Idulfitri di Rantau
Daftar Isi
Pertama Kali Idulfitri di Pulau Dewata
Assalamu’alaikum,
Lebaran telah usai, ya Temans! yang kemarin juga merayakan bada kupat
alias perayaan hari ke-7 idulfitri dengan makan ketupat (lagi) pasti seru
sekali. kini saatnya kembali ke rutinitas. Beruntung, si Kakak masih libur
sekolah sehingga saya masih bisa bersantai dengan ngopi-ngopi di pagi hari. Ingin
jalan cukup jauh bersama anak-anak tapi cuaca kurang mendukung, akhirnya hanya
ngendon di rumah ketika si Ayah libur.
Well, idulfitri tahun ini
adalah idulfitri pertama kali yang saya alami di tanah rantau, di Pulau Dewata.
Tahun kemarin kami telah tinggal di Denpasar, namun menyempatkan diri pulang ke
Jawa (ke Semarang dan Wonosobo) saat Ramadhan karena dua adik kandung akan
menikah di bulan syawal. Jadilah saya bersama anak-anak lebaran di Semarang,
suami sendirian di Denpasar.
“Nggak mudik, Bund?”
“Kapan mudik, Arin?”
Pertanyaan ini berkali-kali ‘mampir’, namun hanya saya jawab dengan
senyuman dan candaan kalau saya mudik menunggu harga tiket pesawat turun dan jadwal
cuti suami di-acc atasannya.
Sebelum melewati hari H, saya sempat khawatir karena ini pertama kalinya
kami idulfitri di rantau, jauh dari sanak saudara.
H-4, satu-persatu tetangga mulai mudik ke kampung halaman, suasana mulai
sepi dan Hasna mulai 'kehabisan' teman main. H-2 lebih parah lagi, hanya
tersisa 2 keluarga yang masih terlihat beraktivitas.
"Rasanya tuh trenyuh banget... Sepii... apalagi pas pulang dari
salat 'ied," kata suami.
Saya mencandainya kalau beliau curhat, tahun kemarin lebaran sendirian di
Bali, ditinggal anak-istri mudik ke Semarang & Wonosobo.
Hari H, lingkungan sekitar lebih sepi dari suasana saat Nyepi. Namun
begitu mendekati tempat shalat 'ied, suasananya sangat berbeda. Ramai warga berbondong-bondong
menuju tempat shalat bersama keluarga. Sebagian lagi telah memadati shaf-shaf
shalat. Saya pikir sudah kehabisan tempat. Alhamdulillah, akhirnya dapat shaf
juga setelah melipir sampai ujung.
Pulang dari shalat 'ied, baru terasa kalau biasa saja. I mean, tentu kangen dan ingin lebaran bersama orangtua dan
keluarga di Jawa, tapi rasanya jauh lebih 'menyedihkan' BAGI SAYA ketika harus
lebaran di Jawa sementara suami di Bali.
"Bapaknya nggak ikut pulang? Yaudah sabar dulu, namanya pengorbanan
harus begitu."
Ini kalimat yang sangat biasa dan wajar sekali ditanyakan. Mungkin saya
pun akan bertanya begitu ketika ada saudara saya yang lebaran di kampung tanpa
suami/istrinya.
Tapi, berhubung ditanyakan berkali-kali, lama-lama jadi baper juga. Iyes, nggak ada masalah dengan pertanyaannya, saya-nya aja yang baper waktu itu.
Baper trus jadi pengen nangis saat ada yang tanya lagi, apalagi sewaktu
si-Kakak bilang "Ayah mana ko belum sampai sini juga?".
Melihat keluarga yang lain berkumpul sementara saya hanya bersama
anak-anak, jauh lebih bikin baper dibanding pertanyaan "Nggak mudik,
Mbak?" (( kalau pertanyaan ini nggak bikin saya baper, Malah jadi bahan becandaan )).
Alhamdulillah, lebaran di Denpasar tak seperti yang kubayangkan. Setelah videocall dengan keluarga di Jawa
langsung silaturrahmi ke kenalan di sini. Senangnya.. Berasa punya keluarga
baru 😍 alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
Muter 'ngukur jalan' dari Monang Maning-Padang Sambian- Pemogan - Ungasan
dan kembali lagi ke Monman pukul 22.15. senang rasanya bisa bertemu teman-teman
dan tetangga yang masih saudara jauh dan beliau telah lebih dulu merantau di
Bali.
PERTAMA KALINYA MENYIAPKAN MENU IDULFITRI
SENDIRI
Idulfitri tahun-tahun sebelumnya, saya hanya tahu beres seputar menu
makanan hari raya. Paling banter hanya bentu-bantu ibu mertua atau mamak di
Wonosobo menyiapkan bumbu untuk masak ayam atau daging sapi.
Kali ini, saya memaksa diri sendiri untuk bersibuk ria menjelang
idulfitri. Niat awalnya hanya akan masak opor ayam atau gulai daging sapi. Pertengahan
Ramadhan saya sudah menyiapkan bumbu dasar homemade hasil berburu di instagram,
karena bumbu langganan tidak produksi selama Ramadhan.
“Aku mau masak sendiri, tapi hasilnya seperti apapun harus dimakan,” saya
mengultimatum suami sebelum memutuskan untuk masak. Sebenarnya bisa pesan, tapi
harganya masih jauh lebih murah jika masak sendiri.
Akhirnya H-3 kami berburu ayam merah di pasar, karena si Bapak penjual
daging tidak sedia ayam kampung. Lumayanlah, tekstur ayam merah mirip dengan
ayam kampung tapi harganya lebih miring, 65rb/ekor ukuran sedang. Oia, penjual daging
ini terkenal menjual daging halal, jadi setiap hari selalu banyak pembeli. Jangan
tanya ketika menjelang idulfitri, pukul 8 pagi saya ke pasar hanya tersisa ayam
potong bagian sayap. Sedangkan untuk membeli ayam merah, harus pesan minimal
sehari sebelumnya. Saya memilih memesan untuk H-2, berjaga-jaga jika puasa kali
ini hanya 29 hari. Setelah itu berburu selongsong ketupat dan kentang untuk
dimasak sambal goreng kentang-hati sapi.
Berhubung pertama kalinya saya masak ketupat sendiri, saya pun mencari
info cara masak yang benar dan bertanya kepada mereka yang sudah berpengalaman.
Alhamdulillah, hasilnya tak mengecewakan setelah kurang lebih 3 jam memasak
ketupat yang hanya 10 biji ukuran sedang. Si Kakak yang biasanya tidak mau
makan ketupat, kali ini lahap makan.
Amazing sekali lebaran kali
ini. dan yang pasti, kemungkinan masih akan seperti ini hingga tahun-tahun ke
depan, entah berapa tahun lagi jika suami masih kerja di tempat yang sama. Pokoke kudu nikmati bae lah apa anane.
Nastar berjamur |
NASIB SE-STOPLES NASTAR
Ada cerita yang cukup bikin geregetan di idulfitri kali ini, tentang di
fenomenal nastar. Kue kering, terutama nastar selalu identik dengan hari raya
idulfitri. Namun saya lebih memilih kaastengels dan sagu keju dibanding kue
manis isi selai nanas itu.
Sepertinya sejak dua tahun terakhir saya baru mulai tertarik mencicipi
nastar di hampir setiap rumah yang saya datangi. Selalu penasaran dengan rasa
dan tingkat empuk-lumernya.
Tahun ini, berhubung lebaran di rantau dan sekeliling hampir semuanya
mudik, saya santai seperti di pantai.
Ketika tahu seorang teman open
order nastar yang terlihat menggoda, saya tergiur memesan. Namun si Ayah
melarang berdalih tidak akan ada tamu yang datang. Baiklah, saya pun tak jadi
memesan, apalagi cukup jauh tempatnya.
Selang beberapa hari, seorang kenalan bilang akan datang saat lebaran.
Sayang teman yang jual nastar sudah tutup untuk persiapan mudik. Saya pun
mencoba mencari alternatif lain. Kebetulan ada kenalan yang menjual kue kering.
Takut kehabisan, saya pun segera memesan satu stoples nastar dan sagu keju.
Begitu kue datang, saya sedikit kecewa dengan bentuknya. Ukurannya
besar-besar dan kurang menarik. Ah
biarlah, semoga rasanya enak. Kue pun saya simpan, menunggu hari H untuk
dibuka.
Hari H saya sibuk keliling sehingga kue hanya tergeletak di meja.
Hari ke-2 barulah si Kakak heboh minta sagu keju, akhirnya saya buka
satu-persatu.
Saat membuka stoples nastar, saya membayangkan manis lumernya ketika
sebutir nastar masuk mulut. Katanya 3 butir nastar setara dengan sepiring nasi.
Biarlah, setahun sekali ini, gumam saya.
Sebutir nastar langsung mendarat di mulut setelah membaca basmallah
dengan kilat. Belum lagi lidah dan otak bekerja menganalisa kelezatan si
Nastar, saya mendapati kabut putih di stoples.
"What?! Jamur?!"
teriakku sekonyong-konyong memuntahkan nastar yang belum terkunyah di mulut.
Bayangan lezatnya nastar sirna begitu saja karena si jamur yang semena-mena
tumbuh menyelimutinya.
"Yah, nastarnya berjamur. Hiks.
Sayang deh uang beberapa puluh ribu yang dipakai buat beli," aduku pada
suami yang juga tengah menunggu stoples kue dibuka.
"Yasudah mau gimana lagi? Memangnya mau risiko keracunan?"
Saya pun manyun sambil membuang seluruh isi stoples itu.
"Terus, kamu mau laporan sama penjualnya?" wajah suami terlihat
sedikit khawatir.
"Mau!"
"Dipikir-pikir dulu lah.. " sarannya.
"Iya, aku mau nyampein kalau nastarnya berjamur, tapi nggak
sekarang. Besok-besok aja kalau sudah lewat momen lebarannya. Biar sama-sama
enak. Nggak mungkin juga aku minta ganti rugi, dia juga reseller aja, nggak
bikin sendiri. Mungkin juga produsennya dikejar pesanan jadi bikin nastarnya
gede-gede dan kurang matang."
Fyuuh.. Batal deh ngemil nastar
sambil efbi-an. Baiklah, mungkin ini
caranya supaya saya tidak kalap menghabiskan nastar itu dan membuat perut makin
membuncit dikira hamil sekian bulan.
Tapi... Masih ada satu stoples sagu keju yang tandas kurang dari sehari. Hm....
IDULFITRI DI RANTAU ITU....
Idulfitri di rantau itu, rasanya manis-asem-pedes, hehe. melihat
foto-foto bersama keluarga para saudara dan teman yang mudik rasanya hati maknyes, muncul sedikit rasa iri karena
tidak bisa membarengi mereka di kampung halaman. Sedih juga, jauh dari orangtua
dan sanak saudara, padahal tidak lagi bisa pulang sebulan sekali seperti saat
masih di Semarang.
Di balik segala kesedihan itu, tersimpan pelajaran berharga dan luar
biasa untuk kami. Setidaknya, kini kami merasakan bagaimana menjadi perantau
yang tak bisa mudik di saat orang lain mudik. Merasakan begitu berharga dan
mahal waktu untuk bersama keluarga tercinta. Selain itu, mendapat teman dan ‘keluarga’
baru yang baik, juga merasakan lebih dekat dengan keluarga. Alhamdulillah,
bagian ini yang paling saya suka, bonding
dengan suami dan anak yang makin erat. masyaAllah tabarakallah...
Kamu lebaran di mana, Temans? di manapun, mari bersama berdoa semoga
dipertemukan lagi dengan Ramadhan dan kita dalam kondisi yang jauh lebih baik. Aamiin...
Semoga bermanfaat,
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam