Menyiasati Hidup di Kos Bersama 2 Balita
Daftar Isi
ilustrasi |
Setiap keluarga pasti menginginkan untuk bisa hidup nyaman dengan tinggal
di rumah milik sendiri. Terlebih jika memiliki rumah yang luas, lapang dan
fasilitas yang memadai. Namun tak bisa dipungkiri seringkali keinginan tak
sejalan dengan kenyataan. Jauh panggang dari api, banyak kenyataan pahit yang
harus dihadapi. Pahitnya bukan seperti pahit obat paten, tapi pahitnya brotowali yang terus terasa di lidah.
5 tahun hidup bersama mertua, saya ingin sekali tinggal bersama keluarga
kecil dan mengelola rumah tangga sendiri. kontrak atau kos tak jadi soal, pikir
saya. Lalu akhirnya saya benar-benar harus meninggalkan rumah mertua untuk
mengikuti suami yang pindah pekerjaan.
Pertama kali yang terpikirkan dalam benak adalah bagaimana nanti hidup
jauh dari keluarga, hanya berdua dengan suami mengasuh dua balita? Dengan
keyakinan bahwa berbagai hal akan ditanggung bersama, saya pun mantap untuk
menyusul suami yang sudah terlebih dahulu pindah.
Rencana awalnya, saya dan anak-anak akan menyusul beberapa bulan kemudian
setelah suami mendapat rumah kontrakan dan berbagai informasi seputar sekolah
anak serta akses tempat umum lainnya. Namun berhubung suami berencana pulang
saat adiknya menikah, ia pun ingin sekalian memboyong kami.
Hm.. rencana ini awalnya tidak disetujui oleh bapak dan ibu mertua. Tentu
kami paham bagaimana perasaan mereka jika jauh dari kedua anaknya sekaligus. Si
Sulung yang dulunya menetap dan menemani bersama kedua cucu harus mengikuti
jejak si Bungsu bekerja di Luar Jawa. Sedangkan si Bungsu setelah menikah pasti
akan langsung memboyong istrinya ke sana. Sepi, dan sedih pastinya.
Masalah yang harus kami hadapi selanjutnya adalah belum mendapat rumah
kontrakan yang layak dan sesuai budget. Rata-rata harga kontrakan di Kota
Denpasar jauh di atas anggaran kami, sehingga untuk sementara kami memilih
tinggal di kamar kos yang selama kurang lebih 2 bulan sudah dihuni oleh suami
saya.
Membayangkan rempongnya hidup di kamar kos sungguh membuat saya galaun
bin stress. Jalan satu-satunya adalah bismillah dihadapi dan dijalani agar
merasakan dan bisa mencari solusi ketika mendapatkan kendala.
Kamar kos yang disewa suami berada di perkampungan padat penduduk yang
mayoritas penduduk pendatang dari pulau Jawa. Hampir 90% warga adalah orang
Jawa yang berbahasa Jawa dalam kesehariannya. Setidaknya urusan cultural shock tidak terlalu mengganggu pikiran saya.
Selain itu fasilitas umum pun dekat. Warung, tempat laundry, minimarket,
masjid, sekolah, dll bisa saya akses dengan jalan kaki. Penjual aneka sayur dan
lauk matang pun bertebaran termasuk yang menjajakan keliling dengan sepeda
motor.
Bagaimana dengan tetangga? Inilah masalah serius yang tak bisa dihindari.
Tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita. Mendapatkan tetangga yang
baik adalah bagian dari rejeki. Alhamdulillah, kami di sana juga mendapatkan
tetangga yang welcome dengan
kehadiran kami. Hampir semuanya orang yang baik dan ramah.
Namun yang agak mengganjal adalah anak-anak yang saat bermainnya kurang
terkontrol. Yeah.. katakanlah namanya
juga anak-anak, tapi bagi saya yang masih belajar mendidik anak, banyak yang
menjadi pikiran saya tentang anak-anak di lingkungan ini. Termasuk anak-anak
yang masih bermain hingga malam hari dan membuat si Kakak pun sulit diajak
pulang untuk tidur siang maupun malam. Siapa sih anak yang suka saat ia bersiap
tidur namun teman-temannya masih ramai bermain di luar, terdengar suaranya
hingga kamar dan kadang memanggil namanya?
Sebulan bertahan akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk mengambil
kontrakan meskipun harganya sedikit lebih tinggi dari budget semula. Banyak hal yang membuat saya stress selama seharian
terutama saat tidak ada suami di rumah. Padahal suami kan harus kerja. Gimana dong?
Ada beberapa hal yang saya simpulkan dan menjadi pertimbangan untuk memilih
tempat kos:
Lingkungan sekitar
Tentunya, faktor yang membuat kita nyaman selain dari internal keluarga
kita juga faktor eksternal yaitu lingkungan tempat tinggal.
Secara umum, kami merasa nyaman dengan lingkungan di kos lama, ada banyak
anak seusia si Kakak dan bayi seusia baby Salsa yang bisa menjadi temannya. Orang-orang
tua pun sangat ramah dan sering ngobrol bersama. Namun tak bisa dipungkiri juga
jika ada sebagian orang yang hobi nyinyir dan kepo. Buang ke laut aja deh! Wkwkwkwk.
Kalau saya simpel saja, jika ada yang nyinyir dan suka kepo, tak perlu
terlalu dekat. Jaga jarak tanpa perlu memusuhi. Kalau lewat dan bertemu cukup say hello,
tanpa perlu sering-sering nongkrong dan ngobrol bareng.
Privacy
Urusan ini bagi saya penting sekali, karena meskipun tinggal di kamar kos
bersama keluarga, kita tetap memiliki aturan sendiri untuk keluarga kita
masing-masing. Sedangkan di kos kami waktu itu, hampir tidak ada privasi karena
anak-anak keluar-masuk kamar kos dengan bebas. Yes, (lagi-lagi) namanya juga anak-anak, tapi di tempat lain
ternyata tidak demikian. Anak-anak main di luar kamar dan tidak keluar masuk
seenaknya.
Serba salah sih sebenarnya, karena kami sering membuka pintu kamar kos. Kalau
ditutup udara sangat panas, sedangkan jika terbuka anak-anak bebas
keluar-masuk. mungkin solusinya adalah memasang AC tapi bagi saya kurang pas
jika kami memasang AC di sana.
Kenyamanan Anak dan Bunda
Kenapa hanya kenyamanan anak dan bunda yang perlu menjadi perhatian? Karena
logikanya si Ayah akan nyaman jika istri dan anaknya nyaman. Terlebih anak-anak
yang aktif dan butuh space bermain di
dalam rumah. Pengaturan tempat di dalam kamar kos juga perlu diperhatikan, lho.
Jangan sampai terlalu banyak barang sehingga memenuhi tempat dan ruangan
menjadi sumpek.
Nerapin gaya hidup minimalis
Ini penting terutama jika anak-anak sudah cukup besar. Sebelum berangkat
pindahan, saya sudah berniat untuk hidup minimalis. Tapi rupanya khusus untuk anak-anak
pun banyak barang yang diperlukan. Pakaian, misalnya. Dalam sehari minimal 3
kali ganti pakaian. Jika tidak sempat mencuci pakaian kotor makin menumpuk dan untuk
ganti tak ada lagi. Jadilah kami menyerah dan anak-anak tetap dengan stok
pakaian yang lebih dari cukup untuk antisipasi saat-saat kami tidak bisa
mencuci.
Target kami waktu itu yang penting nyaman dulu semuanya, karena masih
dalam masa-masa adaptasi.
Gaya hidup minimalis bisa juga diterapkan dalam aneka peralatan rumah
tangga. Misalnya memilih ranjang/kasur yang bisa dijadikan sofa, cari peralatan
dapur yang multifungsi misalnya bisa digunakan untuk menggoreng, menumis,
merebus, memanggang sekaligus.
Saya belum bisa sih, apalagi setelah kedatangan bapak-ibu mertua malah
dibelikan macam-macam perkakas yang sebelumnya memang saya butuhkan tapi tidak
saya beli karena akan memenuhi ruangan. Hehe. Alhamdulillah, disyukuri saja
karena dapar rejeki. Hihi.
Kalau urusan budget tidak
menjadi soal, sebenarnya bisa memilih kos eksklusif dengan harga mulai 1,3
juta/bulan exclude listrik dan air. Harga
menyesuaikan dengan fasilitas dan lokasi
kos. Enaknya kos di kos eksklusif, biasanya sudah semi furnished, ada bed dan kasur, lemari, AC, TV, dll. Ruangan pun biasanya terdiri dari ruang
tamu, kamar, dapur mini dan kamar mandi. Lumayan lah untuk dijadikan tempat
tinggal 1 keluarga.
Alhamdulillah, meskipun hanya sebulan lebih sedikit merasakan ‘nikmatnya’
hidup di kos, ada banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan. Nambah saudara
dan kenalan juga sih, para tetangga kos, hehe.
Adakah yang juga punya pengalaman tinggal di kos bersama keluarga?
Posting Komentar
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam