batik Semarang. Selebihnya,
kita mengajak orang-orang di luar sana untuk membeli batik Semarang dari para
pengrajin.
Semoga pamor Batik Semarangan tak kalah dengan aneka
panganan yang menjadi ikon kota Semarang. Semoga Balai Batik Semarang tak
lekang dimakan zaman dan sejarah kampung batik yang mati suri tak lagi
terulang.
Selamat berjuang, para pencetak sejarah di
lembar-lembar kain putih. Semoga anak cucumu mampu meneruskan perjuanganmu
kelak.
Siang yang terik itu kami meinggalkan kampung batik
dengan harapan akan kembali lagi ke sana suatu saat. Untuk belajar dan untuk
belanja kain batik.
Simak juga keseruan belajar membatik saya di sini:
Simak juga keseruan belajar membatik saya di sini:
Semoga bermanfaat,
Sumber:
1.Wawancara
dengan Ibu Afifah, pada tanggal 19 Oktober 2016
2.Kampung Batik,
Pusat Batik Semarangan. www.batiksemarang.com.
Online: diakses pada tanggal 20 Oktober 2016
BATIK FIGA
(Ibu Siti Afifah)
Alamat: Kp.
Batik Malang 673 Kec. Semarang Timur
HP. 085641088175
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog
Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Keereen tuh batiknya , yg lagi tren saat ini, lupa namanya apa yaa, yang motif ijo, biru..
Susaah euy membatik pas pake canting, kudu teliti, sabar hihii
Motifnya bagus-bagus. Meski kalo dibaca dari sejarah yg Mbak Arina tulis enggak kental dengan sejarah kerajaan.
Nice post, Mbak. Sukses yaa lombanya :)
itu pun beli karena dulu ada ospek kuliah :''
Tapi senengnua, batik sekarang itu banyak variasinya. Warnanya pun bagus-bagus. Jadi, yang masih muda kayak aku nih (hahahaha) PD banget pake batik.
Anak-anakku dulu juga outing class pernah ke tempat pembuatan batik, belajar membatik langsung.
seru kayanya kalau belajar mematik ya... perlu orang yang telaten..serius..gak pecicilan..:D
Semoga batik Semarang terus berkembang dan makin dikenal dimana-mana ya.
tapi bagus dan kepengen bisa juga
Benar dengan kekayaan batik yang dimiliki tiap daerah, harusnya melestarikannya dengan salah satunya memakainya..
Infonya mantabbb, tambah ilmu tentang per-batik-an ^^