Selamatkan Generasi Kita dari Bahaya Perilaku Menyimpang
Daftar Isi
Pagi mendung, membuat kami enggan beranjak dan memilih bergelung selimut.
Seseorang datang mengabarkan duka dari kerabat jauh.
"Oh, dia yang benc*ng itu ya?" kata mamak setelah si pembawa
kabar duka pamit pulang. Pertanyaan itu diiyakan oleh bapak.
Bapak pun takziyah ke sana, bersama si adik yang masih SD karena mamak
pergi ke tempat lain dan si Adik tak ada yang menenami di rumah.
"Tadi waktu takziyah banyak teman-temannya yang datang. Pada pakai
kebaya dan sepatu tinggi," kata adik begitu pulang takziyah.
Saya melongo, geli sekaligus sedih mendengar kabar duka itu. Saudara jauh
yang sebenarnya saya pun belum pernah bertemu, hanya mendengar
sepotong-sepotong kisahnya.
"Dia sudah hampir sembuh, tapi kembali mejadi benc*ng setelah ketemu
teman-temannya lagi."
Sedih mendengar kenyataan itu, terlebih seseorang yang masih muda. Belum
genap 30 tahun usianya.
Ah ya, isu-isu seputar HIV/AIDS masih belum santer beberapa tahun silam,
saat kejadian itu terjadi.
Dan baru sekarang lah saya berburuk sangka tentangnya. Semoga Allah
berkenan mengampuni kesalahannya. Aamiin...
Di tempat yang lain, seorang perempuan meninggal dalam kondisi yang
mengenaskan. Bisik-bisik tetangga mengatakan ini-itu tentang si Mbak yang
meninggal karena AIDS. Bukan, si Mbak bukan perempuan yang 'nakal'. Hanya saja
takdir tak mengenakkan memghammpirinya. Dengan terpaksa ia harus menikah dengan
seorang preman kampung dan harus berakhir setragis itu. Konon hampir tak ada tetangga
yang berani mengurus jenazahnya.
Kisah lama ini kembali terangkat dalam memori demi berbagai berita
tentang kasus penyimpangan seksual yang makin mengkhawatirkan. Berbagai kasus
penyimpangan makin marak diberitakan dan bahkan terasa sangat dekat di sekitar
kita.
Kisah berbagai penyimpangan ini telah terukir dalam sejarah. Tengoklah kisah
kaum nabi Luth di Sodom dan bagaimana penduduk Pompeii terkubur di balik
reruntuhan gunung.
Ah, apalah saya menuliskan tentang ini, hanya sekadar curhatan emak-emak
di tengah dunia yang rasanya semakin carut-marut ini. bukan mengesampingkan
segala kemudahan yang dicapai dengan teknologi yang ada, namun juga kita harus
menanggung akibat-akibat buruk yang ada.
Arus nformasi membuat setiap orang bisa mendapatkan berita secepat kilat
namun juga bisa menjadi ‘ruang belajar’ bagi mereka yang berniat buruk dengan
meniru apa yang mereka dapatkan lewat berita, termasuk berbagai perilaku
menyimpang.
Saya pernah bergidik ngeri ketika seorang kawan bercerita tentang betapa
banyaknya grup di facebook yang berisikan kaum G*y, Lesb*an, P*dofil, dll
(terutamanya memang hal ini yang paling marak). Terbengong mendapati ribuan
anggota yang tergabung dalam grup yang lingkupnya kecamatan atau bagian kota,
misalnya tertulis member blablabla Semarang Timur, dll. Sedekat itukah hal
seperti ini dengan kita?
Bagaimana dengan anak-anak kita kelak, jika tantangan yang harus dihadapi
sedemikian berat? Dan PR bagi kita adalah untuk KEMBALI KEPADA KELUARGA, yakni
menjadikan keluarga sebagai pondasi yang kokoh untuk pendidikan dan penjagaan
setiap anggota keluarga terutama anak.
Ketahanan keluarga menjadi hal fundamental untuk membangun masyarakat
yang kokoh dan akan meluas menjadi
sebuah negara yang memiliki bargaining position tinggi di hadapan negara lain. Ketahanan
keluarga juga yang akan berfungsi ‘memeluk’ abak-anak dari bahaya yang
mengancam di luaran.
Meskipun di balik kata hak Asasi manusia (HAM) banyak perilaku menyimpang
yang kemudian mendapatkan tempat, kita tidak bisa menutup mata atas berbagai
dampak buruknya. Jika seseorang telah terkena penyakit HIV/Aids misalnya atau
penyakit menular seksual lainnya, siapakah yang akan menemaninya melewati
hari-hari berat jika bukan dirinya sendiri dan keluarga?
Saya pun teringat dengan sebuah hadits, yang juga pernah dibahas dalam
pertemuan dan sharing bersama salah satu tokoh parenting terkenal di Indonesia.
Perintahkan anak-anak kalian shalat
pada usia 7 tahun, pukullah mereka jika meninggalkannya pada usia 10 tahun dan
pisahkan di antara mereka tempat tidurnya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan
oleh An Nawawi dalam Riyadhus Shalihin dan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud)
Dari sini jelas bahwa sejak kecil setelah orangtua menjelaskan tentang
identitas diri laki-laki/perempuan kepada anaknya, juga harus memberikan pengertian
tentang hijab. Salah satunya dengan memisahkan tidur anak laki-laki dan
perempuan. Pun sesama anak laki-laki/perempuan tidak tidur dalam satu selimut. Siapa
menjamin jika kulit-kulit mereka bergesekan setiap hari dan akhirnya naluri-nya
berubah menyukai sesama saudaranya dengan rasa yang berbeda? Na’udzubillah..
Selain keluarga, penting bagi kita adalah menjaga tetangga kita. Namun sayangnya
masyarakat sekarang cenderung abai dan segan ketika harus mengingatkan tetangga
atau perhatian terhadap mereka. Seringkali yang muncul adalah dibilang terlalu
ikut campur atau terlalu kepo dengan
urusan tetangga.
Seperti saya, yang seringkali masih merasa segan untuk menegur perlahan
anak-anak tetangga yang bermain di luar hanya dengan mengenakan pakaian dalam. Padahal
tetangga tempat anak-anak kita bermain dengan anak mereka juga penting untuk
bersama-sama mendidik anak. Di rumah diajarkan A bisa menjadi B,C, dan
seterusnya jika tetangganya seperti itu.
Dan kita adalah tetangga bagi tetangga kita, maka menjadi individu dan
keluarga yang saling menjaga adalah tanggung jawab kita. Tanggung jawab untuk
menyelamatkan generasi dari bahaya perilaku menyimpang.
Allahua’lam bish shawab,
Semoga bermanfaat
Tulisan ini diikutkan dalam program #PostinganTematik Blogger MuslimahIndonesia.
#Postem
#PostinganTematik
#BloggerMuslimah
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Tapi jika penderitanya seorang gay, jujur saya nggak yakin apaskah akan punya rasa kasihan atau tidak
Ortunya pun mo kesel jg susah. Masa mo ngelawan anak2 hehehe..