20 Hari di Penjara Suci
Daftar Isi
1 Ramadhan, 17 Tahun silam
Hari Kedua libur sekolah.
Bertiga dengan bapak dan kakak sepupu kami bertolak menuju Muntilan,
Magelang. Sehari sebelumnya saya tak bisa memejamkan mata karena membayangkan
bagaimana nanti hidup di pesantren selama 20 hari. Persiapan dan perbekalan
telah disiapkan, hanya beberapa lembar pakaian muslimah dan kerudung seadanya
yang kubawa. Bukan karena memilih membawa sedikit baju, tapi karena memang adanya hanya itu dan lagi
di sana tentu kami bisa mencuci pakaian setiap harinya.
Kami menumpang bis jurusan Magelang, hanya berbekal informasi nama
kecamatan dan kyai pengasuh pesantren. Pengetahuan bapak tentang Magelang dan
sekitarnya cukup baik
, meski begitu kami
harus terus bertanya untuk menuju pesantren yang sesuai dengan tujuan kami.
Oia, beberapa tahun sebelumnya
serombongan mahasiswa dari IIQ (Institut Ilmu Alqur'an) Wonosobo (Sekarang bernama
Unsiq) mengadakan PPL di desa kami.
Dalam praktik pendidikan lapangan itu,
mereka mengajarkan metode membaca Al-Qur'an Qiraaty yang bagi warga desa
sangatlah 'break the rule'. Tak semua warga mau menerima metode baru di
tengah kebiasaan mereka yang (sebenarnya) masih kurang tepat dalam membaca
Alqur'an.
Kebetulan juga salah seorang dari mereka adalah seorang Qari’ masyhur
yang suaranya menggetarkan saat membaca Alqur'an. Tajwidnya sesuai dan suara merdunya membuat
siapapun tenggelam menikmati lantunan Alquran saat dibacakannya. Beliau pun
mengajarkan seni membaca Alquran itu kepada anak-anak SD seusiaku, juga untuk remaja dan orangtua yang berkenan
ikut.
Entah bagaimana ceritanya, bapak ingin
agar saya juga mengikuti jejak Mas Fulan yang katanya dulu nyantri dan belajar
seni membaca Alquran di salah satu pesantren di Muntilan Magelang.
Saya yang masih usia SD tentu jiper
dan menolak tawaran bapak. Rasanya tak
sanggup berlama-lama tinggal di tempat lain,
wong nginep beberapa hari di
rumah saudara saja sudah nggak betah.
Akhirnya, caturwulan pertama kelas 2 MTs (SMP) yang bertepatan dengan libur panjang Ramadhan
itulah saya menyanggupi untuk ikut pesantren kilat selama 20 hari di pesantren
itu.
Belum ada alat komunikasi yang mudah,
maka bapak tak perlu mencari informasi lagi dari Mas Fulan. Cukup mengantongi nama pak Kyainya pasti bisa
ketemu, begitu kata bapak.
Perjalanan dengan naik bis cukup lancar,
masing-masing berusaha kuat untuk melanjutkan puasa. Masalah mulai terjadi ketika informasi yang
didapat dari orang ternyata berbeda-beda.
Tersesat! Akhirnya kata itu
terjadi juga. Entah di mana (jika tidak
salah di Mertoyudan) kami turun dari bis karena kernet mengatakan pesantren
yang dimaksud di daerah itu.
Nahas, setelah bertanya ke warga
sekitar mereka tak yakin informasinya benar.
Beruntung warga yang ditanyai itu sangat baik, mereka menawari kami untuk istirahat
sementara bapak berjalan kaki menuju pesantren untuk memastikan.
Sembari menunggu bapak, kami
sempat tertidur pulas di rumah warga tersebut. Dan ternyata bapak kembali
dengan tangan kosong, bukan pesantren
itu yang kami cari. Alhamdulillah meski
begitu ada titik terang mengenai rute dan bis apa yang harus kami tumpangi
selanjutnya.
Setelah berganti bis dua kali,
kami sampai di pinggiran desa yang sepi dan berjalan dengan
ketidakpastian. Sebuah plang pesantren kami dapati, namun setelah masuk dan bertanya rupanya
lagi-lagi kami salah. Kami pun
melanjutkan berjalan kaki kembali sambil tertatih membawa dus berisi bekal dan
oleh-oleh. Rasanya sudah tak ingat jika hari itu puasa, inginnya segera sampai di tempat tujuan.
Tak sampai 500 meter dari pesantren sebelumnya, kami bertemu lagi dengan plang pesantren yang
namanya identik dengan Al-Quran. Hati
kecilku mengatakan inilah pesantren yang tepat,
yang kami tuju. Allahuakbar! Rupanya benar. Maka kami pun dibawa masuk ke
kantor pesantren untuk menyelesaikan administrasi. Betapa senangnya ketika mendengar pengurus
pesantren mengenal Mas Fulan dan sering berkunjung ke pondok pesantren
Al-Asy'ariyyah Kalibeber, tak jauh dari
rumahku (yah, kalau sekarang terbilang
jauh sih, sekitar 3 KM jaraknya. Waktu kecil jarak segitu mah kecil aja untuk
dilalui dengan jalan kaki).
Kami berdua dibawa ke pondok putri,
dan bapak langsung bertolak kembali ke Wonosobo.
Bismillah, ada air mata yang
kusembunyikan hari itu. Harapan,
kecemasan, ketakutan dan banyak
hal bercampur menjadi satu.
Mulai hati itu, kami resmi menjadi
santri kilatan (istilah untuk peserta pesantren kilat). Rupanya cukup banyak teman kami, berasal dari Wonosobo, Magelang,
Temanggung, Kebumen, bahkan dari Semarang. Sebagian besar peserta
adalah santri dari pondok pesantren lain yang ingin menimba ilmu di tempat yang
berbeda. Ada juga beberapa yang memang
setiap tahun 'kilatan' di sana.
Bagi saya yang belum pernah mencicipi bangku pesantren, semuanya terasa asing dan berat. Bangun sahur jatah makan telah disiapkan di
piring dengan segelas teh manis hangat.
Nasib, tempat meletakkan piring dan
gelas itu di bawah kaca besar tempat semua santri putri mematut diri. Tak ayal
sering sekali ada helai rambut bahkan ketombe yang mampir di gelas. Kalau sudah begitu, kami memilih untuk minum air putih saja.
Oia, di sana tidak ada kamar, hanya ada aula besar yang pinggirnya berjajar
lemari untuk menyimpan baju dan atasnya dipasang pilar agar bisa menggantung
hanger. Kami tidur beralaskan tikar di
manapun, senyaman kami. Ba'da subuh ada
jadwal ngaji, lalu agenda pribadi. Ngaji
lagi menjelang dhuhur dan ba'da dhuhur, ba'da ashar sampai maghrib, lalu ba'da shalat tarawih berjamaah. Jadwal ini rasanya sangat berat buatku yang
biasa tidur semau sendiri. Terkadang saat ngaji siang, saya pun tertidur pulas
di bangku atau di karpet aula utama.
Belum lagi tempat mandi kami yang di luar pondok dan harus antri. Ya,
kami mandi dan mencuci pakaian di pemandian umum, berbaur dengan warga sekitar. Lumayan pagi-pagi harus jalan kaki untuk
mandi dan menunggu antrian. Di pesantren
disediakan kamar mandi sih, tapi khusus
untuk wudlu dan buang air kecil saja.
Apa sih yang dipelajari di sana?
Banyak...! Mulai dari belajar seni membaca Al-Quran sebagai pelajaran
utama, sampai fiqih dan belajar tajwid
juga.
Sayang, cengkok-cengkok
hijaz, jiharka, nahawan dan sebagainya itu sudah menguap dari
kepala (namanya saja lupa, apalagi
nadanya).
Setiap hari kami dicekoki dengan nada-nada dan praktik. Bayangkan saja semacam belajar vokal di siang
bolong saat lagi puasa. Napas ngos-ngosan,
tenggorokan kering, suara serak,
mata sepet tapi nggak bisa minum.
Beberapa hari sebelum berakhirnya kilatan, kami digurah agar lendir-lendir di
tenggorokan keluar. Setelahnya cukup
lega sih, tapi hanya sekali itu saya
gurah. Apalagi nggak mendalami qira'ah,
makan pun sekenanya tanpa menghindari gorengan dan makanan yang membuat suara
jadi makin buruk.
Kalau sekarang disuruh qira',
angkat tangan deh. Lagu sudah
lupa, napaspun pendeknya sependek sumbu
kompor yang sudah ndap-ndep.
Namun, 20 hari di penjara suci itu
menjadi titik balikku dalam banyak hal.
Sepulang dari sana, bertekad untuk
terus mengenakan kerudung (yah, walaupun
masih seringnya pakai kerudung 'slampir' aja yang nggak pakai peniti, jadi rambut masih kemana-mana) apalagi
persediaan kerudung juga hanya 3 lembar di luar kerudung sekolah.
Niat banget pulang dari sana mau ngomong pakai bahasa jawa krama ke bapak sama mamak. Sebelumnya
mah saya ndableg ngomong sama mereka
ngoko aja.
Terus, tahun itu adalah kali
pertama bisa mengkhatamkan Alquran selama bulan ramadhan meskipun hanya sekali.
Dan saya pun belajar banyak hal, bahwa hidup di pesantren itu tidak
mudah. Di luar pesantren pun sama tak mudahnya.
Selalu ada masalah yang menghampiri, selalu ada perbedaan
melingkupi, selalu ada A-Z yang harus
dipecahkan dan dilewati.
Bagiku yang masih SMP waktu itu, kilatan adalah liburan yang paling
berkesan. Bukan liburan dengan
jalan-jalan ke tempat wisata, namun
menghabiskannya dengan mencari pengalaman baru.
Rasanya masih ingat jangkrik yang menemani tidur, ayam yang berkokok membangunkan, juga suasana
alam dan sejuknya desa itu. Gemericik
air dari sumbernya, gebyar-gebyur suara
gayung menyambut air saat antri mandi,
juga cekikikan dan gaya-gaya khas santri lainnya.
Entah di mana sekarang mereka,
semoga Allah memudahkan urusan dan menjaga hidayahNya agar kita tetap
bersama Alquran sekarang dan selamanya. Aamiin..
Sebuah ungkapan yang masih selalu kuingat dengan baik di pesantren itu
"Hiasilah Al-Quran dengan suaramu". Yuk, semangat belajar dan membaca
Al-Quran.
Hai Mba Muna Sungkar dan Mba Wuri Nugraeni, ini kisah liburanku untuk
#ArisanBlogGandjelRel semoga berkenan ya.
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam