Kenangan Ramadhan saat Masa Kecil di Kampung
Daftar Isi
Kenangan Ramadhan saat Masa Kecil di Kampung
Kaki-kaki kecil itu berjalan beriringan. Udara pagi selepas salat subuh
masih menggigit, namun tak dihiraukan. Mereka berjalan masih dengan mukena
menempel di badan. Ya, begitu salam salat subuh, mereka bergegas. Tak takut
dengan gelap dan cahaya yang minim sepanjang jalan.
Tujuan mereka adalah sebuah kolam sumber air hangat, sekitar 500 meter
dari masjid. Suara kodok dan jangkrik masih bersahutan saat melewati
persawahan. Bintang-bintang di langit pun masih menampakkan diri sebelum
tersapu mega.
Mereka akan menghabiskan pagi dengan bermain di sekitar kolam air panas,
sampai suasana jalanan ramai. Setelah puas bermain mereka akan pulang ke rumah
masing-masing sebelum kembali bermain bersama teman-teman.
Anak-anak, memang paling betah melek. Hampir tak ada waktu untuk tidur
siang, karena asyik bermain. Namun bagi mereka cara itulah yang efektif untuk
mengalihkan perhatian dari rasa lapar dan haus.
Menjelang ashar, mereka akan kembali berjalan cukup jauh. Ke sawah, ke
sungai, atau ke manapun yang jaraknya kurang lebih 500 m dari kampung. “Nanti
tahu-tahu sudah sore,” begitu alasannya.
Paling menyenangkan saat bermain di pinggir sungai. Sebagian berani
berenang, sebagian yang lain hanya duduk di batu sambil mencelupkan kakinya dan
sesekali memainkan air. Khas anak-anak yang tinggal tak jauh dari aliran sungai
serayu. Benar saja, begitu mereka kembali ke rumah, adzan ashar telah
berkumandang di masjid. Saatnya mereka mandi lalu bersiap menuju masjid untuk
mengikuti semaan Alquran.
Namanya anak-anak, kesempatan untuk datang ramai-ramai di semaan Alquran
itu juga dijadikan ajang pamer bekal untuk buka puasa. Ya, di masjid sudah
disediakan menu berbuka puasa ala kadarnya sumbangan dari masyarakat sekitar
masjid. Namun bagi anak-anak, hampir setiap hari mendapat opak singkong goreng dan
segelas teh tawar panas tentu sangat membosankan. Tapi mereka tak banyak cakap,
ketika dibagi opak singkong pasti menerima dan dibawa pulang. Jangan heran jika
di rumah menumpuk berplastik-plastik opak singkong yang dibawa pulang dari
masjid.
Saat itu, masyarakat di sana menyediakan makanan berbuka yang hampir sama
setiap hari. Jika satu orang membawa opak singkong, hari-hari berikutnya pun
akan banyak opak singkong yang datang. jika musim kerupuk, maka akan menumpuk
kerupuk. Begitu juga dengan snack lain, bahkan pernah sampai biskuit dijadikan
mainan saking bosannya dengan biskuit yang keras itu. Semoga sekarang tak lagi
terjadi hal yang sama. Aamiin.
Ketika adzan isya berkumandang, anak-anak kembali berlarian menuju
masjid, mengejar waktu adzan dan iqamat yang sangat singkat. Sejurus kemudian
mereka mengikuti salat tarawih 23 rakaat dengan kecepatan layaknya kilat ekspress.
Bukan salat tarawih yang dinantikan anak-anak, melainkan keseruan
melantunkan syair ‘wujudan’; Sifat Allah dan Rasulullah dalam Bahasa Jawa dan
dilantunkan dengan nada yang menarik. Iringan bunyi bedug membuat kantuk mereka
sedikit sirna. Setelah wujudan, mereka pun pura-pura menikmati kultum untuk
kemudian memburu Imam salat dan pembawa kultum untuk meminta tanda tangan di
buku Ramadhan. Tentu, masih ada lagi keseruannya, yakni saat pembagian makanan
dan sedikit berebut.
Ah, masa Ramadhan yang tak akan pernah terulang, karena kini setiap hal
pasti telah berubah. Semoga anak-anak sekarang juga selalu mengingat setiap
momen berharga selama Ramadhan yang telah mereka lewati. Aamiin..
Semoga bermanfaat,
Salam,
Posting Komentar
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam