Mangrove Tracking, Daya Tarik Baru di Puri Maerokoco Semarang
Daftar Isi
arinamabruroh.com - Mangrove Tracking, Daya Tarik Baru di Puri Maerokoco Semarang
Assalamu’alaikum, Temans. Happy Monday!
Teman-teman di Semarang sekitarnya yang ingin alternatif tempat wisata
murah dan seru bisa memasukkan Puri maerokoco sebagai salah satu tujuannya.
Ah! Siapa bilang?! Maerokoco itu
kan kumuh dan kuno banget! Nggak terawat dan sering kena rob kalau sudah siang.
Hm.. itu dulu lho..! iya, dulu! Sekarang sudah makin ciamik berkat
pengelolaan dan adanya mangrove tracking dengan spot-spot foto
menariknya.
Ini dia yang menarik wisatawan untuk datang ke sini foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Mengingat Maerokoco, otakku menggiring untuk menuju masa kelas 4 SD.
Waktu itu salah seorang kerabat di Semarang akan naik haji, kami keluarga
Wonosobo datang ke Semarang untuk bersilaturrahim. Namanya belum punya
kendaraan sendiri dan anggaran untuk jalan-jalan hampir tidak ada, maka kami
hanya menyewa satu kendaraan kecil yang diurus oleh adik bapak. Kami hanya
mendapat jatah 2 kursi, dan bapak mengajakku untuk turut serta sedangkan mamak
dan adik-adik harus rela hanya menunggu di rumah.
Mobil yang tidak ber-AC penuh sesak, ramai oelh tangisan anak-anak, juga orang
dewasa yang ngobrol sana-sini, masih ditambah dengan bau asap rokok dan suara-suara
mabuk kendaraan. Belum lagi kami yang dari daerah dingin menuju Semarang yang
super panas, rasanya seperti cacing terpanggang matahari.
Sampai di tempat pakdhe, kami berebut kipas angin (yang bagi saya wow sekali karena tidak pernah
melihatnya), menghabiskan bergelas-gelas es syrup,
dan tiduran di keramik supaya panas badan sedikit menguap. Pulang dari sana kami
bertandang ke Puri Maerokoco, melihat Taman Mini Jawa Tengah dengan anjungan
yang tertata rapi seperti lokasi provinsi Jawa Tengah sebagaimana aslinya.
Ah, itu kenangan manis sekaligus pahit yang masih lekat dalam ingatan.
Pahitnya nggak perlu diceritakan ya (nangis sendiri aja). Senangnya, saya bisa berkeliling
dan naik perahu motor bersama budhe dan sepupu-sepupu. Asyik sekali rasanya
karena itu pengalaman baru buatku. Esoknya, setelah kembali ke rumah, tak henti
kuceritakan pengalaman jalan-jalan ke Semarang itu ke teman-teman sekelas. Iya,
karena sebelumnya, kota yang pernah kudatangi hanya kota-kota di sekitar
Wonosobo. Perjalanan ke Semarang (dan LEWAT Simpang Lima) sudah menjadi cerita
yang cukup heboh. Meski sebenarnya, tak seindah dan seenak ceritanya.
Kali kedua mengunjungi Maerokoco adalah saat outing speaking class. Dosen
kami mengadakan acara outdoor untuk
praktik mata kuliah (fun) English Speaking sebagai inovasi ujian mid
term. Kami pun menyusun drama untuk
ditampilkan di sana. Pikniknya dapat, ujian dapat, kebersamaan dengan teman
kuliah pun menjadi kenangan tak terlupakan.
Waktu itu kami hanya sempat melihat beberapa anjungan dan berfoto
bersama. Sayangnya setelah acara selesai sekitar pukul 1 siang, air rob mulai
naik dan kami pun buru-buru membereskan perlengkapan kami dan segera
meninggalkan area Maerokoco yang mulai tergenang air.
Ketiga kalinya, organisasi kampus yang saya ikuti mengadakan musyawarah
akhir periode (apasih istilahnya, saya lupa. Haha. Reorganisasi alias Re-Or aja
deh ya). Kebetulan karena anggotanya ingin sekalian jalan-jalan, panitia
memilih Maerokoco sebagai tempatnya. Kami menyewa aula anjungan Rembang dan Pati
sebagai tempat acara. Di sela-sela acara, tentu saja kami menyempatkan diri
untuk berfoto dan mencari objek menarik untuk dijadikan background foto. Mulai dari pinggiran rawa sampai perahu pun tak
luput dari perhatian kami. Seru! Apalagi bisa berfoto bersama dengan sahabat.
Ehm! Terimakasih sudah membaca
curhatan dan nostalgia saya.
Beberapa waktu lalu seorang teman yang hobi fotografi meng-upload fotonya setelah hunting foto di tracking mangrove Maerokoco. Gambar-gambarnya yang cantik membuat saya makin
kepo untuk mengetahui lebih banyak tentang
wisata yang tergolong baru itu. Maksudnya baru di area maerokoco, hehe.
Jadilah saya langsung mencoba chatting dan tanya ini-itu seputar
Maerokoco untuk kemudia mengajukan ‘proposal’ ke suami untuk pergi ke sana. Tapi
sejak akhir tahun kemarin belum juga menemukan waktu yang pas untuk pergi.
Selain pertimbangan si-Kecil yang masih belum lulus toilet training, seringnya
turun hujan di sore hari juga menyebabkan kami enggan untuk pergi.
Akhirnya, kamis pekan kemarin saat saya dan suami free, kami nekat berboncengan motor ke Maerokoco meski mendung. Alhamdulillah,
karena mendung suasana siang di sana tidak panas menyengat. Paginya sudah
hampir memutuskan untuk membatalkan rencana pergi karena langit sangat gelap. Beruntung
sekitar pukul 09.30 mulai sedikit cerah.
Perjalanan cukup menegangkan bagi saya karena suami memilih jalur
pelabuhan agar tidak memutar. Bagaimana tidak? sepeda motor ‘saingan’ dengan truk
dan kontainer yang bunyinya menderu dan klaksonnya meraung-raung. Hiks!
Jalannya sebagian begelombang juga. Haha. Saya memang kadang lebay sih kalau
lagi di jalan, antara takut tapi suka. Nahloh.
Memasuki Jalan Puri Anjasmoro, lalu lintas terlihat lengang, saya mulai
lega dong, karena artinya tidak lagi
ketemu kendaraan besar bermuatan berat itu. Tapi pulangnya nanti sama saja, hiks.
Kami pun berbelok ke kiri setelah melihat gerbang besar PRPP Jateng,
menuru area Maerokoco yang berada di sebelah PRPP dan tak jauh dari restoran
pinggir laut terkenal, Kampung Laut.
Di sana ada penunjuk arah, jalan lurus ke Kampung Laut dan belok kanan ke Puri
Maerokoco. Jika teman-teman pernah datang ke area Jateng fair, pasti tidak
bingung lagi karena jalan menuju ke sana adalah jalan yang sama.
Sebelum memasuki area parkir, ada petugas tiket dan parkir yang standby di depan loket. Kami diminta
membayar Rp. 16.000, terhitung 2 tiket untuk dewasa @Rp.7.000 dan Rp. 2.000
untuk biaya parkir sepeda motor. Harganya terjangkau sekali bukan?
Selamat datang di Taman Mini Jawa Tengah foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Kami sempat kebingungan akan parkir di mana, akhirnya parkir di area
parkir motor PRPP dan berjalan kaki menuju Puri Maerokoco. Setelah bertanya
kepada seorang bapak yang berpapasan, ternyata motor dan mobil bisa memasuki
Maerokoco dengan jalur yang sudah disediakan. Ada tanda panah sebagai penunjuk arah. Siplah
kalau begitu, tadinya sudah membayangkan bakalan gempor jalan kaki memutari maerokoco.
Main dulu di playground foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Rencana mau langsung masuk dan melihat rumah adat, ternyata si Kecil
langsung tertuju ke playground yang
ada di sebelah kiri pintu masuk. Aneka permaian anak tersedia di sana meskipun sebagian
sudah rusak. Arena yang luas dan tidak ada saingan main adalah saatnya Hasna
berteriak kencang dan berlarian bebas.
“Pak, ke dalam saja bisa bawa motor, ada parkiran di sana,” kata seorang
bapak yang sepertinya mandor. Ada bagian yang sedang direnovasi dan sedari tadi
dia wira-wiri diantara para pekerja
bangunan.
“Iya Pak, ini anaknya pengen main dulu,” jawab kami berbarengan.
“Oh, begitu... monggo..”
Alhamdulillah, tadinya sempat mikir jangan-jangan dilarang parkir di
situ, tapi tidak ada tanda larangan parkir juga ko. Hehe.
Ada Playground di sebelah kanan
juga, tapi waktu itu bagian sana yang sedang direnovasi. Permainan yang di sana
lebih sulit dibandingkan yang sebelah kiri. Cocok untuk anak-anak usia TK ke
atas.
Setelah puas, kami menuju rumah adat Kabupaten Sragen. Ada sepasang
patung gajah dan buah semangka besar yang (lagi-lagi) menarik perhatian Hasna.
Kami pun memasuki anjungan Kabupaten Sragen dan disambut oleh bapak penjaganya.
Sayang saya lupa menanyakan nama beliau saking asyiknya melihat-lihat produk
daerah yang dipamerkan di sana. Ada batu akik, hiasan yang menyerupai alat – alat
yang digunakan oleh manusia purba, cinderamata
khas Sragen, sampai boneka sebagai pelengkap barang jualan.
Menurut pak Penjaga, beliau setiap hari tinggal di sana dan membuka rumah
adat untuk menerima pengunjung. Beliau merupakan pegawai pemda yang ditugaskan
untuk menjaga ‘rumah’ sebagai media promosi.
Di Anjungan Kabupaten Sragen foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Miniatur masjid di anjungan Kabupaten Klaten foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Setelah puas melihat dan bertanya ini-itu, kami melanjutkan melihat
anjungan lain. Tidak banyak perubahan yang terjadi, dan sebagian rumah adat ada
yang rusak tak terawat. Saya jadi makin ingin ke tracking mangrove-nya karena
sudah beberapa kali melihat-lihat rumah adat.
Adzan dhuhur berkumandang dari mushala yang merupakan replika Masjid Agung
Demak, maka kami pun beranjak untuk shalat dhuhur terlebih dahulu. Setelah shalat
dhuhur, kami langsung meluncur menuju mangrove tracking. Ternyata, meskipun hari
aktif cukup banyak juga pengunjungnya. Ini kali ke sekian membuktikan betapa
pengaruh medsos (terutama isntagram) sangat besar terhadap animo masyarakat
untuk mengunjungi tempat wisata.
Hampir setiap pengunjung yang di sana sibuk mengambil foto baik selfie
dengan smartphone maupun dengan kamera DSLR. Sampai rasanya nggak enak mau
lewat kalau ada yang lagi foto. Hehe. Lama-lama cuek saja sih, sambil bilang “Maaf,
permisi ya Mba/Mas..” hehehe. Ada sebuah foto yang disediakan sebagai (semacam)
photobooth, tapi antrinya panjang.
Kursi ngehits, harus rela antri kalau mau foto di sini foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Jembatan cinta, *eh foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Saya yang dari rumah berharap bisa sekalian hunting foto dan wefie dengan
keluarga pun harus rela tidak mendapatkan foto yang diinginkan karena banyaknya
pengunjung yang duduk serta berjalan di track bambu. Apalagi Hasna maunya lari
sendiri, jadilah si Ayah membuntutinya, dan saya jalan sendiri kayak orang
ilang. Hiks. Nggak apa-apa lah ya,
toh si Kecil senang sekali main-main di sana.
Puas memutari mangrove track yang sebagian berbentuk ‘LOVE’
itu, kami melewati jembatan yang sekarang berubah menjadi cafe. Nggak mampir
beli makan sih, hanya lewat, foto-foto dan berhenti sejenak di pinggir
jembatan.
Wall of hope foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Seingat saya waktu kecil dulu, jembatan ini hanya digunakan untuk
menyeberang setelah menaiki boat. Sekarang sepertinya juga begitu sih, jika
naik perahu (sekarang adanya perahu tradisional) dan hanya membayar Rp.
5.000/orang turun di dekat jembatan tersebut. Oia, di bawah jembatan ada ‘dermaga’
perahu yang juga dimanfaatkan untuk kafe dan dilengkapi dengan kisi-kisi bambu
tempat menempelkan ‘harapan’. Wall of Hope,
namanya. Saya malah iseng baca-baca kertas yang tergantung di sana. Lucu-lucu
sih.. hihi.
Keluarga samarata (aamiin..) foto koleksi pribadi @arinamabruroh |
Akhirnya bisa berfoto di jembatan setelah ada Mas-Mas yang sedang hunting
foto tapi mempersilakan kami. Terimakasih ya Mas-nya. Setelah itu kami
beranjak, tidak melanjutkan berjalan melewati rumah adat yang belum kami
kunjungi, karena langit semakin gelap. Takut kehujanan, kasihan Hasna nanti.
Jika Teman-teman ingin datang ke Maerokoco, sebaiknya tidak saat week end
atau hari libur karena pengunjung ramai sekali. Kalau terpaksa datang di hari
libur, pastikan datang pagi-pagi karena semakin sore pengunjung semakin
membludak.
Tidak ada aturan yang ketat sih, hanya ada peringatan untuk membuang
sampah pada tempatnya dan tidak membuang ke dalam air. Semoga pengunjungnya
taat aturan ya, sayang dong kalau sekarang banyak tempat wisata yang
pengelolaannya diperbaiki tapi kotor karena pengunjung yang tidak bertanggung
jawab.
Sayangnya di dalam Maerokoco tidak ada yang menjual makanan berat,
sehingga jika lapar harus ke luar, ada beberapa warung tenda berjejer di dekat
pintu masuk. Memilih untuk makan di Kampung Laut juga bisa jadi alternatif. Saya
sih belum pernah ke sana, budget-nya belum mencukupi. Ehehe *jujuramat*. Ada baiknya
membawa bekal makanan sendiri karena bisa makan di manapun asal tidak
mengganggu pengunjung lain.
Peta Puri Maerokoco dan Pantai Marina (perhatikan lingkaran merahnya ya :)) |
Yuk, jalan-jalan ke Maerokoco.
Semoga bermanfaat,
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam