Mengenal Budaya Bali dalam 5 Jam di Kampung Langit The Keranjang Bali
Daftar Isi
Mengenal Budaya Bali dalam 5 Jam
di Kampung Langit The Keranjang Bali
Credit: Fotografer Kampung Langit |
Saat kecil dulu, saya selalu terkagum-kagum melihat keindahan ragam
busana dan rumah adat seluruh Nusantara. Seingat saya, dulu kami bisa melihat
gambar busana dan rumah adat lewat buku pelajaran sekolah dan kartu-kartu
hadiah dari jajanan. Busana adat Bali dan Sumatera Barat (Minang) selalu
menjadi favorit saya setiap bermain kartu bersama teman. Kagum dengan baju adat
Bali dan Minang yang mewah dan berwarna serta unik. Kekaguman ini juga lantaran
jika melihat penari Bali yang melenggak-lenggok dan matanya menyerupai burung.
Tuhan memang selalu memiliki cara ajaib untuk mengaitkan masa lalu dengan
sekarang. Lebih dari 20 tahun berlalu setelah masa SD itu, saya tinggal di Bali
dan berhasil mencoba salah satu busana adat Bali yang dipakai dalam tari, tari
Jangek namanya. Well, itu bukan baju
yang saya impikan saat kecil, tapi tetap saja saya amazed dengan cara Allah untuk hal kecil seperti ini. MasyaAllah
walhamdulillah....
Di mana saya mencoba kostum tari itu bersama anak saya? Jawabannya di
Kampung Langit The Keranjang Bali.
The Keranjang terlihat dari Jalan Sunset Road |
The Keranjang terlihat dari Jalan Raya Kuta |
The Keranjang Bali, tempat Oleh-oleh Bali yang Instagramable
Setiap orang yang melakukan perjalanan wisata ke suatu tempat, pasti tak
akan melewatkan waktu untuk belanja oleh-oleh, meski hanya sedikit. Toko
oleh-oleh menjamur baik yang skala kecil maupun besar yang biasanya menampung
rombongan wisata dari luar daerah/mancanegara.
The Keranjang, salah satu pusat oleh-oleh yang baru dibuka sejak Juni
2019. Mengusung konsep Bali dalam dalam satu keranjang, dengan desain kekinian.
Konsep ini terlihat dari arsitektur bangunan hingga interior yang instagramable. Bangunan The Keranjang
Bali berupa ‘keranjang raksasa’. Arsitektur bangunan yang sangat unik, seolah
sebuah keranjang anyaman raksasa diletakkan di lahan yang luas. Awalnya saya
pikir hanya bagian depan saja yang dibuat semirip mungkin dengan keranjang,
sesuai namanya. Namun saat hendak pulang saya melewati pintu yang berbeda, rupanya
The Keranjang memiliki 2 akses keluar/masuk yang berada di 2 ruas jalan yang
berbeda. Satu sisi dengan parkiran yang lebih luas berada di Jalan Sunset Road (saya masuk lewat
jalan ini), sedangkan sisi lainnya berada di Jalan Raya Kuta (tempat saya keluar). Unik sekali, bukan?
Desain interior The Keranjang tak kalah menarik. Berbagai barang
dikelompokkan sesuai kategorinya dan setiap sudutnya bertema tertentu. Misalnya
ada pojok Pie yang gondolanya dibuat seperti tier pie raksasa, ada juga kaleng kerupuk raksasa di lorong yang
berisi aneka kerupuk, dll. Manekin dan ornamen lainnya tak kalah menarik, dan
sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa mengabadikannya.
Saya sedikit kecewa belum eksplor lebih jauh lantai 1 dan 2 The Keranjang
karena anak-anak sudah kecapekan. Semoga lain kali bisa ke sana lagi dan borong
oleh-oleh. Atau mungkin saya buka usaha jasa titip ya? Hmmm...
Kampung Langit, The First Cultural Sky Park in Bali
Oh ya, awalnya saya mendengar
nama ‘The Keranjang Bali’ saat mendapat broadcast
di WAG berupa undangan untuk megibung
(makan bersama/bancakan) dalam rangka opening-nya.
Berhubung masih Ramadhan, acaranya berlangsung malam hari. Saya pun urung
bergabung meski ingin sekali karena belum pernah merasakan langsung tradisi
megibung.
Lalu saat perjalanan mudik dari rumah indekos menuju bandara, sopir taksi
daring memberi tahu jika The Keranjang itu kepunyaan artis, dan saya hanya
menanggapi sambil lalu. Cukup tahu saja, kapan-kapan mungkin bisa ke sana untuk
beli oleh-oleh, batin saya. Belakangan saya tahu dari berita jika tempat itu
kepunyaan Melly Goeslaw dan suaminya Anto Hoed.
Setelah disibukkan dengan mudik dan urusan sekolah si Kakak, saya tak
pernah lagi merasa ingin tahu dengan The Keranjang. Sampai suatu hari saya
menonton IGTV Pak Saptuari Sugiharto, salah satu tokoh yang saya kagumi. Saat
itu Pak Saptu sedang berkunjung ke Cirebon, ke Batik Trusmi. Jadilah saya pun
kepo (lagi) akun Bu Sally Giovanny. Di sana saya menemukan fakta (halah) bahwa
Bu Sally dan suaminya, Pak Ibnu termasuk owner
The Keranjang Bali, bersama dengan Pak Ary Ginanjar Sebastian, tokoh penggagas
ESQ.
MasyaAllah... saya pun berselancar mencari tahu tentang The Keranjang
Bali, lalu menemukan jika di tempat yang sama juga terdapat wisata budaya yang
komplit bertajuk Kampung Langit, First
Cultural Sky Park in Bali. Namanya unik sekali bukan, tak ubahnya nama The
Keranjang yang berkonsep Bali dalam satu keranjang.
Menurut info di website-nya,
Kampung langit adalah tempat wisata yang menyajikan fragmen kehidupan
masyarakat Bali yang teguh menjaga tradisi. Masuk dalam kategori wisata theme park yang memadukan edukasi,
budaya, teknologi dan hiburan dalam nuansa kontemporer. Interiornya kental
dengan arsitektur tradisional khas Bali serta dilengkapi dengan spot foto yang instagramable. Menjawab sekali kebutuhan keluarga millenials yang butuh piknik dan ‘ngasih
makan’ sosmed *eh.
Mujur, sedang ada promo diskon tiket masuk sebesar 50% untuk pembelian
sampai akhir Agustus untuk waktu booking sampai Desember 2019. Buru-buru saya
cek jadwal libur suami, dan pas sekali ada libur saat weekend, tepat tanggal 1 September hari Ahad. Setelah rapat dadakan
dan tanya ini-itu via DM instagram @kampunglangit, fix saya beli tiket untuk 3 orang dewasa @87.500 (harga setelah
diskon 50%). Si Kakak sudah masuk tiket dewasa, sedangkan adiknya masih free. Harga tiket usia 2-4 tahun
@35ribu.
Sebelumnya saya juga sudah cek di beberapa penyedia layanan pembelian
tiket online, namun sepertinya Kampung Langit belum bekerjasama dengan mereka
sehingga saya tak menemukan perbandingan harga selain membeli lewat website
atau on the spot.
Masalah baru muncul saat mau membeli via web The Keranjang Bali, hanya
ada 2 pilihan waktu kunjungan 5 jam, pukul 10.00 – 15.00 dan 15.00 – 20.00 Saya
DM lagi, dan dapat info kalau beli untuk jam 15-20 tapi bisa datang lebih awal.
Baiklah, setidaknya bisa datang ke sana pukul 13.00 karena kebetulan hari itu off pertama dan suami saya baru pulang
kerja pukul 7 pagi. Kalau milih datang
pukul 10 pagi, kasihan beliau belum istirahat.
Hari H, niatnya berangkat setelah shalat dhuhur, malah jadi ini-itu nggak
selesai-selesai. Belum lagi perjalanan Denpasar Barat – Kuta (pakai muter
panjang lewat By Pass Ngurah Rai dulu), plus anak-anak yang heboh kalau ayahnya
melaju dengan kecepatan tinggi. Mau tak mau harus seloww.. yah, lebih aman juga sih karena 1 motor Beat diisi 4
penumpang :P (( aman gimana... model begini kan sebenarnya kurang aman
*tutupmuka*)).
Menjelajah Kampung Langit Bali, dari Pijat Refleksi hingga Kostum Tari
Sampai di loket tiket Kampung Langit pukul 15.05, saya langsung klaim
tiket yang sudah dikirimkan via email. Tak lupa saya tanya-tanya seputar ‘boleh
nggak keluar/masuk untuk shalat’ (karena akan menuju 2 waktu shalat berdekatan),
dll. Petugasnya ramah banget melayani saya yang cerewet tanya ini-itu termasuk tanya
apa ada mushalah di dalam. Mushalanya ada di basement ya, di sana juga tempat untuk parkir motor.
Setelah urusan tiket beres, kami diberi kain motif endek_kain motif khas
Bali (kalau tidak salah namanya kamben/kampuh) yang biasa dipakai saat kita
akan berwisata di wisata tradisional Bali atau di wisata lainnya juga, seperti
di Borobudur. Jangan lupa ya, kalau ke sana dilarang membawa makanan/minuman
kecuali air mineral. Kalau lapar, ada resto di lantai 1 yang bisa didatangi.
Setelah urusan tiket selesai, kami pun diarahkan memasuki lorong kampung
langit bernawa lorong awan yang kece banget deh, berasa lagi lewat langit
beneran. Sebenarnya di sepanjang dinding lorong ini terdapat mural-mural yang
bisa kita jadikan background foto.
Sayangnya anak-anak sudah sangat antusias dan lari-larian menuju lift, saya pun pasrah tak bisa mengambil
foto di sana, hanya sekilas sambil mengabadikan video mereka.
Lorong Sloka, seperti Melewati Lorong Waktu
Sampai di pintu lift lantai 3,
kami disambut oleh seorang pemandu wisata yang mengarahkan kami melewati Lorong
Sloka. Lorong Sloka adalah labirin dari perkamen yang berisi ajaran kebajikan
tradisi masyarakat Bali. Ajaran kebajikan tersebut tertulis dalam 3 bahasa
yakni Bahasa Indonesia, sankskerta, dan Inggris. Saat melewati labirin ini,
kita akan diiringi dengan suara musik tradisional Bali. Suasananya jadi syahdu
banget, berasa melewati lorong waktu menuju masa lalu. Soalnya perkamen-nya
seperti benar-benar asli, ruangan gelap diterangi lampu kuning temaram,
ditambah lagu dan pengiringnya gamelan Bali.
Keluar dari lorong Sloka, kita akan memasuki bale-bale (rumah/balai-balai). Kami pun langsung diarahkan menuju Taman
Jatu Raga untuk belajar pijat refleksi. Ternyata sejak dulu masyarakat Bali
telah mengenal pijat refleksi seperti yang kita kenal saat ini. Seorang pemandu
menjelaskan seputar pijat refleksi sederhana lewat telapak tangan dan kaki. Di
sudut bale ini, ada replika perahu layar yang bisa kita jadikan tempat berfoto.
Megibung di Bale Jaen
Selanjutnya kami menuju Bale Jaen
(Jaen, Bahasa Bali = nikmat/lezat).
Di sini, kadang diadakan acara megibung (makan bersama dengan alas daun pisang/bancakan) skala kecil. Ibarat rumah di
Bali, tempat ini adalah dapur. Ada tempat penyimpanan bahan makanan dan tungku
api yang menghadap ke selatan. Menurut kepercayaan orang Hindu Bali, tungku api
harus selalu menghadap ke selatan karena arah selatan dijaga dewa Brahma, dewa
api.
Di Bale Jaen, anak-anak bisa bebas bermain masak-masakan dan mengenal
bumbu-bumbu. Ada bawang putih, lengkuas, kunyit, jahe, dan sereh yang terbuat
dari gips dan persis menyerupai bentuk aslinya. Ada juga replika sate lilit ukuran besar, lucu banget!
Di sini saya baru tahu jika leluhur
Bali mengenal bumbu base genep,
yakni membuat bumbu tanpa ukuran timbangan melainkan dengan ruas jari. Jari
telunjuk untuk kunyit, jari tengah untuk lengkuas, jari manis untuk jahe, dan
kelingking untuk kencur.
Ada juga pojok jajanan pasar, tapi saya malah terlewat tidak mencicipi
aneka jajanan (jaje) Bali. Jajanan yang tersedia di sana kerjasama dengan salah
satu UKM, dijual dengan harga mulai 7 ribu.
Mengenal Padi dan Beras di Sawah Gadang Purnama
Di seberang Bale Jaen ada Sawah
Gadang Purnama. Di sini juga tempat diadakan pertunjukan Rice
Wills Rock You dan Brang Breng Brong. Terdapat mural
hamparan sawah seperti persawahan di Ubud. Di depannya ada 2 lesung yang berisi gabah sehingga kita
bisa mencoba memecahkan kulit gabah/padi sehingga berasnya terpisah, nyosoh, istilah Bahasa Jawa-nya. Menggunakan
lesung sekaligus mengeluarkan bunyi-bunyian, akan terasa kental sekali nuansa
pedesaannya.
Membuat Jamu di Paon Loloh
Loloh (jamu) dikenal juga di masyarakat tradisional Bali seperti halnya
di Jawa. Di Paon Loloh kita bisa melihat dan ikut belajar membuat jamu
sederhana seperti jamu kunyit asam dan beras kencur. Asyik loh, bisa ikut
menumbuk bahan jamu seperti kunyit/kencur dan beras. Setelah jamu siap, kita
bisa langsung menikmatinya dalam cangkir-cangkir yang terbuat dari batok
kelapa. Hm... nikmat dan menyehatkan.
Mengenang Masa Kecil di Pasar Demen
Bale Pasar Demen, tempat aneka macam permainan tradisional yang sekarang
sudah mulai tergerus kemajuan zaman. Dakon, bakiak, perahu otok-otok, celengan
ayam, klothokan, kuda lumping, egrang, ayunan, kuda-kudaan, dll bisa kita coba
di sini. Aih, saya seperti kembali ke
masa kecil saat tiap hari berkutat dengan permainan tradisional bersama
teman-teman.
Anak-anak sangat senang berada di sini, menjajal aneka permaian yang
jarang mereka dapatkan. Sayang, waktu itu perahu otok-otoknya sedang rusak
sehingga tidak ada di arena balapan perahu otok-otok. Semoga segera diperbaiki,
ya! Biar anak-anak lain bisa menikmati serunya main perahu dengan bunyi khas-nya
itu.
Sekilas tentang Topeng dan Pewayangan Bali
Seperti halnya di Jawa, di Bali juga ada seni wayang kulit. Di Bale Gua
Babad Jatma ini, kita bisa mengenal tokoh pewayangan dan karakter topeng berikut
penjelasannya. Topeng-topeng tersebut dipasang di dinding dengan artistik. Bagian
wayang ini juga ditata persis seperti pertunjukan wayang kulit. Namun anak-anak
kurang tertarik, kami pun melanjutkan ke Bale yang lain.
Mencoba Musik Tradisional di Jembatan Antun-antun dan Bale Ceng-ceng
Sepanjang jembatan Antun-antun yang terbuat dari bambu, kita bisa
sekaligus memainkan alat musik bambu (angklung, saya tidak tahu apa namanya di
Bali). Asyik banget deh, sambil jalan bisa sambil membunyikan angklung yang
terpasang di pinggiran jembatan.
Turun dari jembatan antun-antun kita akan bertemu dengan bale Ceng-ceng.
Rupanya, ceng-ceng adalah nama salah satu alat musik tradisional Bali yang
bunyinya ‘creng! Creng!’ nyaring. Terbuat dari Kuningan berbentuk lempengan
dengan pegangan bulat. Supaya lebih penarik, pegangannya dibalut dengan hiasan
terbuat dari benang wol.
Selain ceng-ceng, ada juga ricik yang bunyinya ‘icrik-icrik’ berisik,
bentuknya menyerupai kura-kura yang diatasnya ditempel lempengan logam.
Lempengan saling berdempetan inilah yang menimbulkan suara ‘icrik-icrik’ saat
dipukul. Selain itu ada Gangsa, Rindik, Jubleng, Kendang Bali, dan Gong Pulu.
Serangkaian alat musik ini juga digunakan untuk pertunjukan bersama Barong
(seperti di Jawa namanya barongan J).
Pertunjukan Tari Godessa
Seperti yang saya tulis di awal, di jam 13.00 dan 16.00 ada pertunjukan
langsung bertempat di bale atau di Teater Saba. Kali ini kami berkesempatan
melihat pertunjukan Tari Godessa di Teater Saba.
Sebenarnya pertunjukan ini kami lihat setelah keluar dari Bale Jaen, kami
menuju ke area pertunjukan 5 menit sebelum acara dimulai. Sengaja saya ceritakan
berurutan sesuai urutan bale dan arah keluar/masuk yang lebih nyaman.
Lepas dari Bale Ceng-ceng, kita akan memasuki panggung pertunjukan.
Panggung ini memakan tempat paling luas di area kampung langit. Dekorasi paggung
dan langit-langitnya sarat dengan awan buatan, menyiratkan kita tengah berada
di langit.
Tempat duduk pengunjung berupa tangga yang dihias dengan cat warna-warni
seperti pelangi. Akses naik/turun berada di tengah, sedangkan tempat duduknya dilengkapi
dengan busa empuk. Tak lama setelah kami duduk, MC membuka pertunjukan, saya
pun sudah tak sabar untuk melihat penampilan para penari.
Tari Godessa menceritakan tentang seorang Dewi beserta dayang-dayangnya. Pertunjukan
berlangsung singkat namun cukup menarik dan berkesan. Setelah selesai,
pengunjung pun bisa berfoto bersama seluruh penari di panggung.
Kita bisa menebus dan mencetak fotonya ko! Bahkan file yang kita pilih, meskipun tidak semua dicetak, bisa kita copy. Asyik kan? Hasilnya pasti jauh
lebih cetar karena kameranya pro dan man
behind camera yang juga sudah lebih ahli.
Susahnya Membuat Batik Tulis
Di atas panggung pertunjukan, ada Bale Membatik, menenun, dan membuat
gelang Tridatu/sangadatu.
Sebenarnya Bale batik ini yang paling saya inginkan, karena saya belum
pernah mencoba batik tulis. Dulu waktu berkunjung ke Kampung Batik Semarang hanya mencoba Batik Jumputan/tie dye/shibori.
Kotak-kotak persegi dilengkapi 4 kursi kecil di sekelilingnya berderet di
lantai. Di tengah kotak itu terdapat kompor minyak dan wajan ukuran kecil untuk
memanaskan malam yang akan digunakan untuk membuat pola batik. Jangan lupakan
canting sebagai alat untuk mengaplikasikan malam panas ke dalam kain.
Masing-masing kami diberi kain mori yang telah berpola. Tentu, jika kita
memulai belajar membatik dari membuat pola, akan sangat memakan waktu. Supaya lebih
praktis, kain mori telah berpola dan dipasang dalam bidangan sehingga kita bisa
langsung membubuhkan malam.
Saya pikir mengambil malam dengan canting lalu membubuhkannya ke dalam
pola di kain mori itu urusan sepele. Rupanya susah sekali, Temans! lebih susah
dari yang saya bayangkan. Tak mudah menggerakkan canting sesuai pola dengan
ketebalan malam yang sama. Duh, belum
lagi tetesan malam yang meleber ke mana-mana.
Oh ya, akhirnya terjawab sudah
rasa penasaran saya kenapa kalau melihat pembatik seolah meniup cantingnya
setelah mengisinya dengan malam. Rupanya, hal ini guna memastikan ujung canting
tidak tersumbat sehingga aliran malam lancar. Jika alirannya lancar, pola yang
dihasilkan akan lebih rapi dan halus.
Setelah selesai, batik dicelupkan ke dalam larutan untuk fiksasi batik.
Setelahnya, dicuci dengan air kemudian dicelupkan ke dalam larutan pewarna,
kemudian direbus. Perebusan ini dimaksudkan untuk membuang sisa-sisa malam yang
melekat di kain. Terakhir dibilas dengan air dan dianginkan sampai kering.
Proses terakhir ini tidak boleh terkena sinar matahari langsung, ya. Jika kita
menginginkan warna lain, maka proses ini harus diulangi lagi dari awal sampai
mendapatkan warna yang diinginkan.
Di dinding bale batik ini, terdapat mural Alphabatik yang berisi A to Z
pengetahuan tentang batik. Menarik!
Mengenal Alat Tenun Bukan Mesin /ATBM
Tepat di samping Bale batik ada bale tenun, dilengkapi dengan mural alat
tenun bukan mesin beserta penjelasan lengkapnya, sekaligus alat tenunnya. Wow! Selama ini saya hanya pernah
melihat alat tenun di tayangan TV, sekarang akhirnya bisa mengamati secara
langsung. Selain ATBM ada juga alat untuk memintal benang. Untuk alat pintal
benang saya sudah sedikit paham karena dulu mamak saya juga sering menggulung
benang dari kepangan benang menjadi benang yang tergulung di spul (apa ya,
istilahnya, tempat gulungan benang itu). Mamak saya dulu membordir dengan mesin
jahit, dan saat itu belum ada benang bordir yang bisa langsung pakai.
Di sini kita juga bisa mencoba teknik menenun dengan benang wol
menggunakan bidangan bambu kecil. Seru sih, tapi anak-anak sudah tidak berminat
mencoba.
Eits! Tunggu dulu, masih ada
satu lagi yaitu Gelang Tridatu dan
Sangadatu
Sesuai dengan namanya, gelang Tridatu terdiri dari 3 unsur warna,
sedangkan Sangadatu terbuat dari 9 unsur warna. Penjelasannya ada di gambar
ini, ya!
Tridatu dengan 3 unsur warna |
Sangadatu dengan 9 unsur warna |
Orang Hindu Bali biasanya menggunakan gelang ini di tangan kanan setelah
sebelumnya didoakan di pura. Di Kampung Langit, kita hanya sekadar mengenal
tradisi sehingga hanya untuk pengetahuan dan pengalaman saja.
Ada apa lagi?
Masih ada beberapa bale lagi, loh!
banyak banget kan?! Pokoknya kalau datang hanya 2 jam tuh nggak cukup, kecuali
untuk tujuan berfoto di spot fotonya saja.
Ada Bale Karya (mezzanine),
tempat kita bisa menyusun buah-buahan seperti yang biasanya dipikul oleh perempuan
Bali di atas kepalanya.
Mencoba Kostum dan Rias Tari Bali di Sanggar Ayu
Di Pojok Ayu, pengunjung bisa mencoba kostum tari Bali dan riasannya yang
cetar. Saya cukup mencoba kostumnya
saja, bersama si kakak. Seru! ternyata banyak sekali aksesoris yang digunakan,
padahal kata si Mbok yang jaga bale itu kostum yang simpel.
Setelah lengkap mengenakan kostum, kami tak ingin melewatkan berfoto
bersama, sampai akhirnya si Ayah pun memakai kostum tari untuk pria meski hanya
sebagian. Beliau hanya pakai rompi, aksesoris dada dan udeng.
Pengalaman yang sangat berkesan, mengingat dulu saya pernah terobsesi
dengan busana adat Bali. Meskipun bukan yang saya coba kemarin.
Berjibaku dengan Gerabah di Sanggar Kenyem
Di Sanggar Kenyem, kita akan mengenal proses pembuatan gerabah sekaligus
mencoba membuatnya. Alat peraganya lengkap bahkan tersedia tanah liat sebagai
bahan baku pembuatan gerabah. Asyik! Berani main tanah di sini?! Berani dong!
Selain tanah liat dan alat untuk membuat gerabahnya, juga terdapat
replika tungku pembakaran gerabah. Seru kan? Jadi tahu proses dari awal sampai
terbentuk gerabah yang biasa digunakan untuk perlengkapan rumah tangga atau
aksesoris.
Mural yang dibuat di sini pun dibuat semenarik mungkin sehingga kita
seolah tengah berada di tempat pengrajin gerabah.
Anak-anak saya langsung tertarik untuk melukis gerabah, si Kakak memilih
celengan dengan karakter Burung hantu, sedangkan si Adik mengambil karakter
Teletubbies.
Di Bale yang lain saya lihat ada layang-layang dan beberapa peralatan, namun
lagi-lagi anak-anak sudah overload,
terlalu capek untuk eksplor lagi. Padahal biasanya mereka antusias dengan
layang-layang. Ada untungnya juga, saya tak pelu khawatir jika mereka menyobek
kertas layang-layangnya.
Komplet! Benar-benar Bali dalam Satu Keranjang
Alhamdulillah, penjelajahan di Kampung langit kemarin sangat berkesan
buat kami. Sejak pertama masuk melalui lorong awan kami dibuat terkesan dengan
pelayanan dan sambutannya yang hangat. Lalu tiap bale dan penjelasan dari para
pemandunya juga sangat jelas.
Tempat ini baru buka sejak bulan Juni 2019, masih terbilang sangat baru
di Bali. Wajar jika pengunjungnya belum berjubel. Bagi saya, ini malah
keuntungan tersendiri karena tidak berbarengan dengan rombongan tour sehingga bisa lebih leluasa
menjelajah dari satu bale ke bale lainnya.
Tentunya masih ada beberapa kekurangan, tapi bagi saya nilainya sudah
8,5/10. Di sini, dalam waktu kurang dari 5 jam kami bisa lebih banyak mengenal
kebudayaan masyarakat Bali hanya di satu tempat.
Mushalah Luas dan Nyaman
Mushalah terdapat di basement, memiliki
1 pintu utama tetapi tempat wudlu dan pintu masuk laki-laki dan perempuan
berbeda. Toilet dan tempat wudlu-nya cukup bersih. Mushalah-nya pun luas, bisa
menampung lebih dari 100 jamaah (atau mungkin lebih dari 200 ya?) saya tidak
sempat menghitung :P
Tersedia mukena, sarung dan Alquran juga. Tapi baiknya kalau pergi ke
tempat umum sih bawa mukena sendiri, atau seperti saya yang memilih membawa kaos
kaki bersih jika bawaan banyak.
Next Planning: Belanja dan Hunting Foto di The Keranjang Bali
Kami memilih dan mencetak 3 foto dengan menebus sebesar 80 ribu rupiah.
Menurut leaflet yang ada di sana sih,
harga aslinya @40rb/print ukuran 4R, namun ada harga paket 3 foto 80 ribu.
Selain mendapat 3 cetak foto dan frame
kertas seperti di photobooth, kita
juga bisa meminta salinan file-nya. Yeaaay! Akhirnya selesai juga perjalanan
kali ini.
Sebenarnya saya berjanji ke anak-anak untuk belanja di The Keranjang
Bali, yang dari atas terlihat menarik. Namun kami mengejar waktu shalat maghrib
sehingga hanya melewatinya tanpa membeli, bahkan untuk mengambil foto pun tak
sempat.
Bakda shalat maghrib, saya sudah tidak berminat lagi untuk naik,
anak-anak pun sudah merengek minta makan bakso. Baiklah, segera meluncur ke
warung bakso terdekat. Next, harus diagendakan
untuk belanja dan menjajal spot foto
di The Keranjang! Kalau perlu ngevlog juga di sana plus makan dan ngopi di
restonya. Hahaha!
Saran untuk Temans yang akan datang ke Kampung Langit, siapkan memori
gawai yang cukup. Jangan seperti saya kemarin yang niatnya mau bikin video juga
malah kehabisan memori. Jadinya sebagian video di HP saya, sebagian di HP
suami. Video dari HP saya bisa kebuka di HP suami, tapi sebaliknya tidak bisa. Duh.. stres saya mikirin gimana cara
efektif agar bisa ngedit video-video itu. Sayang kalau akhinya ter-delete.
Terima kasih sudah membaca curhat super panjang saya, jika dirasa
berlebihan mohon maaf. Hal ini karena seperti itulah kesan saya terhadap
Kampung Langit, pun suami juga yang memiliki kesan hampir sama. Jika nanti
Temans berkunjung ke sana dan mendapati hal yang berbeda, well, selera orang bisa beda, ya! Berhubung saya sangat menyukai
wisata bernuansa kebudayaan, maka saya merasa sangat puas.
Semoga bermanfaat,
Salam,
The Keranjang Bali
Kampung Langit, The First Cultral Sky Park in Bali (lantai
3 The Keranjang Bali)
Alamat: Jalan Raya Kuta, No.
70-72, Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
IG: @thekeranjangbali @kampunglangit
Jam Operasional: 10.00 – 20.00
WITA
Harga Tiket Masuk:
(Info per 4 september via IG
Story Kampung Langit)
Lokal: 75 K (2 jam) dan 125 K (5
Jam)
Asing: 150 K (2 Jam) dan 175 K
(5 Jam)
Anak-anak usia 2-4 tahun: 35K
0-2 tahun dan di atas 60 tahun:
Free
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Ibarat kata, datang ke satu lokasi, bisa menang banyaaaaaakkkk
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Kalau saya ke sana kayaknya yang pertama kali saya bakalan lakukan adalah, foto-foto depan bangunannya hahahaha
uga Lucu-lucu banget spot fotonya ya, bikin sumringah mamak-mamak narsis kayak saya ini mah :)
Mulai dari kampung langit sampai keranjang nya juga mba.
Dan foto foto yang mba sajikan juga jadi nilai tambah buat aku yang membaca konten mba
Seru yaa belajar budaya Bali di Kampung Langit. Eh harga promo 50% itu berlaku sampai kapan? Mumpung murah, kan yaa
Aku sempet menatap lama pas bbrpa kali lewat the keranjang ini, karena termasuk baru, sebab sepertinya 3 thn blakangan ini bisa diitung ak ke daerah kuta, haha.
Baru ngeh nya pas trakhir lewat, rupanya ada pusat oleh2, tp ak pikir ya kayak Krishna dll.
Ternyata baru tau isi sebenernya pas mba arina posting ini, hehe. Betewe, brati ini t4 wisata ya, bukan sekadar toko oleh2, dan tiket masuke tergolong mayan haha