Tepian Sawah dan Mimpi Masa Kecil

Daftar Isi


Masa kecil adalah masa keemasan yang akan menentukan kita di masa depan. Namun, bagaimana jika masa kecil itu seperti labirin kelam yang ingin dihapus dari ingatan?
Ya, kenangan itu tak akan sepenuhnya bisa hilang, namun bisa kita salurkan energi yang terpendam itu menjadi energi positif yang mampu menggerakkan kita melakukan kerja-kerja peradaban.
Ah, mendapat tema tentang kenangan masa kecil dalam program kolaborasi bersama blogger Gandjel Rel mau tak mau memaksa ingatan untuk menelisik satu per satu kenangan masa kecil itu. Oia, tema kali ini ditentukan oleh Mba Anjar Sundari dan Mba Nia Nurdiansyah. Sudah kenal belum dengan 2 mommy super kece ini? Kalau belum, bisa langsung meluncur kepoin blog beliau berdua.

Banyak kenangan tak mengenakkan mulai dari menjadi korban bully, masalah ekonomi keluarga, keluarga besar yang kurang mendukung, dan seabreg kenangan lain. Tapi kenangan tak mengenakkan memang sebaiknya tak diingat-ingat supaya tidak menimbulkan sakit dan dendam yang bercokol di hati.
Sebagai seorang anak petani, sejak dulu kami akrab dengan sawah, sungai, kambing, juga kerbau yang 'bertugas' membajak sawah saat masa memulai bertanam padi.
Sepulang sekolah atau saat hari libur adalah waktunya kami bergumul dengan rerumputan dan aroma lumpur di sawah. Menabur benih, menyiangi gulma, memanen sayur, bahkan tak jarang ikut menyebar pupuk kandang dengan tangan telanjang.
Awalnya memang terasa jijik dan malas, lama kelamaan bau pupuk kandang tak lagi kami rasa. Juga bermain lumpur di dekat kerbau yang digunakan untuk membajak sawah. Meski setelahnya kulit akan memerah dan gatal-gatal, adalah tantangan sendiri saat berani memegang si kerbau.
Waktu istirahat selalu menjadi istimewa. Masing-masing membersihkan diri di saluran air sawah, lalu bersama-sama menyantap bekal yang dibawa dari rumah. Bekal yang sangat sederhana, kadang hanya nasi jagung dan ikan asin bakar/goreng, atau nasi megono dan tempe kemul masing-masing sepotong. Meski sederhana, nikmatnya sungguh terasa, lebih-lebih setelah bekerja seharian di sawah.
"Bismillah... Semoga tanamannya tumbuh subur, hasil panen bisa untuk simpanan makan sehari-hari dan untuk biaya sekolah," kata Bapak setelah selesai menikmati hidangan dan kami duduk sebelum melanjutkan pekerjaan.
"Aamiin.."
Bapak memang hanya seorang petani kecil, tapi kepeduliannya pada pendidikan anak-anak sangat patut diacungi jempol.
"Nanti kalian sekolah yang tinggi, sampai perguruan tinggi. Semoga bapak bisa membiayai. Kalau tidak, insyaAllah ada rejeki lain. Kalian jadi anak yang berprestasi, supaya kelak bisa dapat beasiswa waktu kuliah," urainya panjang lebar.
"Nggih, Pak..." hanya itu yang keluar dari mulut kami.
"Ada anaknya teman bapak yang dapat beasiswa kuliah di Al-Azhar, Mesir..," kalimat bapak masih menggantung tapi kami sudah dibuat melongo dengan kabar capaian prestasi itu. Mesir adalah negara nun jauh di sana yang hanya kami dengar dari pelajaran di sekolah.
"Dapat beasiswanya karena hafal Al-Qur'an."
"Wah... Bagus ya Pak, pinter mbak'e."
"Iya, makanya kalian belajar yang rajin supaya ada yang bisa dapat beasiswa kuliah di sana juga."
"Aamiin..."

Dreaming
Galengan (pinggiran sawah) itu selalu menjadi saksi perbincangan hangat kami. Tentang mimpi bapak untuk punya toko buku agar bisa baca buku baru setiap hari, tentang mimpiku untuk bisa sekolah tinggi dan punya toko dan usaha jasa fotocopy, tentang mamak yang ingin membangun usaha bordir, tentang kuliah di Al-Azhar, bahkan hal remeh seperti bisa punya kamera dan televisi.
Dari sana juga lah kami melihat kegigihan para petani mengolah sawah untuk keberlangsungan hidup. Tak selalu berhasil namun mereka tetap menanam dan terus menanam.
Tiga anak bapak dan mamak telah berhasil menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, sebagian mendapat beasiswa dan sebagian dilalui dengan pontang-panting. Sayang belum ada yang bisa memenuhi keinginannya untuk bisa kuliah di Al-Azhar. Pun ketiganya belum menjadi 'orang' yang membanggakan kedua orang tua.
Mimpi-mimpi yang terangkai di pinggiran sawah itu akan terus melaju ke langit, sebagian telah tercapai dan sebagian masih butuh perjuangan untuk meraihnya.
Bukankah kita boleh bermimpi setinggi langit? Seperti sekeluarga petani sederhana, ehm! Kami..
Jadi, apa mimpi masa kecilmu, Temans?

19 komentar

Terimakasih Telah membaca dan memberikan komentar di blog ini.

Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)

Salam
Comment Author Avatar
19 Mei 2017 pukul 23.20 Hapus
Saya ngebayanginnya asyik nih mbak Arina, duduk di pematang sawah sambil ngobrol bersama bapak dan saudara2. Apalagi yg diobrolkan tentang mimpi, keinginan dan cita-cita :)

Kalau saya dulu.cita-citanyà banyak dan berganti-ganti mbak. Pernah ingin jadi dokter, pengacara, guru, wartawan.. eh sekarang malah nggak jadi apa-apa.. hehe.. Yang penting tetap berayukur ya mbak :)
Comment Author Avatar
26 Mei 2017 pukul 16.37 Hapus
Mbak yang post Lindungi hutan kita kok nggak bisa dibuka yaa..?
Comment Author Avatar
21 Mei 2017 pukul 07.11 Hapus
masih ingat betul juga pesennya bapakku,
yang penting sangu hidup itu ilmu bukan harta
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.54 Hapus
Betul Mba.. harta nggak akan dibawa mati
Comment Author Avatar
21 Mei 2017 pukul 12.39 Hapus
Rumahku juga mewah mbak (mepet sawah) jadi tiap hari mainnya di sawah..
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.54 Hapus
Seru ya Mba, kangen masa kecil yang seperti itu. hihi
Comment Author Avatar
23 Mei 2017 pukul 05.29 Hapus
Pas masih kecil aku punya mimpi jadi orang kaya, Mbak. Yang kalo ke mana-mana naik mobil, punya sopir, pembantu, biar bisa beli ini dan itu dengan mudah, rumahnya tingkat. Hahahaha. Mimpi anak-anak banget.
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.55 Hapus
Aku juga pernah berangan-angan begitu Mba... :D
Comment Author Avatar
25 Mei 2017 pukul 08.30 Hapus
Ah jadi terharu mba, masa kecil saya juga saya lalui di desa dan selalu terkenang keindahannya...
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.55 Hapus
kampung halaman memang selalu indah dikenang, ngangenin :)
Comment Author Avatar
25 Mei 2017 pukul 08.35 Hapus
bisa bayangin keluarga mba arina yg hangat jadinyaa..salam buat keluarga y mba arina, semoga mimpi2 lainnya segera terwujud kembali. aamiiin
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.55 Hapus
Aamiin... ya Rabb... makasih Mba Rahma..
Comment Author Avatar
27 Mei 2017 pukul 05.50 Hapus
Begitu juga keinginan orangtuaku dulu. Meskipun mereka nggak punya uang utk membiayai anak-anaknya sekolah tinggi, doa2 selalu dilantunkan agar anak2nya bisa meraih pendidikan yg tinggi dari jalan manapun. Alhamdulillah, aku yg awalnya nggak ada harapan utk kuliah bisa kuliah juga dan lulus. Sayangnya Ibuku nggak bisa menyaksikan kelulusanku *hiks nangis lagi.
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.56 Hapus
Aku jadi ikutan baper nih Mba Ika.. InsyaALlah ibu tenang di sana
Comment Author Avatar
27 Mei 2017 pukul 18.48 Hapus
Aku suka juga main di sawah.. Kebetulan samping perumahan tempat kami tinggal dulu ada sawah. Seneng banget jalan di pematang sampai ke desa sebelah, trus dicariin deh sama ibu, hihi.
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.56 Hapus
HIhi.
jaman aku kecil juga kalau di rumah nggak ada orang, suka nyusulin ke sawah
Comment Author Avatar
30 Mei 2017 pukul 13.54 Hapus
Kalau aku mainnya diladang rin..ladang jagung, cabe, kol, kebun cengkih jaman masih SD. Dan bener banget kita nggak boleh berhenti bermimpi, Semangat!! :D
Comment Author Avatar
22 Agustus 2017 pukul 21.56 Hapus
Wah, kebun cengkih.. suka harumnya :D
Comment Author Avatar
7 September 2017 pukul 11.39 Hapus
Alhamdulillah Rin, paling enggak usaha orang tua utk nyekolahin bisa diijabah. Soal pencapaian udah ada garisnya masing2 yak.
Mimpi masa kecilku apa ya? Jadi dokter deh kayaknya. Mimpi yg tidak menjadi kenyataan hahahaa...
Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Intellifluence Logo Link Banner