Ningrum Sang Pahlawan Lingkungan
Daftar Isi
Ningrum tengah berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan Dieng. Hujan masih
terus mengguyur Wonosobo sejak pagi tadi, membuat udara yang telah dingin
menjadi semakin dingin menusuk kulit dan tulangnya. Jaket yang membalut
tubuhnya berkali-kali ia kencangkan untuk mencegah hawa yang semakin membuatnya
tak nyaman.
Ia terus menyusuri jalan itu, menuju rumahnya
di kampung Rowopeni. Sesekali ia mengibaskan tangan saat percikan hujan
mengenai wajah dan tangannya. Payung kecil yang ia kenakan rupanya tak mampu
menghindarkannya dari kejaran hujan.
Masih setengah perjalanan lagi untuk sampai ke
rumahnya. Seharian bersama anak-anak didiknya yang menyita perhatian tak
membuatnya lelah untuk berjalan kaki pulang. Ia selalu mengusahakan berjalan
kaki bukan karena tak punya uang, gajinya sebagai pengajar lebih dari cukup
untuk menghidupi dirinya sendiri, tetapi ia ingin berolah raga dan mengurangi
polusi. Motor hadiah dari ayahnya tahun lalu sangat jarang ia pakai kecuali
saat terburu-buru. Jiwa sosialnya berkata jika ia naik angkot maka akan sedikit
membantu pekerjaan para sopir angkot, ia pun menjadi lebih bersyukur akan
nikmat dari Allah untuk dirinya.
Tiba-tiba hujan menderas, arus air dari utara
mengguyur aspal dan jalanan itu berubah seperti sungai yang memuncratkan air
saat terlewati kendaraan. Ningrum mengernyitkan dahi,
kenapa bisa begitu? Padahal daerah ini cukup tinggi. Oh, rupanya selokan mampet
dan airnya membludak ke jalan, ke trotoar bahkan ke rumah dan kantor di sepanjang
jalan itu.
“Banjiiiir!! Banjiir! Selamatkan barang-barang
yang di bawah!” teriak seorang perempuan dari sebuah kantor. Lalu terlihat
beberapa orang yang mondar-mandir dan panik mengangkat barang-barang yang
tergeletak di lantai dan mencegah lebih banyak air yang masuk. Ningrum pun
tergerak untuk membantu.
“Sini Mbak, saya bantuin nyogokin selokannya,” katanya ramah saat
melihat salah satu dari mereka mencoba mengaduk-aduk selokan agar airnya
lancar.
“Iya Mbak, terimakasih. Pakai kayu ini saja, saya bereskan yang di
dalam lagi ya Mbak,”
“Oke,” Dan tanpa banyak bicara Ningrum
segera bekerja. Ia tak begitu terkejut saat berhasil mengambil setumpuk sampah plastik
dari sana. Botol air kemasan ukuran besar dan bungkus snack serta beberapa plastik
limbah rumah tangga.
‘Pantas saja daerah sini banjir, selokannya saja berisi sampah…’
gumam Ningrum prihatin.
“Sudah mulai surut Mbak, terima kasih banyak…” kata si empunya kantor tulus.
“Sama-sama Mbak, saya pamit dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam…”
Setelahnya Ningrum tak bisa melepaskan diri
dari memikirkan berbagai alternatif untuk ‘menyelamatkan’ daerahnya sendiri agar tak lagi banjir saat
musim hujan tiba. Miris rasanya,
Wonosobo yang notabene wilayah pegunungan sering mengalami banjir juga. Ia pun
mengingat bencana banjir bandang di dataran tinggi Dieng beberapa tahun lalu yang diyakininya akibat ulah manusia
sendiri.
Ningrum mencoba brainstorming seputar sampah dan lingkungannya |
Hingga larut malam, Ningrum masih berkutat
dengan konsep yang dinamainya PROYEK PENYELAMATAN. White board di kamarnya penuh dengan berbagai coretan dan gambar-gambar
dari masalah-masalah yang telah timbul akibat sampah atau lebih tepatnya akibat
pengelolaan sampah yang kurang tepat. Padahal
ia tahu, setiap pagi petugas DPU selalu datang mengambil sampah-sampah di sana,
mengapa masih ada saja yang menyumbat
selokan? Apa masyarakat terlalu malas untuk sekadar
membuang sampahnya ke tempat yang telah di sediakan? Entahlah… Ningrum terlalu
lelah untuk memikirkan semuanya.
Malam ini ia telah mengantongi beberapa ide
dan program untuk misinya itu. ia membaginya menjadi beberapa tahap: dimulai
dari dirinya sendiri, keluarganya, lalu masyarakat di sekitarnya.
Seharian besok ia libur sehingga bisa browsing dan mencari info tentang segala
hal yang berkaitan dengan sampah dan pemanfaatannya. Ia pun akan menghubungi
teman-temannya yang telah memahami ‘dunia persampahan’ untuk belajar pengolahan
sampah.
Selanjutnya, ia akan berkampanye tentang
sampah kepada keluarganya. Selama ini ia telah mulai memisahkan sampah organik
dan non-organik, membagi lagi sampah non-organik ke dalam beberapa jenis, dan seterusnya. Tetapi lebih
sering anggota keluarga yang lain mengabaikannya maka ia harus menggalakkan
program itu kembali.
Sambil menjalankan program untuk keluarganya,
ia akan mencoba mencari dukungan lewat ketua RT dan ibu-ibu PKK di sekitarnya. Mencoba
melempar isu dan wacana tentang sampah; menyampaikan informasi, masalah, dan
berbagai fakta yang telah dianalisa lalu mengajak mereka untuk ikut berperan
menanggulangi masalah itu.
Ia sadar semua itu bukan hal yang mudah, butuh
energi yang banyak dan kesabaran ekstra. Tapi ia yakin dan akan berusaha apapun
hasilnya kelak.
***
Contoh tempat sampah untuk pemilahan sampah |
Pagi ini Ningrum akan menjalankan misinya di
keluarga. Pagi-pagi ia telah menyiapkan 3 tong sampah sedang yang ia letakkan
di dapur, 3 tempat sampah kecil ia letakkan di kamar orangtuanya, kamarnya
sendiri, dan kamar Nina dan Neni adik kembarnya. Ayah dan Ibu Ningrum tak ada
satupun yang memprotes karena mereka sudah paham anak sulungnya itu memang
selalu dijuluki ‘sang penyelamat lingkungan’.
“Kak Ningrum! Ribet tau kalo ada 3 tong sampah
di dapur!” seloroh Neni dengan muka ditekuk. Ningrum hanya tersenyum
menanggapinya, ia sepenuhnya paham kedua adik kembarnya itu sebenarnya penurut
hanya perlu sedikit penjelasan.
“Nggak ribet ko Dik, Neni kan tinggal masukin aja sampahnya ke
salah satu tong, semua udah ada tulisannya”
“Tetap aja ribet! Apalagi kalau kita punya banyak macam sampah.
Masa’ musti buang sampahnya berkali-kali juga!” kali ini Nina urun suara dengan
nada yang sama.
“Adik sayang…, mau kan berbagi kebaikan untuk banyak orang? Nah..
salah satunya dimulai dari sampah-sampah itu”
Meskipun masih terpaksa si kembar Nina dan
Neni pun menerimanya.
Alhamdulillah, keluarga tidak ada masalah. Berarti tahap awal ini
semuanya lancar, bisik Ningrum penuh kesyukuran. Senyum bahagia tergambar jelas
di wajahnya.
Rencana selanjutnya segera disiapkan. Ningrum
mengeluarkan dus dari gudang, dus yang berisi sampah kemasan plastik yang telah
dikumpulkannya sedari dulu. Dulu ia hanya berfikir suatu saat sampah-sampah itu
akan bermanfaat.
Mula-mula ia pilah sampah-sampah itu sesuai
ukuran dan warnanya lalu ia cuci bersih di pancuran. Untuk beberapa yang
berminyak ia rendam sebentar dengan sabun lalu ia jemur di bawah sinar matahari
sampai benar-benar kering. Sembari menunggu plastik-plastik kemasan itu kering,
Ningrum membuat beberapa pola dan menyiapkan mesin jahit tua milik ibunya. Tak
lupa ia siapkan gunting, penggaris, bolpoin, dan perlengkapan jahit lainnya.
“Mau buat apa, Ning?” sapa ibu saat melewatinya.
“Hm, Ningrum mau coba buat sesuatu yang bermanfaat dari sampah plastik,
Bu”
“Bagus. Siapa yang ngajarin?”
“Otodidak, Bu. Sebelumnya sudah ada bayangan, lalu nyari di
internet Alhamdulillah dapat contohnya jadi tinggal nyoba buat”
“Semoga berhasil, Nak” kata Ibu tulus.
“Terimakasih, Bu. Do’akan ya semoga bermanfaat”.
Satu setengah jam kemudian plastik yang dijemur
telah mengering. Ningrum bersyukur karena hari ini matahari bersinar cerah di
Wonosobo, tidak seperti beberapa hari terakhir. Selanjutnya ia asyik
menggunting dan merapikan, memadukan warna yang pas dan harmonis, lalu menjahit
plastik-plastik itu menjadi lembaran sesuai ukuran yang ada di polanya. Akhirnya
jadilah sebuah map meskipun belum sempurna dan masih perlu finishing agar telihat lebih cantik. Siapa sangka jika map itu dari
kemasan plastik yang sudah tak terpakai sama sekali?. Puas melihat hasil
kerjanya, Ningrum melirik laptop dan membuka beberapa gambar kreasi sampah plastik
yang telah diunduhnya lewat internet. Ide-ide bermunculan di kepalanya dan tak
sabar untuk segera direalisasikan.
***
“Begini Bu, saya prihatin melihat kondisi
lingkungan sekitar kita. Beberapa hari ini banjir karena selokan mampet
sehingga air meluap ke jalan dan ke rumah-rumah. Setelah saya amati, sebagian
karena sampah yang menumpuk di selokan. Saya ingin mengajak warga khusunya
ibu-ibu untuk bijak mengelola sampah, Bu” kata Ningrum saat menemui Bu Rahma,
istri ketua RT.
“Hm.. saya pun punya pikiran yang sama dengan Mbak Ningrum. Cuma
ya itu, saya belum punya programnya. Apa Mbak Ningrum sudah ada usulan?”
“Alhamdulillah, sudah Bu Rahma. Saya sudah mencoba membuat kreasi
sampah menjadi barang yang bermanfaat; contohnya seperti ini” kata Ningrum sembari
mengangsurkan map hasil karyanya. Alhamdulillah, jika penggerak PKK telah
mendukung ia optimis rencananya akan berjalan lancar seperti yang diharapkan.
Hari ini sepekan sejak pertemuanya dengan Bu
Rahma, Ningrum tengah menanti kedatangan ibu-ibu PKK untuk datang ke rumahnya.
Sejak pagi ia telah menyiapkan segala perlengkapan untuk presentasi dan
peralatan praktik tak lupa makanan ringan dan minumannya telah siap menemani
para ibu berkreasi.
Bu Rahma telah datang meskipun terlambat
beberapa menit dari waktu yang disepakati, menyusul Bu Desi dan Bu Febri 10
menit kemudian. Ningrum mulai gelisah karena menunggu hampir 30 menit baru tiga
orang yang datang. 15 menit kemudian datang Bu Siti dan Bu Rani yang rumahnya
bersebelahan dengan rumah Ningrum. Tak mau menunggu lebih lama lagi, Bu Rahma
membuka acara dan selanjutnya menyerahkan acara kepada Ningrum.
Semangat Ningrum cukup menciut dengan hadirnya
5 orang dari 25 orang yang diundang apalagi yang tampak antusias hanya Bu
Rahma, Bu Desi dan Bu Febri, barangkali Bu Siti dan Bu Rani hanya datang atas
alasan tidak enak jika tidak datang.
“Baiklah, Ibu-Ibu, bagaimana tanggapannya?” Ningrum mengakhiri
presentasinya.
“Bagus, Mbak. Sepertinya menyenangkan membuatnya. Tapi, yang
dibuat Mbak Ningrum itu kan baru sampah plastik dan membuatnya pun menggunakan
mesin jahit. Solusi bagi kami yang belum punya mesin jahit bagaimana Mbak?”
tanya Bu Febri.
“Pertanyaan yang bagus sekali, Bu Febri. Sebenarnya banyak sekali
kreasi yang bisa dibuat dengan ataupun tanpa mesin jahit. Ada yang dianyam, ada
yang cukup dilem, ada juga yang menggunakan jahit tangan. Untuk membuat dompet
kecil atau tempat HP bisa dengan anyaman, bros dan bunga yang cantik dengan
jahit tangan dan perekat. Kuncinya mudah karena plastik kemasan itu bahan yang
tidak mudah rusak dan fleksibel jadi lebih mudah dibuat berbagai macam bentuk”
jelasnya sembari memperlihatkan gambar-gambar di laptopnya.
“Wah,, bagus-bagus ya Mbak.. ayo, kapan-kapan kita ngumpul lagi
buat belajar” kali ini Bu Desi yang terlihat antusias.
“Silakan, Bu. Dengan senang hati, saya insya Allah akan menemani,
kita belajar berkreasi bersama” sahut Ningrum lega. Setidaknya sudah ada niatan
dan satu-dua pionir untuk proyeknya.
Bukankah sesuatu yang besar selalu dimulai dari yang kecil? Bisik Ningrum untuk
dirinya sendiri.
***
Memanfaatkan berbagai barang bekas untuk menanam |
“Assalamu’alaikum, terimakasih sudah berkenan
datang kembali Bu Rahma, Bu Desi, dan Bu Febri. Bu Rani dan Bu Siti berhalangan”
Ningrum membuka pertemuan dengan singkat dan melanjutkannya dengan cukup santai.
Canda dan tawa mewarnai sore yang cerah itu,
apalagi saat ibu dan si kembar ikut bergabung meramaikan. Kali ini mereka akan
berkreasi dengan jahit tangan dan lem serta anyaman. Ningrum tak lupa
mengingatkan mereka agar tak menyisakan sampah lain karena sisa-sisa guntingan
masih bisa digunakan untuk isian bantal kursi atau kreasi lain.
“Mbak, apa ada ide untuk pengolahan sampah organik?” tanya Bu
Rahma. Ningrum tersenyum, pertanyaan yang telah dinantinya akhirnya muncul.
“Insya Allah ada bu, dan membuatnya pun cukup mudah. Pertama kali
yang harus kita lakukan adalah membuang sampah pada tempatnya, tidak lagi di
selokan atau di kali. Selanjutnya, kita menyediakan dua buah tempat sampah
yaitu organik dan non organik. Untuk sampah organik, bisa langsung kita buat
pupuk cair dengan bantuan MOL (Mikro organisme lokal). Pembuatan MOL pun cukup
mudah dan bisa menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar kita” Ningrum
berhenti sejenak, namun semangatnya tengah membara dan mimpinya seakan berada
di hadapannya untuk segera diraih dan dibuat nyata. Mimpinya untuk menjadikan
Wonosobo kota yang bersih dan bisa mengelola sampah yang berlimpah.
“Pernah membuat MOL Mbak?” tanya Bu Desi.
“Pernah, Bu. Dan Alhamdulillah berhasil. saya sudah punya beberapa
botol pupuk cair” jawab Ningrum mantap.
“Oia, untuk sampah non-organiknya,
bisa kita pisahkan menjadi beberapa bagian seperti plastik, kertas, dan kaleng.
Untuk kertas bisa kita daur ulang untuk dijadikan kerajinan tangan atau kertas
hias. Untuk plastik bisa kita kreasikan seperti ini, dan kaleng-kaleng bisa
kita manfaatkan untuk yang lain atau bisa juga kita jual”
“Saya punya ide untuk membuat Bank sampah, Mbak”
“Bisa minta tolong dijelaskan, Bu Rahma?” lagi-lagi Ningrum
bersorak dalam hati karena bank sampah juga menjadi salah satu agendanya.
“Begini, kita masing-masing di rumah menyediakan 3 tempat sampah
seperti yang Mbak Ningrum sampaikan. Sepekan sekali kita kumpulkan sampah dari
rumah ke rumah. Sampah organik kita buat pupuk, sebagian sampah plastik dan
kertas kita jadikan kerajinan, lalu sebagian yang lain bisa kita jual. Hasilnya
untuk kas kita dan untuk biaya promosi barang-barang yang kita hasilkan karena
saya ingin semuanya bisa bernilai ekonomis sehingga bisa membantu penghasilan
ibu-ibu yang akhirnya akan bermanfaat untuk banyak orang” serentak tiba-tiba
mereka bertepuk tangan dan tertawa gembira mendengar penjelasan Bu Rahma.
“Bagus, Bu Rahma. Saya setuju” Bu Desi langsung menanggapinya.
“Lalu, pupuk cair yang nantinya kita hasilkan akan diapakan, Mbak?”
tanya Bu Febri.
“Sebagian mungkin bisa kita jual, Bu. Tapi lebih baik kita
manfaatkan sendiri. Caranya tentu saja dengan kita galakkan gerakan menanam di
halaman rumah. Kita menanam sayuran, bumbu dapur, juga tanaman hias. Tanaman
hijau di halaman rumah kita tentu akan mempercantik pemandangan dan menyejukkan
mata”
“Betul juga ya Mbak? Kita bisa memanfaatkan untuk semuanya dan
kalau kita bisa menanam sayuran tentu saja akan menghemat pengeluaran kita untuk
masak”
“Benar, Bu. Sepertinya kita memang harus melakukan semuanya ya?
Kalau mau lingkungan benar-benar bersih dari sampah” sahut Bu Desi.
“Nanti saya siap untuk membantu menggerakkan warga, tapi tentunya
kita juga harus bergerak terlebih dahulu dan membuktikan pada mereka bahwa
program ini mudah dan menyenangkan bahkan bisa menghasilkan uang” kata Bu Rahma
bersemangat, ia tertawa gembira.
“Saya sepakat. Ayo Mbak Ningrum, Mbak saja ketuanya ya, nanti yang
mengkoordinir dan membuat rencana. Kita jalankan bersama-sama. Yang lain
setuju?” Bu Febri melirik dua orang temannya dan memandang Ningrum penuh harap.
“Setujuuuuuu!!” sahut Bu Desi dan Bu Rahma berbarengan.
Maka resmilah Ningrum ‘menjabat’ menjadi ketua
dan mendapat kehormatan untuk memimpin orang-orang yang lebih tua darinya. Ia
tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. ide-ide yang terkurung di kepalanya
menunggu untuk dibuktikan. Senyum cerah merekah di wajah manisnya.
***
Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk bertanam sumber gambar: monitor |
Setahun berlalu, Ningrum berjalan kaki di trotoar saat hujan menderas. Namun tak seperti tahun sebelumnya kali ini ia tak mendapati banjir. Yang ia dapati adalah selokan yang lancar, rumah-rumah yang halaman dan terasnya terlihat hijau, tong-tong komposter yang tergeletak di halaman rumah, serta halaman dan jalanan yang bersih dari sampah.
Ia patut tersenyum dan bersyukur atas
perjuangannya selama ini dengan bantuan Ibu-ibu PKK yang bersemangat.
“Assalamu’alaikum, Mbak Ningrum”
“Wa’alaikumsalam, Bu Desi. Sedang panen apa, Bu?”
“Alhamdulillah, Mbak. Ini sedang metik sayur bayam. Oh iya Mbak,
pameran kita bulan depan bagaimana?”
“Insya Allah jadi, Bu. Persiapan sudah hampir selesai. Kita tinggal memastikan persediaan sayur organik kita cukup banyak untuk dipamerkan,”
“Insya Allah jadi, Bu. Persiapan sudah hampir selesai. Kita tinggal memastikan persediaan sayur organik kita cukup banyak untuk dipamerkan,”
“Siap, Mbak Ningrum! Semuanya sudah OK” kata Bu Desi sembari
mengacungkan dua jempol tangannya.
“Semua warga sudah saya hubungi, termasuk untuk kerajinan dan
pupuk cair semuanya tinggal dibawa untuk pameran,” Imbuhnya
“Alhamdulillah… semoga semua lancar sampai hari H, Bu”
“Aamiin..”
“Mari Bu Desi, saya permisi dulu,”
“Mari Bu Desi, saya permisi dulu,”
“Iya Mbak, silakan….”
Lagi-lagi buncah kebahagiaan memenuhi dada Ningrum. Perjuangannya
selama setahun ini membuahkan hasil. Terimakasih, Yaa Allah.. aku cinta
Wonosoboku yang bersih ini. Aku cinta Wonosoboku yang indah dan hijau ini….
Ningrum berbisik penuh makna.
Pikirannua terus mengembara, mencari solusi tak hanya
untuk lingkungannya. Ya, masih jauh dari mimpinya agar menerapkan gaya hidup zero waste, bebas sampah atau paling
tidak minim sampah. Namun semoga ia bisa melakukan yang terbaik untuk bumi
tercinta.
Baca juga: Ecobrick untuk solusi penumpukan sampah plastik
Baca juga: Ecobrick untuk solusi penumpukan sampah plastik
*Kisah ini
terinspirasi dari seorang ibu peduli lingkungan di Kota Semarang, pendiri Bank
Sampah Resik Becik dan seorang ibu yang menggalakkan pengelolaan sampah dan
kebun organik KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari_program PKK) di salah satu
desa di Kabupaten Banjarnegara.
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam