Tempat Persinggahan yang Akan Selalu Dikenang
Daftar Isi
Wonosobo, Kampung Halaman yang
Selalu Dirindu
Di pelosok desa di kota kecil inilah mamak melahirkanku 31 tahun silam.
Menurut orang-orang, bobotku hanya 1.500 gram. Lahir saat usia kandungan masih
8 bulan, begitu katanya. Saking kecilnya, ada yang mengatai diriku sebesar manuk alias burung. Alhamdulillah, nyatanya saya bisa tumbuh hingga sebesar ini.
Mengalahkan postur mamak meskipun tetap menjadi yang paling kecil diantara 4 bersaudara.
Pendidikan SD hingga SMA saya habiskan di Wonosobo, tempat yang dulunya tidak begitu saya sukai.
Ya, dulu saya cenderung membenci kota
ini karena begini begitu dan ada luka masa kecil yang masih tersisa.
Mulai sangat mencintai Wonosobo sejak kuliah dan bisa melihat dengan
lebih luas bahwa Wonosobo adalah kota kecil dengan potensi wisata yang sangat
besar. Dan benar, sejak beberapa tahun terakhir Wonosobo dengan Dieng dan
berbagai destinasi wisata di sekitarnya menjadi primadona wisatawan. Event tahunan Dieng Culture Festival (DCF) selalu sukses menghadirkan ribuan
wisatawan untuk mengikuti setiap event di negeri atas awan.
Kini, Wonosobo selalu kurindukan. Pada pohon duku besar tinggi menjulang
di depan rumah, pada rumah papan yang
mulai lapuk, pada bapak dan mamak yang
mulai menua, pada adik bungsu yang
remaja, pada desir angin dari hutan
bambu di bukit, pada makam simbah di balik bukit bambu, pada masjid yang
didalamnya kami mengaji a-ba-ta hingga ya. Ah,
rindu sungguh.
Tapi jika ditanya apakah ingin tinggal di Wonosobo? Saya ingin menjawab
tidak. Biarlah ia menjadi tempat persinggahan.
Karena setiap pulang ke sana,
aromanya adalah aroma liburan: malas bangun pagi, inginnya jalan-jalan
dan makan. Di Wonosobo itu seperti tinggal di villa, serasa liburan di villa
pribadi, kata suami saya.
Semarang, Ada Kenangan yang Tak
Kan Lekang
Kota pertama yang menjadi perantauan saya adalah Semarang. Ibu kota
provinsi Jawa Tengah ini menjadi saksi bagaimana seorang gadis desa nan lugu
dan minderan berhasil menyelesaikan kuliah.
Baca: KuliahGratis, Why Not?!
Kurang lebih 5 tahun berjibaku dengan dunia kampus membuat saya mengenang
setiap sudut kos, kampus, dan tempat-tempat yang biasa kami lalui untuk ke
kampus atau agenda di luar kampus. Saat melewati jalanan di depan R.S Roemani,
pasar Wonodri, Jalan Hayam Wuruk, Pleburan, Singosari, dan sekitarnya seolah
melihat seorang mahasiswi berjilbab yang selalu membawa ransel besar dan
berjalan cepat terkesan terburu-buru. Terkadang ia berjalan sendiri, tak jarang
bersama dengan teman kos-nya. Iya, itu saya yang selalu berjalan kaki, naik
kendaraan umum atau nebeng teman ke
manapun.
Setelah lulus kuliah dan pulang ke Wonosobo, saya mendaoat pekerjaan di
salah satu lembaga amil zakat daerah. Selama kurang lebih 2 tahun mengabdi di
sana, saya memutuskan untuk resign sebelum
menikah. Setelah menikah, saya kembali ke Semarang mengikuti suami. Dan akhirnya
tinggal di Kota Atlas selama kurang lebih 5 tahun sebelum suami mendapat tugas
kerja di Bali.
Banyak orang mengatakan tidak menyukai suasana Semarang, namun bagi saya,
Semarang akan selalu menjadi home sweet home ke-2. Di sana lah saya menemukan ‘keluarga’
meski sebenarnya bukan. Di sana lah saya pertama kalinya bertemu dengan
orang-orang yang mengabdikan dirinya dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan
selain dari Allah, di sana saya bertemu dengan orang-orang yang selalu peduli kepada
orang lain. Semarang yang panas dan banjir, tapi menyimpan berjuta kenangan.
Denpasar, Memulai Perjalanan Baru
Pindah ke Denpasar bagi saya adalah memulai petualangan baru. Karena pertama
kalinya kami tinggal terpisah dengan orangtua. Jauh dari karib kerabat, hanya
bersama suami dan anak yang masih kecil adalah tantangan bagi kami.
“Tenang, di manapun berada ini adalah bumi Allah, yakin saja masih jauh
lebih banyak orang baik daripada orang jahat,” begitu pesan seorang sahabat
yang telah merantau ke luar pulau sejak masih kuliah. Kalimat inilah yang
meyakinkanku untuk memantapkan hati mengikuti suami ke Bali.
Alhamdulillah, tinggal di Denpasar tidaklah semengerikan yang saya
bayangkan. Di sini kami masih bisa mendengar suara adzan, masih banyak perantau
yang sebagian besar dari Jawa, dan masih cukup mudah menemukan warung makan dan
bahan makanan halal.
Kota ini sangat nyaman dan aman, pantas saja jika menjadi impian banyak
orang. Meskipun untuk urusan harga properti (termasuk kos dan kontrakan) dan
biaya pendidikan jauh lebih mahal dibandingkan di Semarang apalagi di Wonosobo.
Entah sampai kapan kami akan tinggal di sini, tapi selalu ingin kembali
ke Jawa yang lebih dekat dengan keluarga. Iya... pusing mikir biaya tiket untuk
mudik, hehe.
Mohon doanya ya, Temans! semoga kami tetap bisa selalu berbakti kepada
orangtua dan keluarga.
Salam,
Posting Komentar
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam