Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Itu Bernama Maryam
Daftar Isi
Pagiku cerahku
matahari bersinar…
ku gendong tas merahku
di pundak…
Slamat pagi semua
ku nantikan dirimu
di depan kelasku menantikan kami..
Reff :
Guruku tersayang
guru tercinta tanpamu apa jadinya aku…
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal..
guruku terima kasihku…
Nakalnya diriku kadang buatmu marah…
namun segala maaf kau berikan..
(Terimakasih Guruku, AFI Junior)
Nama beliau Siti Maryam, kami biasa memanggilnya Bu Guru Maryam. Beliau sudah
sepuh saat saya pertama kali menginjakkan kaki di kelas itu. Kelas 0, karena di
desa kami tidak ada sekolah TK. Jangankan PAUD yang mulai dari Kelompok
Bermain/Play Group, TK saja tidak tersedia. Maka dari itu, kami yang baru mulai
tahap mengenal sekolah ‘dititipkan’ ke kelas 1 dengan sebutan kelas 0.
Setiap pagi, kami para ‘krucil’ berebutan menyambut dan mencium tangan beliau.
Tubuh Bu Guru Maryam yang mungil itu dikerubuti puluhan anak. Beliau pun dengan
sabar dan tersenyum meladeni sambutan kami. Agenda setelah bel berbunyi dan
berdo’a adalah antre meruncingkan pensil di hadapan Bu guru Maryam. Setiap hari
beliau selalu membawa cutter kecil dan tangan keriputnya dengan telaten
meruncingkan pensil-pensil kami. Rapi sekali hasilnya, hampir seperti diraut
dengan rautan.
Setelah urusan pensil selesai, barulah kami memulai pelajaran. Kelas 0
dan 1 dicampur dalam satu ruang kelas karena keterbatasan tempat dan guru. Maka
kami siswa kelas 0 seolah hanya menjadi ‘burung beo’ yang menirukan siswa kelas
1. Selainnya, kami berlarian, duduk berdempetan dan sikut-sikutan karena
sempit, saling melaporkan temannya, tak jarang ada yang pipis dan pup di kelas.
Bayangkan betapa riuhnya suasana kelas setiap pagi. Namun Bu guru Maryam selalu
kalem dan tak pernah marah, hanya menanggapi ulah kami dengan senyuman.
Saat beliau tak bisa hadir ke sekolah, yang menggantikan adalah Bapak
Slamet, kepala sekolah yang bijaksana dan tegas. Namun begitu, Bu guru
Maryam-lah guru yang paling kami cintai dan mengerti kami. Jika diajar Pak
Slamet, kami kebanyakan diam dan suasana tegang karena takut dimarahi.
Begitulah Bu Guru Maryam kami, yang setiap hari mengajari kami mengeja
A-B-C, menulis, berhitung, mengenal warna, bentuk, dan sebagainya. Meski anak-anak
terkadang ‘ngerjain’ beliau tapi sebenarnya mereka sangat mencintai gurunya
itu.
Sampai saya menamatkan sekolah dan melanjutkan ke MTsN (SMP) di
kecamatan, beliau masih mengajar di sekolahku, masih di kelas yang sama, kelas
1. Kadang saat pagi-pagi kami setengah berlari menyusuri jalan kampung untuk
sampai di sekolah, kami berpapasan dengan beliau yang berjalan tertatih membawa
tasnya.
“Bu, Mboten ngojek?” (Bu, tidak naik ojek?”) sapa kami sembari mencium
tangan beliau.
“Ora, karo mlaku alon-alon,” (Tidak, sambil jalan pelan-pelan) jawab
beliau.
Ah, padahal perjalanan dari rumah beliau menuju kampungku kurang lebih 3
KM dan melewati tanjakan/turunan dengan belokan tajam. Jalan kampung masih
berbatu waktu itu, belum diaspal seperti sekarang. Bagian yang diaspal hanya
jalan utama kecamatan hingga pertigaan menuju kampungku. Dijamin sepatu akan
cepat terkikis dimakan aspal dan bebatuan.
Begitulah, hampir setiap pagi kami berpapasan dan bersalaman dengan
beliau hingga beliau memasuki masa pensiun dan tak lagi mengajar.
Sampai kapanpun beliau selalu ada di hati kami, para muridnya dulu. Karena
beliaulah yang gigih berjuang mengajari kami. Tak pernah protes meski harus
berulang kali mengajar calistung, mengecek satu persatu tulisan kami, juga
menanggapi segala keriuhan khas anak-anak masa itu. Beliau yang rela berjalan
jauh meski mendapat gaji tak seberapa tiap bulannya, beliau yang tak pernah
mengeluh meski anak-anak selalu penuh di kelasnya.
Masih adalah sekarang guru tanpa pamrih seperti beliau?
Entahlah, karena tuntutan sistem pendidikan pun telah jauh berubah. Jika dahulu
beban pengajaran calistung adalah guru SD, maka sekarang siwa PAUD pun sudah
dibebani berbagai macam tugas dan sudah mulai dikenalkan calistung. Masuk SD
belum bisa calistung, artinya akan ada kemungkinan ditolah oleh SD tujuan meski
tak semua SD menggunakan standar itu.
Semoga, masih banyak guru hebat yang melahirkan generasi hebat
selanjutnya. Guru-guru yang mengajar dengan hati, bukan sebatas profesi. Guru-guru
yang membantu melejitkan potensi anak didiknya. Juga anak-anak yang selalu mematuhi
gurunya di sekolah, tidak jumawa karena di sekolah statusnya sama. Pun dengan
orangtua yang selalu menjalin komunikasi yang baik dengan guru, bukan sedikit-sedikit
menyalahkan dan melaporkan guru.
Sebagaimana Mba Yuli Arinta yang
menjadi madrasah pertama untuk keempat putra/putrinya dan saat ini pun
berprofesi sebagai seorang dosen. Juga Relita Aprisa, yang akrab disapa Icha, guru bagi anandanya tercinta juga anak
didiknya di TPQ.
Selamat hari guru, pahlawan tanpa tanda jasa.
Kan kuingat selalu pengabdianmu, Guru.
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam