Fragmen Buram Kehidupan si Gadis Kampung
Daftar Isi
Ada banyak fragmen hidup yang diinginkan untuk selalu dikenang. Namun ada
pula kisi-kisi gelap yang sedianya tak ingin kita kenang tapi melekat begitu
saja ibarat daki dari asap tungku kayu bakar yang menghitam saat menempel di
permukaan benda-benda.
Seperti halnya seorang gadis kecil yang tinggal di negeri di atas awan. Ia
tak pernah bisa memilih terlahir dari rahim ibunya, tapi takdir Tuhan jua lah
yang telah menurunkannya di sana, dan memberinya hidup bersama keluarga kecil
itu.
Gadis kecil yang tumbuh dengan mengakrabi sungai dan sawah yang
terbentang di pinggiran desa. Apalagi yang membuatnya bahagia selain kicauan
burung dan udara sejuk pagi hari serta teman sepermainan yang membuatnya bisa
tertawa lepas.
Tapi, kerikil-kerikil tajam kehidupan sering jua menghampirinya. Kerikil
yang berserakan dan menghimpit langkahnya untuk maju. Kerikil yang justru
berada dalam lingkaran keluarganya sendiri.
Mendung pun menggayuti masa kecilnya. Lalu berubah menjadi suram. Sesuram
tangis-tangis sang ibu yang kerap ia dengar. Jiwa kecilnya yang belum memahami bahwa
kesulitan yang dihadapi adalah untuk menguatkan dirinya, membuatnya menjadi
gadis pemarah yang sering bersungut-sungut saat menghadapi sesuatu. Kehidupan juga
lah yang membuatnya menjadi gadis pendiam si kutu buku yang cukup berprestasi.
Setelah lulus masa sekolah hampir tak ada bayangan untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mimpi-mimpi tentangnya kerap
membayangi, namun hanya jalan gelap yang ia temukan.
Tapi Tuhan ternyata sangat menyayanginya. Tak dinyana, ia mendapat
beasiswa untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Jika ia berhasil lolos
dalam seleksi, maka akan mendapat beasiswa selama dua semester berikut uang
saku bulanan yang akan dibayarkan tiap 6 bulan sekali.
Ia pun mencoba peruntungan. Bersama sang Bapak ia menyusuri jalanan kota
Semarang berbekal surat undangan untuk mendaftar seleksi. Halang rintang yang
dihadapi selama perjalanan ia anggap sebagai tapak langkah yang pasti dihadapi
oleh setiap orang. Ia sadar, bahwa jalan setiap orang berbeda, meski mereka
mempunyai tujuan yang sama.
Perempuan Senyum Rembulan ilustrasi |
Episode Perempuan Berjilbab dengan Senyum Rembulan
Saat mendapat pengumuman bahwa ia lolos di universitas negeri terpandang
di Jawa Tengah, si Gadis seperti linglung. Rasa senang membuncah sekaligus
sedih dan kalut muncul dari dasar hatinya.
Bagaimana caranya bapak harus membayar uang registrasi yang tak sedikit
itu?
Si Bapak tak kalah bingung, tapi ia hanya berucap kalimat yang
menguatkannya.
“Bismillah, sudah terlanjur basah mandi sekali. Sebelumnya kita sudah
disibukkan dengan seleksi dan sebagainya. Sayang kalau tidak diambil karena
sudah ‘mengalahkan’ ratusan kepala yang lain. Kalau memang rejeki pasti ada
jalan.”
Kalimat yang membuat gadis itu menangis, senang dan terharu bahwa meski
orang-orang di luar -sana mencemooh dan tak rela ia berpendidikan tinggi, tapi
ada orang-orang terkasih yang melindungi dan mendukungnya.
Maka di hari yang telah dijadwalkan untuk registrasi, mereka pergi ke
kampus. Mereka menempuh perjalanan 4 jam dengan bis ekonomi dengan hanya
membawa setengah dari uang yang seharusnya dibayarkan.
“Entah nanti bagaimana, kita hanya mengharapkan keajaiban.”
Kalimat sang Bapak lagi-lagi membuatnya ingin berhenti daripada
menyusahkan kedua orangtua, tapi beliau justru menyemangatinya dan memintanya
untuk berdo’a sepanjang perjalanan.
“Assalamu’alaikum... mau registrasi ulang ya Dek? Ada yang bisa dibantu?”
Di tengah teriknya matahari siang bolong di kota Semarang, seorang
perempuan berjilbab mendekatinya. Si Gadis dan sang Bapak tengah duduk
mencangkung kebingungan di selasar kampus, mencari kesejukan sambil
beristirahat sejenak setelah perjalanan.
Maka terlibatlah percakapan diantara mereka, dengan perempuan berjilbab
bertanya dan si Gadis menjawab seperlunya. Malu dengan bahasa Indonesianya yang
medok sekaligus tidak percaya diri di hadapan orang baru.
“Kalau Adik mau mengajukan keringanan biaya bisa ko, nanti dibantu sama
tim advokasi mahasiwa,” begitu katanya dengan senyum rembulan tersungging di
bibirnya.
“Oia? Syaratnya bagaimana Mba?”
“Bla..bla..bla...”
Ia pun harus mendaftar, interview
dengan tim advokasi, dan menunggu dipanggil untuk bertemu dengan pembantu
rektor.
Detik demi detik berlalu, hingga jam pun berputar menunjukkan waktu
tutupnya loket registrasi. Maka advokasi pun harus dihentikan, dilanjutkan esok
hari di tempat yang sama.
Beruntung, mereka bisa menginap di tempat saudara jauh yang tinggal di
Semarang.
Esoknya saat mereka kembali lagi ke kampus, si senyum rembulan
menyambutnya dengan ramah dan menemaninya hingga namanya dipanggil masuk ke
ruang rektorat.
Dengan negosiasi selama beberapa menit, Pembantu rektor itu pun
menandatangai surat yang menyatakan bahwa biaya sekian juta rupiah bisa
dibayarkan di tahun berikutnya. Fyuuh...
cukup melegakan meski biaya tersebut tak benar-benar digratiskan, hanya ditangguhkan.
Namun menjadi rezeki tersendiri yang bisa jadi jalan dari Allah, jalan dari
tempat yang tak disangka.
Si Senyum rembulan dan uluran tangannya telah menorehkan tekad dalam hati
si Gadis, bahwa suatu saat ia pun harus seperti beliau yang membantu banyak
orang tanpa pamrih. Mengulurkan tangan untuk mereka yang membutuhkan, meski
sejatinya tak mengemis bantuan.
Jalan masih panjang, perjuangan belum berakhir ilustrasi |
Perjuangan belum Berakhir
Setahun berlalu biaya kuliah terbayarkan dengan gali lubang tutup lubang
karena beasiswa datangnya tak menentu. Bagaimana nanti setelah beasiswa itu
berakhir? Maka jalan satu-satunya adalah mencari beasiswa lagi.
Berbekal surat-surat dan IPK yang mencukupi persyaratan, ia pun menjajal
untuk melamar beasiswa PPA. Namun yang diterima adalah hal yang menohok ulu
hatinya.
“Mahasiswa penerima BMU tidak boleh mengajukan beasiswa lagi!” kata si
Ibu dengan wajah kurang bersahabat.
“Maaf Bu, tapi BMU itu hanya dua semester... dan sekarang sudah memasuki
semester 3.”
“Siapa bilang?! Sejak dulu BMU itu ya selama 4 tahun!”
“Di surat yang dulu dari dikti hanya menyebutkan dua semester, Bu,” Si
Gadis tak ingin berhenti berjuang.
“Yadusah. Tanya ke rektorat saja kalau begitu!”
Sampai di rektorat yang harus ditempuhnya 1 jam dengan bis dan angkot
menuju kampus 2, ia hanya mendapati penjelasan yang sama dengan yang
dipahaminya selama ini.
“Pak, bisakah saya meminta surat keterangan yang menyebutkan jika saya
menerima BMU hanya selama 2 semester dan boleh mengajukan beasiswa lagi?”
“Maaf Mba, saya rasatidak perlu. Sudah cukup jelas, silakan jika mau mengajukan
beasiswa lagi. Jangan lupa lengkapi persyaratannya.”
Ia pun meninggalkan pintu bagian kemahasiswaan dengan perasaan tak
menentu.
Yasudahlah, kalau rejeki tak akan
kemana, yang penting sudah berusaha. Kalimat bapaknya tiba-tiba terngiang
dan mampu membuatnya kembali tersenyum.
Setelah negosiasi dengan pegawai bagian beasiswa di TU fakultas, ia pun
mendapatkan izin untuk mengajukan beasiswa.
Fyuuh... IPK tiga koma paling
tidak aku tak perlu bertebal muka meminta Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)
ke kelurahan, meskipun jika dihitung-hitung bapak termasuk keluarga level
bawah.
“Mbak, SKTM-nya mana?”
“Beasiswa PPA juga harus menyertakan itu ya Bu?”
“Ya harus dong Mba! Sudah berapa kali saya bilang bla..bla..bla..”
Maka demi memperjuangkan beasiswa itu, ia pulang kampung dengan uang saku
terakhirnya. Meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan dan stempel
kecamatan. Bertebal muka dengan petugas di kelurahan dan menelan pahit-pahit wajah
ketus petugas kecamatan. Ternyata hal itu harus diterimanya bahkan dilakoni untuk
tahun-tahun berikutnya saat perpanjangan beasiswa.
Tak ada waktu untuk melepas rindu kepada keluarga karena harus segera
mengurus kelengkapan persyaratan. Maka keesokan harinya ia berangkat pagi-pagi
dengan bis ekonomi agar hemat ongkos. Ia merelakan diri bergumul dengan
pengapnya hawa dan hiruk-pikuk penumpang serta pengamen dan penjaja asongan
yang hilir-mudik naik-turun bis.
Kembali ke kampus pun tak ada sisa waktu untuk beristirahat. Ia langsung
menuju kampus dengan berjalan kaki, tak tega menyewa becak yang mangkal tak
jauh dari rumah kos karena itu artinya ia harus memangkas lagi uang saku yang
pas-pasan.
“Assalamu’alaikum, selamat siang, Bu. Ini berkas-berkas sudah saya
lengkapi semoga tidak ada yang kurang,” kata di gadis begitu menemui petugas di
fakultas.
Beliau pun meneliti satu persatu berkas yang dibawanya.
“Mba, kalau mau bohong jangan berlebihan dong!”
“Bohong?! Mmm...maksudnya bagaimana, Bu?,” si Gadis terbata, tak memahami
apa yang dituduhkan padanya itu.
“Ini loh! Penghasilan bapak kamu lima ratus ribu perbulan?! Yang benar
saja! Uang buat bayar kos kamu berapa? Buat bayar biaya bulanan berapa?! Hitung
coba. Memangnya dengan penghasilan begitu cukup untuk biaya kuliah? Hm?! Belum
lagi biaya hidup keluarga di sana?!”
Seakan palu godam diayunkan ke kepalanya. Sakit. Pening. Dan ia tak mampu
berkata-kata selama sekian detik, sibuk menahan air mata yang sudah mendesak
meronta ingin keluar.
“Bu, kenapa saya harus bohong? Begitulah nyatanya,” jawabnya lirih.
“Bapakmu petani kan? Pasti sawahnya banyak dan penghasilannya juga tak
sedikit.”
“Aamiin.. terimakasih sudah mendoakan, Bu. Tapi kondisi saat ini bapak
saya hanya petani kecil dengan hasil panen tak menentu. Biaya kos saya murah
karena saya tinggal di rumah kontrakan bersama teman-teman. Rumah seadanya
sekamar bertiga yang penting bisa untuk bernaung dan belajar. Untuk makan, kami
bergantian piket masak agar menghemat pengeluaran bulanan...”
Lengang. Si ibu seperti berpikir tapi masih setengah percaya dengan
perkataan si Gadis.
“Mungkin ibu perlu melihat langsung kondisi rumah saya jika ingin
membuktikan. Silakan Ibu datang ke sana jika berkenan. Saya mohon pamit jika
sudah lengkap berkasnya. Assalamu’alaikum.”
Tanpa menunggu persetujuan si Ibu, ia meninggalkan ruang TU. Sesungguhnya
ia tak kuat lagi menahan dorongan air mata itu. Maka ia kembali ke rumah kos
dengan menangkupkan selembar tisu ke wajahnya.
Ya Rabb... sejatinya hamba tak
ingin menghinakan diri, tapi juga tak mungkin jika harus terus menerus berhutang
tanpa mencari beasiswa. Bisiknya selama perjalanan menuju tempat kos.
Bukannya hanya berpangku tangan, tapi gaji dari mengajar privat hanya
cukup untuk membayar pulsa dan fotokopi diktat kuliah.
Terkadang miris melihat teman-temannya yang lain juga mendapat beasiswa
tapi uangnya digunakan untuk membeli gadget. Artinya, ia tak butuh beasiswa
huh?! Sedangkan baginya, beasiswa artinya ia bisa bernapas lega karena untuk
semester berikutnya tak perlu dipusingkan dengan biaya SPP.
Sudahlah! Mengapa harus memikirkan
orang lain? Bisik hatinya yang lain.
Ia terus percaya bahwa Allah lah yang Maha kaya, yang maha meng-kayakan
orang atau bahkan memiskinkan. Ia percaya bahwa setiap jengkal langkah dan
hidupnya telah diatur dalam kitab-Nya. Dan ia selalu yakin bahwa Tuhan akan
memberinya jalan dari manapun.
Pandangan manusia hanya terbatas pada apa yang dilihatnya. Tapi
pandangan-Nya tak terhingga melampaui batas masa dan jarak.
Pikiran manusia pun terbatas pada apa yang bisa disimpannya di dalam
kepala. Tapi skenario-nya jauh lebih cerdas dan cantik dari segala daya upaya
manusia.
Maka kenapa harus risau dengan kalkulasi dan akuntansi manusia jika kepunyaan-nya
jauh lebih canggih dan up to date?
Maka si Gadis pun terus berjalan, meniti langkah menuju setitik cahaya
harapan. Tekad untuk bisa seperti si Senyum Rembulan lah yang membuatnya bertahan dan terus bertahan. Membuatnya ingin berarti, ingin memberi manfaat untuk mereka yang membutuhkan.
Bukankah ujian adalah ujung tangga untuk mencapai jenjang berikutnya?
Bukankah jika tak pernah merasakan kerasnya kehidupan ia tak akan mudah mensyukuri nikmatNya yang lain? termasuk beasiswa yang akhirnya ia dapatkan hingga menyelesaikan studi stata satu-nya.
Note:
Untuk Mba Ira, semoga tulisan
ini sesuai ya. Hanya sepenggal puzzle hidup yang keinginan untuk meulupakan
makin kuat maka sekuat itu pula ingatannya melekat. Fyuuh... lega sudah
bercerita banyak tentang ‘Si Gadis’. Hehe.
Barakallah atas milad Mba Ira dan Blog-nya semoga berkah dan makin bermanfaat.
Barakallah atas milad Mba Ira dan Blog-nya semoga berkah dan makin bermanfaat.
Asli saya lebih bingung untuk menulis bagian ini, Mba. Karena blog Mba
Ira sekarang sudah berubah menjadi cantik dan lebih responsive dari sebelumnya.
Congratulation ya Mba, atas template barunya J
Ngomong-ngomong soal tulisan di www.irawatihamid.com,
saya suka karena Mba Ira sering menambahkan tips-tips saat membahas tema
tertentu. Saya juga sekali dengan ulasan tentang film yang rinci sekali. Hihi
(mantan penggemar film India nih Mba.. ups)
Barakallah juga belum lama ini Mba Ira meraih juara lomba kan ya?
Semoga makin semangat menulis dan berbagi.
Salam,
Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Sukses sllau yaaa mbak :)
Barakallah, Mba Arin. Gudlak untuk lombanya ya :*
terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah Mba :*