Surat untuk Mamak, Perempuan Tangguh
Daftar Isi
Mak, apa kabar? Pasti kau merindukan sangat ketiga anak perempuanmu yang
kini telah jauh. Kini kami harus mengabdi kepada suaminya masing-masing. Kami yang
kini berjarak sekian kilometer bahkan anak tertuamu di luar pulau.
Ah, sedih membayangkan rumah sepi hanya ada bapak dan mamak. Bapak yang
sejak pagi harus berjibaku di sawah, sedang sore dan malam harinya sibuk dengan
pengajian atau urusan lain.
Maafkan anakmu, Mak. Yang sering terlupa untuk sekadar menanyakan
kabarmu. Ah, cucumu yang menyita perhatian selalu dijadikan alasan. Padahal pagi
mengagendakan untuk menelepon, sampai malam jelang terlelap kami terlupa.
Mak, kami rindu nasi jagung buatanmu, yang kau masak sepenuh cinta meski
harus berkali-kali melalui proses pengukusan-bongkar-kukus lagi hingga matang. Juga
rindu menyesap pedas-asin-manisnya sambal oblok-oblok ikan teri asin khas yang
tak bisa tertandingi oleh siapapun. Rindu saat kau menunggui kami makan dengan
lahap. Kau bilang senang sekali jika melihat kami makan menghabiskan berpiring
nasi dan sayur buatanmu.
Kami rindu pohon duku tinggi menjulang yang memberikan keteduhan di
halaman rumah kita. Juga buahnya yang ranum saat musim panen tiba. Buah duku
yang kami sebut berkah, karena selalu bisa berbagi untuk sekeliling. Pada pohon
jambu biji yang terpaksa ditebang karena tak lagi berbuah dimakan usia. Juga pada
tanaman pagar yang kau rawat sepenuh hati. Tanaman pagar yang selalu kau
bersihkan, kau pangkas rapi agar terlihat seperti tembok hijau. Selalu kuingat,
Mak. Tanaman pagar yang kami tanam saat kami kecil, karena asyik menginginkan
kita memiliki tanaman yang bisa dihias.
Mak, ingin rasanya memelukmu lalu berkeluh kesah di hadapanmu, seperti
dulu. Tapi kami tahu, ada hal yang harus kami jaga untuk diri kami sendiri
meski rasanya sungguh menyakitkan. Ada hal yang hanya boleh kami simpan
rapat-rapat. Bukan apa-apa, hanya kami tak ingin membuatmu khawatir dengan kami
yang jauh dan tak bisa kau rengkuh.
Kami juga rindu semua sudut rumah. Dapur tempat kita beramai-ramai
menyiapkan makanan. ruang tengah tempat kita duduk selonjoran melepas penat
setelah seharian beraktivitas. Ah, tepatnya itu ruang serbaguna, ya Mak. Tempat
untuk makan, tidur, ngobrol, lipat pakaian, bahkan tempat menyiapkan bahan
makanan jika ada acara khusus.
Oia Mak, kami ingat selalu pesan seseorang bahwa seorang anak tidak akan
merasakan besarnya perjuangan seorang ibu sebelum ia hamil dan melahirkan. Benar,
Mak. Kami baru merasakannya sekarang. Rupanya hamil itu memang berat dan
semakin bertambah berat. Lalu melahirkan dengan mempertaruhkan nyawa. Belum lagi
mengurus anak-anak, Mak. Yang ternyata menguras tenaga dan emosi kami. Mungkin kami
saat kecil juga seperti itu, ya Mak. Selalu membuatmu sibuk dan tak pernah
membiarkanmu beristirahat barang sejenak.
Mak, kami merindukan masa-masa kita merajut mimpi di pematang sawah. Memandang
hijau rerumputan dan bercengkerama. Kita sama-sama menggantungkan harapan di
tiap bulir padi yang tertanam, atau benih-benih cabai dan sayur yang ada di
sana. Juga umbi singkong dan ketela atau jagung saat musimnya. Ah, menjadi
petani sebenarnya sangat berat ya. Apalagi petani kecil seperti bapak dan
mamak.
Kami selalu ingat, Mak. Dulu kita pernah hampir tidak punya makanan,
bahkan jagung pun harus beli atau meminjam simbah. Sekarang kami belajar untuk
menghargai setiap apapun yang didapat. Kini kami paham kenapa kita tidak boleh
menyia-nyiakan makanan. sangat paham bahwa dalam setiap bulir beras ada
keringat para petani yang terperas.
Kami memang pernah membencimu, Mak. Benci karena setiap pagi Mamak selalu
bawel membangunkan kami di dingin yang menggigit. Juga selalu menyisir kami ke
tempat saudara saat waktunya mengaji tapi kami melarikan diri untuk nonton TV. Juga
saat Mamak menegur pakaian kami yang terlalu ketat, atau kurang panjang dan
sebagainya. Benci karena terus-menerus menyuruh kami salat.
Baru kami tahu setelah jauh darimu, Mak. Bahwa tugas dan mamak sungguh
berat, memiliki 3 anak perempuan dan 1 laki-laki. Berat, karena salah-salah
kami menyeretmu ke neraka. Na’udzubillah
min dzalik.
Alhamdulillah, kini kami bersyukur terlahir dari rahimmu, Mak. Meski tak
ada keluarga yang sempurna. Bangunan keluarga itu selalu ada sisi yang rapuh,
selalu ada bagian yang tak presisi. Karena memang bukan milik kita-lah
kesempurnaan itu.
Kini kami bersyukur dengan masa kecil yang kelam itu, sehingga kami
belajar untuk tidak melakukan perundungan dan semena-mena terhadap orang lain,
terlebih saudara sendiri.
Kami mewarisi sifat sensitifmu, Mak. Tak apalah, seorang perempuan
tangguh tak harus menyembunyikan tangisnya. Karena tangis itulah yang
menguatkan.
Terima kasih, Mak. Semoga mamak dan bapak sehat selalu. Kini kami hanya
bisa mendoakanmu di sujud-sujud kami, dari jauh. Tak ada lagi bersalaman
setelah salat. Hanya Allah yang bisa membalas jasamu, Mak, Pak.
Maturnuwun...
Kami, anak-anak perempuanmu.
Posting Komentar
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam