Jangan Tunggu Nanti untuk Berbagi
Daftar Isi
Sebutir Pasir Kubagi, Sebongkah Emas Kudapatkan
Pagi itu tak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. rutinitas pagiku
di rumah kost tak ada yang istimewa selain antre mandi dan bergegas menuju
kampus untuk kuliah di jam pertama. Tanpa sarapan, tentu saja. Petugas piket
masak belum bersiap, imbasnya kami yang harus kuliah pagi tak mendapat
jatah sarapan. Biarlah, nanti bisa beli makan di kampus saat jam kosong, sekalian
brunch supaya tidak perlu lagi beli
untuk makan siang.
‘Rin,
katanya bapak belum bisa kirim uang. Maaf ya, sabar dulu’.
Pesan singkat masuk ke HP bututku, membuatku tersenyum kecut. Jawaban
dari pesan yang kukirimkan kemarin, melalui kakak sepupu. Ya, bapak dan mamakku
belum punya alat komunikasi sehingga aku harus menumpang SMS lewat sepupuku
itu.
Baiklah,
percaya saja pasti ada jalan. All is well! Gumamku sambil menekuri jalanan
menuju kampus. Mau bagaimana lagi? Gaji mengajar les privat pun baru sepekan
lagi jadwalnya, itu jika si Ibu tidak terlambat atau lupa seperti bulan-bulan
sebelumnya.
Percayalah, Rin... jika sumur telah kering, artinya hujan akan
segera turun dan mengisinya lagi. Bisikku pada diri sendiri, sekadar
menyemangati dan berbaik sangka kepada Allah.
***
Jadwal kuliah jam pertama telah usai, masih ada waktu untuk brunch sambil menanti jadwal kuliah selanjutnya.
Saat berjalan melewati selasar kampus, kudapati seorang adik kelas
yang tengah murung dan seperti habis menangis.
“Mbak Arin, HP ku dicuri orang, Mba…” kata Santi, setelah kutanya.
Kegundahan terlihat jelas di wajah manisnya.
“Hilang dimana, Dek?” tanyaku prihatin.
“Di bis sepertinya Mbak. Tadi bis penuh, berdesak-desakan. Dompet
Santi juga hilang.”
Kucoba
menghubungi nomor HP Santi. Masih aktif, tapi direject oleh seseorang. Sepertinya harapan untuk kembalinya HP itu
sudah sangat tipis. Kasihan sekali, apalagi dompet lengkap dengan isinya raib. Tentu
akan lebih ribet lagi karena ia harus mengurus surat-surat di dalamnya.
“Nanti pulangnya gimana, Dek? Ada barengan nggak?”
“Nggak tahu Mbak, sekarang
Santi nggak ada uang sama sekali,” jawab Santi setengah menangis. Mimik mukanya
masih shock dengan kejadian yang baru
menimpanya itu. Terlebih tadi ia bilang itu HP baru yang dibelikan ibu khusus
untuknya. Tentu ia juga merasa sangat bersalah atas hilangnya HP pemberian
ibunya itu.
Kulirik selembar 20 ribu rupiah satu-satunya yang tersisa di
dompet. Uang terakhirku bulan ini. jika kuserahkan uang ini untuk Santi,
bagaimana aku besok? Tapi tak tega rasanya kalau harus meninggalkan Santi tanpa
membekalinya dengan sejumlah uang, minimal untuk makan siang dan ongkos pulang.
Membayangkan diriku berada di posisinya saja sudah membuatku ingin menangis.
Kuhampiri teman-temanku dan berharap ada yang bisa memberi bantuan, tapi ternyata kondisi kami tak jauh
berbeda. Kami sama-sama mahasiswa pemburu beasiswa dan harus berjuang lebih
untuk menambah uang saku karena jatah bulanan dari orangtua datang tak tentu.
Tak ada pilihan lain. Kutukarkan uangku menjadi pecahan yang lebih
kecil. Biarlah, nanti di kos pasti ada yang bisa berbagi mie instan seperti
biasanya. Jika tidak, aku bisa menagih teman yang sebelumnya meminjam stok mie
instanku. Untuk urusan makan tak jadi soal, tapi urusan tugas kuliah masih
memberatkanku. Sudahlah, nanti pasti ada jalan, sekarang ia lebih membutuhkan,
bisik hatiku.
“Santi, maaf, Mbak cuma bisa membantu ini, sekadar untuk makan siang
dan ongkos pulang ke rumah,” kataku sambil mengangsurkan beberapa lembar uang.
“Makasih banyak, Mbak. Jadi nggak enak sama Mba Arin, merepotkan.
Semoga Mbak dimudahkan rezekinya.”
“Aamiin. Terima kasih juga
doanya. Sudah ya, lain kali
lebih berhati-hati. Mbak mau menyelesaikan tugas dulu, ada yang belum kelar.”
Kulihat mata Santi berkaca-kaca saat bersalaman dan memelukku. Aku
hanya bisa berdoa semoga ibunya tak marah dan membuatnya makin merasa bersalah.
Aku kembali berkumpul dengan teman-teman sekelompok untuk
menyelesaikan tugas kuliah. Sementara aroma lontong sayur yang menguar semakin
membuat perutku bernyanyi-nyanyi. Bayangan sepiring lontong sayur untuk sarapan
saat jeda kuliah musnah sudah.
Baiklah. Sabar, sabar.... Kembali kulirik dompetku yang kini hanya
berisi beberapa lembar seribuan. Setidaknya sepiring nasi pecel tanpa lauk
masih bisa terbeli nanti, sekadar mengganjal perut yang sejak pagi belum terisi.
Aku yakin Allah akan memberikan rezeki kepada hamba-Nya dari jalan yang tak
disangka-sangka.
***
Hari yang padat dan melelahkan. Setelah kuliah usai, aku harus
mengerjakan beberapa tugas organisasi yang menjadi kewajibanku. Alhasil, hingga
sore aku masih beredar di sekitar kampus.
Aku teringat dengan jadwalku mengajar TPQ sore itu. Hampir saja
terlupa. Maka kubelokkan langkah kaki menuju TPQ di Masjid Al-Huda tak jauh
dari rumah kost. Saat aku tiba di halaman masjid, anak-anak telah menunggu
dengan riang.
“Mbak Arina datang...!” teriak mereka sembari berebut bersalaman. Ah,
bertemu tangan-tangan mungil itu selalu menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Bu Nur, pengelola TPQ tergelak melihat tingkah anak-anak. Aku pun
segera menghampiri beliau dan menyalaminya, lalu bergegas dan bersiap memantau
anak-anak mengeja huruf hijaiyyah di kitab Iqro’-nya. Bersama mereka, membuatku
sejenak melupakan beban-beban yang menumpuk di pundak.
Satu persatu anak-anak usai mengaji. Biasanya setelah itu kami
akan berdiskusi sebentar membahas perkembangan anak-anak, rencana TPQ, atau
sekadar curhat dan membahas resep masakan.
Saat kami sedang membereskan peralatan mengaji, Bu Nur tiba-tiba mengangsurkan
amplop kecil putih.
“Ini ada titipan dari takmir masjid untuk Arin.”
“Apa itu, Bu?”
“Terima saja,
jumlahnya tak seberapa. Untuk guru TPQ,
begitu pesan beliau tadi.”
Meski sedikit bingung,
kuterima amplop itu dan menyimpannya ke dalam tas. Tak biasanya pengurus memberikan uang lelah kepada guru ngaji di TPQ. Namun
aku tak banyak bertanya, justru terharu karena sejujurnya aku tengah bingung
bagaimana bertahan untuk besok tanpa
utang ke teman kos.
“Terima kasih, Bu. Tolong sampaikan terima kasih juga untuk
takmir.”
Bu Nur hanya mengangguk. Beliau tengah kesulitan membawa
perlengkapan TPQ kembali ke rumahnya. Aku pun menawarkan diri untuk membantunya
sampai rumah. Beliau mengiyakan, dan sejurus
kemudian aku mengekor beliau
menuju rumahnya yang tak jauh dari masjid.
Setelah semua urusan
selesai, aku berpamitan. Tiba-tiba beliau mengangsurkan kantong plastik berisi
makanan. Maka sore itu aku pulang kos dengan membawa seplastik sayur dan lauk
yang cukup untuk dimakan 3 orang.
Aku terdiam, memikirkan setiap kejadian yang kulalui seharian. Rasanya
seperti ada rencana saling berkaitan. Bagaimana tadi aku yang hampir lupa jadwal
mengajar TPQ akhirnya ingat tepat di belokan sebelum jalan menuju kost, juga
tentang kegundahanku yang belum menemukan cara untuk esok hari.
Masyaallah, mungkin
ini balasan langsung dari Allah atas beberapa ribu yang kusedekahkan tadi pagi.
Semakin bertambah syukurku saat kubuka amplop dan mendapati jumlah yang
berkali-kali lipat dari lembaran yang
kukeluarkan, cukup untuk menyambung hidup sampai ada kiriman uang dan gaji
les privat.
Masyaallah walhamdulillah… aku seperti memberikan sebutir pasir
namun mendapat balasan sebongkah emas.
***
Dulu,
saya menganggap sedekah adalah hal yang sangat sulit, terlebih saya lebih
sering tidak memiliki uang dibanding memegang uang sebagai tabungan. Namun,
hidup bersama teman-teman di rumah kos mengajarkan saya banyak hal, termasuk saling
menanggung beban saudaranya.
Kos
muslimah itu dikelola oleh mahasiwa tingkat akhir, sehingga jaringannya cukup
luas meliputi seluruh fakultas di kampus. Penghuninya rata-rata pengurus Rohis dan
aktivis kampus lainnya.
Di
sana, setiap ada berita duka atau musibah menimpa salah satu penghuni kos, akan
ada relawan yang door to door mengetuk
pintu kos di jaringan kos muslimah. Kami pun belajar untuk berempati dan
menyisihkan sebagian dari yang kami punya untuk membantu saudara kami yang
tengah kesusahan. Oh, indahnya masa-masa itu, saat susah dan senang kami lalui
bersama.
Salah
satunya adalah kisah di atas yang saya alami saat masih menjadi mahasiswa. Meski
sebelumnya ragu dan berat untuk berbagi, akhirnya mulai muncul kesadaran bahwa
ketika ada orang lain yang lebih membutuhkan kita bisa menyisihkan sebagian
untuk mereka. Rasa bahagia dan nikmat ketika bisa berbagi untuk orang lain juga
menjadi cambuk semangat. Nominalnya mungkin tak seberapa, tapi memulai langkah
itu yang lebih utama.
The Formula of Charity
Dalam
Alquran Allah berfirman: "Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui."
(Al-Baqarah: 261).
Di
sini, Allah berjanji bahwa sedekah yang kita keluarkan akan mendapat balasan
700 kali lipat. Namun bukan berarti kita harus menghitung setiap yang kita
keluarkan itu untuk kemudian berharap balasan sebanyak 700 kali lipatnya. Karena
bisa jadi, Allah memberikan balasan tidak hanya melalui materi, melainkan dalam
bentuk lain yang nilainya jauh lebih besar. Kesehatan, ketentraman hati dan
keluarga, kemudahan dalam beribadah, kemudahan dalam menjalani hidup, dll.
Dalam
suatu obrolan bersama teman-teman, kami pernah membahas tentang ‘the formula of charity’ ini. Kesimpulan
yang kami dapatkan adalah pada makna ikhlas, berbagi tanpa berharap imbalan. Jika
ditilik menggunakan rumus matematika, maka 1/0 = ∞ dengan kata lain jika kita
mengeluarkan satu rupiah tanpa mengharapkan apapun, bisa jadi Allah justru akan
membalasnya tak terhingga, tidak sekadar seperti apa yang kita harapkan.
Allahua’lam bishshawab.
Keutamaan
Bersedekah/Berbagi
Islam mengajarkan umatnya untuk bersedekah, dan
telah dituangkan dalam Alquran dan hadis. Berbagai kisah kedermawanan para
sahabat Rasulullah di masa itu pun terdegar indah hingga sekarang.
Dalam
agama islam, ada sedekah wajib yakni zakat. Zakat diperuntukkan bagi orang yang
mampu. Sedangkan sedekah sifatnya sunnah dan sangat dianjurkan oleh siapa saja
baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Begitu
besarnya keutamaan sedekah sampai dalam Alquran diabadikan kisah mereka yang
menyesal semasa hidupnya tidak mau mengeluarkan sedekah. Sehingga mereka
berharap jika diberi kesempatan untuk hidup kembali, senantiasa akan rajin
bersedekah.
Allah
berfirman: “Dan belanjakanlah sebagian
dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat
bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (Al-Munafiqun:10)
Merpati Tak Bertelur Sebesar Burung Unta
Banyak
orang yang masih berpikir ‘untuk apa saya berbagi? Saya sendiri belum selesai
dengan urusan pribadi. Saya sendiri juga masih butuh’.
Ungkapan
seperti itu kurang tepat dan kurang bijak, karena sebenarnya kita bisa berbagi
dan memberdayakan diri sendiri dengan apa saja yang kita punya. Idealnya memang
berbagi dengan materi agar secara nyata bisa memberi manfaat yang lebih luas. Namun,
di luar itu mereka juga butuh uluran tangan berupa tenaga, pikiran, ilmu,
bahkan senyum dan cara kita yang santun saat bertemu.
Belum
bisa menjadi donatur, kita bisa menjadi duta zakat _seperti yang rutin saya lakukan
tiap bulan Ramadan_, atau bisa menjadi relawan/volunteer untuk kegiatan dan program-program LAZ, menyebarkan informasi
tentang program LAZ di dunia maya, dll.
Setiap
orang bisa berbagi dengan caranya sendiri. Ada salah satu kaidah jika akan
berbagi, tetap utamakan urusan kewajiban, seperti nafkah untuk keluarga.
Seperti
halnya saat rasulullah menerima donasi dari para sahabat terutama menjelang
keberangkatan perang, beliau selalu menanyakan apa yang ditinggalkan sahabat
tersebut untuk keluarganya.
Berbagi
sesuai dengan kemampuan itu yang utama. Ibaratnya, seekor merpati akan mengeluarkan
telur yang kecil sesuai ukuran tubuhnya. Namun burung Unta juga bertelur besar
sebagaimana tubuhnya yang tinggi besar. Akan berat ketika merpati bertelur
sebagaimana burung Unta, atau burung unta bertelur sebesar telur merpati, menggelikan
ya kedengarannya.
Sedekah Produktif dan Memberdayakan
Konsep
sedekah yang dikelola oleh lembaga amil zakat (LAZ) adalah pemerataan dan
pemberdayaan. Jangkauan LAZ seperti Dompet Dhuafa tentu lebih luas
dibanding jangkauan pribadi, sehingga kemanfaatannya akan lebih luas pula.
Analoginya,
ketika banyak individu menyalurkan bantuannya langsung kepada seseorang, besar
kemungkinan bantuan akan menumpuk di salah satu orang. Sementara ada orang lain
yang lebih membutuhkan namun dia tidak mendapat bantuan. Berbeda ketika dana
dikelola oleh LAZ. Mereka telah memiliki jaringan yang luas dan memiliki data
akurat mengenai calon penerima manfaat, sehingga dana yang tersalurkan akan
lebih merata. Selain itu, LAZ juga telah memiliki program-program pemberdayaan
sebagai wujud penyaluran dana yang terhimpun. Misalnya program pendidikan, ekonomi,
kesehatan, sosial, dll.
Harapannya,
para penerima manfaat (mustahik) tidak selamanya menjadi mustahik, namun akan
naik kelas menjadi muzakki (donatur). Karenanya, banyak program LAZ yang
bersifat pemberdayaan produktif.
Saat
saya masih mengabdi di LAZ daerah, kami pernah memiliki program pemberdayaan
pendidikan. Program tersebut semacam pesantren yatim dan dhuafa, namun hanya
terdiri dari 5 orang karena menyesuaikan dengan dana penghimpunan yang masuk
setiap bulan.
Diantara
5 anak yang dibiayai selama sekolah SMA tersebut, 2 diantaranya berhasil
melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Sementara 3 lainnya memilih
untuk bekerja, karena ada ibu dan adik-adik yang membutuhkan perhatiannya.
Alhamdulillah,
si Anak yang melanjutkan kuliah bisa berprestasi di kampusnya. Kini ia bersama
rekan-rekannya membentuk komunitas yang menghimpun dana dari donatur untuk disalurkan
kepada yang berhak.
Inilah
contoh kecil mustahik yang kemudian menjadi muzakki, meskipun levelnya masih
belum benar-benar menjadi muzakki (masih seperti amil zakat), sangat mungkin
jika kelak ia pun menjadi seorang muzakki. Aamiin.
Tips Ringan Berbagi
Masih
terasa berat untuk berbagi? Mari kita coba terapkan beberapa cara mudah dan
ringan untuk memulai rutin bersedekah.
1.
Keluarkan secara rutin sebagian pendapatan yang diterima. Prioritaskan untuk
zakat (bagi yang sudah wajib zakat) dan atau sedekah.
2.
Sedekah setiap hari melalui tabung sedekah yang disediakan oleh LAZ, setorkan
secara rutin tiap bulan.
Sedekah
setiap hari seperti ini akan terasa ringan, tak harus ditentukan besarannya
setiap hari, namun belajar untuk konsisten mengisi tabung. Untuk memberikan
semangat, pasang hadits ini besar-besar di dekat tempat menyimpan tabung
sedekah.
“Ketika hamba berada di setiap pagi,
ada dua malaikat yang turun dan berdoa, “Ya Allah berikanlah ganti pada yang
gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).” Malaikat yang lain
berdoa, “Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi
nafkah).” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)
3.
Bersedekah setiap hari Jumat.
Hari
Jumat adalah hari raya umat islam. Salah satu satu ibadah yang dianjurkan
adalah berdoa. Bersedekah lalu mengiringinya dengan doa insyaAllah akan lebih
baik.
4.
Bersedekah dengan tenaga, pikiran/ide, ilmu, dan bahkan senyuman
Hal
ini juga pernah saya lakukan saat menjadi relawan di LAZ. Meski tenaga dan
pikiran terkuras terutama ketika mengadakan kegiatan penyaluran/pemberdayaan,
tapi melihat wajah bahagia dan senyum sumringah anak-anak yatim/dhuafa membuat
saya tertular bahagia. Trenyuh dan sangat mengesankan, juga membuat saya
menjadi lebih mudah bersyukur dengan apapun nikmat yang Allah berikan.
Semoga
dengan memulai dari yang kecil dan telah menjadi kebiasaan, saat dalam kondisi
lapang kita tidak lagi mencari banyak alasan untuk menunda berbagi kepada
mereka yang membutuhkan. Terlebih berbagai kemudahan dari LAZ sangat membantu
donatur. Misalnya sedekah dengan aplikasi, autodebet
setiap turun gaji, via transfer bank, layanan jemput zakat, dll. Jika kesulitan
menghitung jumlah zakat, tim LAZ pun akan dengan senang hati membantu menghitungnya.
Di web Dompet Dhuafa bahkan telah tersedia kalkulator zakat sejak beberapa
tahun terakhir sehingga donatur bisa menghitung sendiri total zakat yang harus
dikeluarkan.
Jangan
takut berbagi, dan tak perlu menunggu nanti. Karena sejatinya dengan berbagi,
harta menjadi suci. Dengan berbagi, harta menjadi lebih berkah dan bermanfaat
untuk mereka yang membutuhkan. Jangan takut berbagi, karena itu adalah
investasi ‘masa depan’ yang sesungguhnya. Berbagi tak akan membuat rugi, karena
‘kalkulator Allah’ lebih canggih dan rinci.
Semoga
bermanfaat,
Salam,
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi
yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Cuma ya itu, memang sulit bangettt meyakinkan hati bahwa sedekah enggak akan merugikan kita, termasuk saya sendiri yang masih sering urung sedekah karena takut ini dan itu. Astagfirullah.
Semoga sukses Rin...
Aku juga berusaha melakukannya, meski sedikit insyaAllah saya bahagia melakukannya
Emang, ketika kita bersyukur, semesta pun memberi jalan untuk hidup.
Emang gampang diucap, dan harus terus dilatih sepanjang hidup untuk terus bersyukur, & pastinya berbagi.
Masyaa Allah
Semoga bisa menjadi hamba yang senantiasa ikhlas berbagi, istiqomah bersedekah, dan selalu bersyukur. Aamiin