Bangunan Bersejarah Wonderful Indonesia: Lawang Sewu Kini tak Lagi Sendu
Daftar Isi
Jika ada bangunan bersejarah ikonik di Kota Semarang, ia adalah Lawang
Sewu dengan daya tarik arsitekturnya yang sangat menarik ditambah dengan cerita
mistis yang ada di baliknya.
“Ih, aku tuh ngeri kalau mau ke Lawang Sewu, bayangin aura mistisnya itu
loh,” kata seorang teman saat kami berbincang tentang tempat wisata bersejarah
tersebut.
“Iya, apalagi kalau mau turun ke terowongannya. Hiii! Becek, banyak
kelelawar dan penampakan.” Sontak saya mendelik mendengar ucapan teman yang
lain lagi.
“Katanya tuh ya, terowongan itu nyambung sampai SMA 1, di bawah panggung
aula gitu gosipnya. Selain itu nyambung sampai RS. Karyadi.... blablabla..”
Obrolan itu masih terus berlanjut tapi saya sudah tidak tertarik lagi
untuk mengikutinya. Bayangan tempat yang menyeramkan sudah membuat bulu kuduk
berdiri. Sebagai mahasiswa kere dengan uang saku pas-pasan dan sering terlambat
datang, saya pikir datang ke sana dengan membeli tiket itu tidak sepadan karena
yang didapatkan justru kengerian dari ‘dunia lain’.
Maka selama hampir 5 tahun kuliah di Undip, dengan jarak kampus yang
hanya sekian kilometer dari Lawang Sewu, bahkan sering berjalan kaki
melewatinya, saya tidak pernah tertarik untuk masuk dan menjelajah. Duh, kalau
ada yang mistis-mistis begitu, saya lebih memilih untuk menyingkir, udah keder
duluan.
Lorong panjang di Lawang Sewu berasa mistis nggak sih? |
Setelah menikah dan pindah menjadi warga Kota Semarang, saya tergelitik
ketika banyak yang mencibir ‘orang Semarang ko belum pernah ke Lawang Sewu’. Ini
semacam pukulan telak. Lawang Sewu yang semudah itu mencapainya saja tidak
pernah mau mengunjungi, lalu siapa yang akan nguri-uri sejarahnya? Begitulah kira-kira.
Maka saat ada kesempatan bersama adik yang juga kuliah di Semarang, kami
janjian untuk bareng-bareng ‘momong bocah’ ke Lawang Sewu. Kami memilih akhir
pekan, meskipun si Ayah tidak libur tapi bisa mengantar saya dan anak sampai
depan Lawang Sewu.
Jam buka-tutp Lawang Sewu |
Kami menunggu kedatangan adik dengan duduk di bangku yang tersedia di
trotoar di samping pintu masuk Lawang Sewu. Si Adik sempat mengabarkan ia masih
berada di BRT (Bus Rapid Transit) alias bus Trans Semarang dari Tembalang. Iya loh, padahal
semudah itu menjangkau Lawang Sewu dari seluruh wilayah di Semarang. Apalagi
sekarang menjamur jasa transportasi online yang memudahkan wisatawan untuk
berkeliling Semarang.
Hasna tak sabar ingin masuk, apalagi ada bapak-bapak seperti pemulung
yang membawa karung dan menggunakan penutup muka, sibuk bertanya ini-itu kepada
kami. Terlihat dari wajahnya Hasna sangat tidak nyaman, namun saya juga belum
menemukan tempat lain yang teduh untuk ‘melarikan diri’.
Oh! Saved by the bell! Dari
kejauhan si Bulbul-nya Duo Kurnia terlihat berjalan menghampiri sambil tertawa
lebar.
Tanpa membiarkan Buliknya Hasna istirahat setelah menempuh perjalanan
dari Tembalang, kami langsung membeli tiket masuk. harganya cukup murah, 10
ribu rupiah/orang dewasa dan 5 ribu rupiah untuk anak-anak. Oia,
Lawang Sewu buka setiap hari pukul 07.00 – 21.00 WIB.
Hamparan rumput hijau langsung menarik perhatian Hasna, maka ia pun
berlarian tak sabar mengikuti tanda panah sebagai petunjuk bagi pengunjung. Nah,
rupanya malah ia tertarik untuk duduk-duduk di bangku di bawah pohon, tepat di
tengah halaman yang luas. Belum juga mulai jalan, dia sudah mau menghabiskan bekal
jajanan dari rumah.
Setelah si kakak puas, kami mulai menjelajahi ruang demi ruang yang
terdapat di Lawang Sewu. Berbagai manuskrip peninggalan sejarah dibingkai apik
sehingga para pengunjung bisa membacanya.
Gedung yang dibangun sejak tahun 1904 ini sangat kahs dengan arsitektur
Belanda. Bangunan yang tinggi, dengan pintu dan jendela kayu berkisi-kisi.
Manuskrip sejarah kereta api di Lawang Sewu |
Pertama kali bangunan ini digunakan sebagai stasiun kereta api. Berada si
seputaran Tugu Muda Semarang tepatnya di sudat Jalan Pemuda dan Jalan
Pandanaran. Lokasi yang sangat strategis sehingga sangat mudah dijangkau baik
dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum.
Bangunan tiga lantai ini memiliki jendela kayu yang sangat banyak, sehingga
disebut sebagai Lawang Sewu (seribu pintu, Jawa_red). Jendela
kayu yang berjejer di sisi bangunan tersebut memang terlihat seperti pintu
sehingga masyarakat menyebutnya lawang sewu, meskipun jumlahnya tak sampai
seribu seperti namanya, hanya sekitar 400-an buah.
Kesan mistis tak lagi terasa karena Lawang Sewu telah dipugar dan lebih
‘terbuka’. Sejak tahun 2011 Lawang Sewu bisa digunakan oleh masyarakat umum
untuk berbagai acara mulai dari expo hingga perhelatan resepsi pernikahan.
Melewati lorong demi lorong di Lawang Sewu, kami seperti diajak untuk
menjelajah waktu menuju masa penjajahan dulu. Di mana stasiun masih beroperasi
dan aktivitas stasiun pun selalu sibuk mengangkut penumpang dan barang.
Kami pun menuju lantai 2, penasaran dengan struktur bangunan di lantai
atas. Untuk menuju ke atas, harus melalui tangga melingkar yang cukup terjal
sehingga cukup riskan untuk ibu hamil dan anak-anak. Harus ekstra hati-hati.
Rupanya di lantai 2 kami tidak menemukan banyak manuskrip dan informasi
seperti di ruang-ruang lantai bawah. Hanya saja, bisa melihat keindahan
arsitektur seperti di bangunan gereja dengan ukiran kaca yang berwarna-warni.
Selain itu, dari selasar kita bisa menikmati udara yang sangat sejuk dan bisa
melihat sekeliling Lawang Sewu dari ketinggian. Tentu, akan lebih menarik jika melihatnya
dari lantai 3, lantai paling atas. Namun sewaktu kami berkunjung, ada larangan
untuk naik ke sana sehingga kami hanya sampai di lantai 2 dan melanjutkan
berkeliling di gedung lain.
Di salah satu gedung _saya lupa gedung sisi mana_ terdapat miniatur lokomotif
dan sejarah perketaapian. Ada diorama yang menunjukkan perkembangan kerta api
dari awal hingga sekarang. Di sana juga terdapat televisi yang berisi film
dokumenter pendek kereta api di Semarang. Sayang sebagian besar manuskripnya
berbahasa Belanda sehingga kami tidak memahaminya.
dunia milik berdua, *eh iseng banget candid orang nonton film dokumenter *piss |
Lelah berkeliling dan mengambil foto serta tak lupa selfie mainstream di deretan pintu dan jendela
lawang Sewu, kami beristirahat sembari menunggu waktu salat dhuhur tiba. Kami
menuju toilet untuk mengambil air wudlu dan menunggu di ruangan yang
difungsikan sebagai musala.
Ruangan yang cukup lebar tersebut seperti ruang kelas, dengan lantai
tegel seperti halnya di seluruh ruangan lainnya. Lantai musala diberi alas
karpet sajadah beberapa deret, menyisakan lantai yang masih berupa tegel. Juga dilengkapi
dengan mukena dan sarung, meskipun hanya beberapa. Di luar ruangan tersedia rak
untuk menyimpan sandal pengunjung yang akan melaksanakan ibadah salat. Alhamdulillah,
di sini cukup sejuk dan nyaman untuk melepas penat sebelum melanjutkan
berkeliling.
Berhubung kami datang di akhir pekan yakni hari Sabtu, pengunjung yang
datang cukup banyak baik dari warga sekitar Semarang maupun dari luar kota.
Sesekali terlihat juga turis mancanegara meski hanya segelintir jumlahnya.
Kami juga melewati pintu masuk untuk ke terowongan bawah tanah, namun
hari itu sedang ditutup karena ada perbaikan. Memang, saya masih belum berminat
untuk mencoba menjelajah ruang bawah tanah Lawang Sewu. Terlebih membawa
balita.
Setelah puas berkeliling dan melihat-lihat peninggalan sejarahnya, kami
sempatkan untuk mengambil foto di lokomotif yang diletakkan di halaman samping
gedung, tepat di pinggir jalan Pemuda. Sejatinya
kami ingin juga menjelajah perpustakaannya, namun si Kecil sudah merengek
kelelahan sejak pagi berkeliling Lawang Sewu.
Alhamdulillah, senang rasanya bisa mengunjungi bangunan bersejarah salah
satu bagian dari pesona Indonesia alias wonderful Indonesia Ini.
Kini Lawang Sewu telah terpoles cantik, tak lagi terkesan kusam dan
mistis seperti dulu. Meskipun bisa jadi bagi orang-orang yang sensitif dengan
keberadaan makhluk astral akan merasakan kehadiran mereka, namun tampilan luar
keseluruhan Lawang Sewu tak lagi beraura mistis.
Semoga makin banyak pengunjung yang datang ke Lawang Sewu dan nguri-uri sejarah serta budaya. Alangkah
lebih baik jika terdapat panggung atau pentas budaya mengenai sejarah Lawang
Sewu, Pertempuran 5 hari di Semarang, dll yang akan menambah daya tarik
pengunjung.
Jika akan ke Semarang, pastikan berkeliling Lawang Sewu juga, ya!
Tulisan ini diikutkan dalam Wonderful Indonesia BlogCompetition
Pastikan Kamu juga ikut lombanya, ya Temans!
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Tapi sama kok mbak...saya sebagai warga semarang sejati (halah) juga baru 2 tahun ini menginjakkan kaki ke lawang sewu. Dulu bawaannya serem.