Melawan Ketakutan Diri Sendiri
Daftar Isi
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum, Temans.
Ada yang pernah mengalami trauma di masa lalu dan hingga sekarang masih
belum hilang? Rasanya sungguh seperti hantu yang tak terlihat tapi dia selalu
mengganggu dan menggelayuti pikiran.
Trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis, “trauma” mengacu pada
cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, “trauma” memiliki
makna yang berbeda dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan,
menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik
berkelanjutan. (sumber: kamus kesehatan (dot) com).
Saya mengalami beberapa trauma yang hingga saat ini belum bisa saya
hilangkan. Salah satunya adalah trauma mengendarai motor.
Nasib saya memang sejak kecil tidak bisa mengendarai sepeda alias tidak
bisa gowes. Di desa saya yang di
pegunungan dengan jalan naik/turun, tidak ada anak sekolah yang menggunakan
sepeda. Mereka berjalan kaki atau naik kendaraan umum jika ada. Saat itu sepeda
menjadi barang mewah yang tak terbeli oleh kedua orangtua saya. Untuk meminjam
sepeda kepada tetangga atau saudara yang punya pun selalu sungkan karena
terlalu banyak berpikir bagaimana jika sepedanya rusak? Harus memperbaiki dan
artinya harus keluar uang padahal buat makan saja susah. Begitulah, tak pernah
terpikir bahwa sebenarnya kemampuan gowes
itu sangat penting.
Itulah kenapa saya selalu menjawab dengan senyum dikulum ketika bertemu
dengan orang yang keheranan karena saya tidak bisa gowes. “Ha?! Arin nggak bisa naik sepeda?” dengan pandangan yang –helloow!-jaman-sekarang-gitu-loh-masa-gitu-aja-kagak-bisa.
Hm, saya bosan menjelaskan permasalahannya, dan tak perlu dijelaskan juga
sebenarnya.
Didikan masa kecil untuk tidak meminjam sepeda buat latihan gowes pun akhirnya terbawa sampai saat
kuliah. Berkali-kali sudah didorong oleh teman-teman se-‘lingkaran’ untuk
latihan naik motor, bahkan pernah diprogramkan juga, namun saya memilih untuk
tidak ikut latihan. Lagi-lagi ketakutan jika motornya jatuh lalu rusak gimana.?
Tiap rupiah itu sangat berarti bagi mahasiswa macam saya.
Jangan ditiru deh ya, mental
yang seperti ini, yang nggak mau ambil risiko. Harusnya jalan saja, tak perlu
banyak memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Jika gagal, lanjutkan lagi.
Saya baru mulai latihan motoran setelah saya bekerja sekian lama dan
teman-teman ngomporin untuk nyicil
motor. Dengan pertimbangan dan rapat keluarga (halah) diputuskan saya pinjam uang untuk beli motor dan cicilan
bulanan dibantu bapak. Bismillah, semoga berkah dan membantu mobilitas saya di
Wonosobo.
Setelah latihan dan terjatuh berkali-kali, saya berhasil menaklukkan
tanjakan dan turunan jalan desaku. Amazing!
Rasanya seperti adegan slow motion
dengan angin sepoi-sepoi meniup lembut dan mengibarkan jilbab saya. Beneran,
nggak lebay ini! :D.
Setelah itu saya mulai berani pulang/pergi ke kantor mengendarai motor,
meskipun dengan kecepatan yang luar biasa. Luar biasa pelan maksudnya, maksimal
40 KM/jam dan itu pun hanya di jalan tertentu. Rata-rata hanya berani 30KM/jam.
Sering tiba-tiba nggabruk nggak jelas, dan saya pun harus melewati
pandangan ngeri para tetangga yang berpapasan.
Saya yang naik motor, mereka yang ngeri karena saya sering nggabruk dan tangan kaku, wajah tegang
nggak berani nengok kanan/kiri. Hihi. Lucu kalau ingat awal-awal bisa naik
motor waktu itu. Lama-lama bisa enjoy
meskipun belum berani menambah kecepatan saat jalan. Pun belum berani melewati
rute lain selain rumah – kantor PP dan sesekali ke alun-alun/pasar.
Entah kenapa waktu itu, meskipun sudah lancar bermotor tiba-tiba saya gelagapan waktu sedang melaju di jalan
tanjakan berbelok. Kelemahan saya saat belok kanan sering jadi kurang seimbang,
dan tanjakan ini memang momok karena tepat di tanjakan dan belok kanan lalu
berkelok sedikit ke kiri. Begitu belok kanan, motor melaju dan saya kehilangan
kendali untuk mengarahkannya ke kiri. jika tidak cepat-cepat melompat mungkin
saya sudah terjatuh ke sawah terasering di atas sungai serayu.
Oia, sebelumnya saya juga hampir jatuh di kelokan lain tepat di posisi
turunan dan pinggirannya jurang (tapi nggak begitu dalem sih, Cuma kalau terjun
kesana ya lumayan banget rasanya) kali serayu.
Hm.. entah karena tidak PD atau karena gelagapan panik atau dalam kondisi melamun sampai saya tiba-tiba
kehilangan kendali motor. Yang jelas terasa begitu cepat tiba-tiba saya sudah
jatuh. Malunya nggak ketulungan. Saya ditolong oleh bapak-bapak
yang pulang kerja. Salah seorang dari mereka memboncengkan saya pulang dengan
sepeda motor yang T-nya sudah bengkok, stang-nya miring ke kanan.
Setelah kejadian itu, saya memilih untuk jalan kaki (lagi) untuk
pulang/pergi kerja. Motor dibiarkan menganggur karena untuk memperbaiki butuh
dana banyak dan saya belum punya uang.
Beberapa bulan setelahnya, motor bisa diperbaiki tapi trauma saya belum
hilang. Kadang, pagi hari bapak yang mengantar saya berangkat kerja sampai
tempat pemberhentian angkot. Nahas, pagi itu kami jatuh di jalan yang sama
dengan jatuh-nya saya sebelumnya, hanya saja kali ini posisi menurun. Turunan dan
belok kiri, jalan berpasir-kerikil karena baru saja diperbaiki. Bapak kehilangan
keseimbangan dan kami terperosok dengan posisi kaki bapak tertindih motor. Kasihan
bapak, hiks.
Saya melanjutkan kerja karena sudah ada janji dengan calon relawan yang
akan menjalani interview, dan bapak berputar
balik ke rumah setelah kupaksa dan kuyakinkan bahwa saya tidak apa-apa.
Satu persatu kepingan ingatan tentang jatuh dari motor itu terus
menghantui dan menjadi trauma mendalam. Berbulan-bulan lamanya saya tidak
berani pegang stang, bahkan hanya duduk di atas motor yang mesinnya tidak
dinyalakan pun selalu teringat kejadian tersebut.
(ilustrasi) belajar menaklukkan motor (lagi) bismillah... |
Setelah menikah, suami saya memaksa agar saya latihan naik motor lagi. Berkali-kali latihan dan hampir terjun (lagi) akhirnya harus berhenti karena ternyata saya hamil. Karena pengalaman pertama kali hamil keluarga pun melarang saya berlatih motor lagi, menundanya hingga waktu yang tak ditentukan.
Setelah Hasna mulai jarang menyusu (meskipun belum disapih), saya mulai
berlatih mengendarai motor lagi. Tapi trauma masa lalu belum juga hilang, malah
makin takut dengan jalanan di Semarang yang selalu ramai dan macet. Lalu lalang
kendaraan bahkan hanya di sekitar Tlogosari sudah membuat saya keder.
“Kalau mau bisa itu harus dipaksakan. Sampai kapan mau mengandalkan suami
terus?” meski berkali-kali mendapat sindirian seperti ini, saya belum juga bisa
menepis trauma. Bahkan bapak dan ibu mertua pun sering mengingatkan untuk
berlatih lagi karena Hasna sebentar lagi akan sekolah TK.
Hiks. Rasanya ingin menjerit
lalu bersembunyi saat suami mengajak untuk latihan motor lagi. Tapi ingat pesan
ibu mertua, saya pun memberanikan diri memulai. Apalagi bapak dan ibu mendukung
dan mau dititipi Salsa sementara saya latihan barang 15 – 30 menit.
Bismillah, masih dalam pengawasan suami (means saya naik motor di depan dan suami bonceng di belakang) saya
berlatih lagi. Tentu masih dengan bayangan trauma yang membuat saya selalu gelagapan saat sedikit kehilangan
kendali. Belum lagi lengan saya yang sejak dulu sangat mudah ngilu terutama di
sekitar siku. Beruntung tangan suami yang panjang selalu siap dan bisa
menjangkau stang saat saya mulai goyah atau panik.
Kali ini saya menggunakan motor matic
kepunyaan Mbah kakung. Sengaja berlatih dengan matic agar lebih mudah saat antar/jemput Hasna. Dan lagi, targetnya
adalah BERANI naik motor lagi. Lama kelamaan jika mental berani-nya telah
muncul kembali, insyaALlah akan lebih mudah menyesuaikan dengan motor bebek
biasa maupun dengan motor matic.
Latihan pertama tangan masih super kaku, reflek ngerem masih di kaki, masih bingung saat harus belok kanan, gelagapan saat bertemu mobil atau motor,
belum bisa menstabilkan gas, belum lancar ngerem,
dan sederet PR yang dilontarkan suami sepanjang berlatih. Telinga sepet sih, dinynyirin terus, tapi kali ini saya HARUS BISA! Harus yakin
isnyaAllah bisa! Aamin...
Do’akan ya Temans, semoga saya berhasil melawat ketakutan diri saya
sendiri dan menaklukkan trauma itu. Aamiin..
Ternyata benar, sebenarnya PR dari masing-masing kita adalah BERPERANG
DENGAN DIRI SENDIRI. Betapa sifat malas itu sebenarnya datang dari diri sendiri
dan kita lah yang memilih untuk menurutkannya atau memeranginya.
Seringkali rantai yang membelenggu sehingga kita gagal mencoba banyak hal
juga sebenarnya datang dari diri sendiri. Seberapa banyak kita mengapresiasi
diri? Seberapa banyak kita memberi reward
and punishment untuk diri kita? Seberapa sering kita memberikan
kelonggaran? Meski selalu, kita pun harus bisa berdamai dengan diri sendiri.
Sejatinya kita tengah melawan diri sendiri untuk banyak hal yang
dihadapi. Melawan ego, melawan gengsi, melawan rasa malas, melawan hal-hal yang
membuat kita gagal melangkah maju.
Semangat!
Semoga bermanfaat... (maap ye, curhatnye
panjang bener)
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Saya sendiri udah dari dulu juga nggak bisa naik motor (padahal naik sepeda lancar). Beberapa kali latian di waktu yang berbeda, gara2 dipaksa saudara atau temen. Itu juga biasanya nyungsep ke selokan
Akhirnya sampai sekarang saya masih milih bonceng mesra ke suami klo mau ke mana2 hehe :D
Akhirnya semester 3 kuliah, baru nyoba lagi
Ditunggu cerita antar jemput anak sekolahnya loh
Moga kak Arin mantap deh dalam melawan ketakutannya,
Saya trauma jg kak sdh 2 taun ga bawa motor dan akhirny taun ini dipaksa alhasil tngn gemetaran,tangn dingin,bru jalan 5 mnitan lbh dh mual.smngat buat kita kak