Geliat Petani Muda Dieng, Harapan Baru Pertanian di Dieng
foto koleksi pribadi |
Pagi masih terlalu muda, udara dingin menusuk hingga tulang sumsum. Namun sosok pemuda itu tak memedulikan segala kondisi yang ada. Ia telah terbiasa beraktivitas semenjak subuh selama belasan tahun. Sigap ia siapkan semua perlengkapan untuk berangkat ke ladang kentang miliknya. Meski harus menempuh jarak jauh dengan sepeda motor, pekerjaan itu ia lakoni dengan dedikasi tinggi. Ya, hidup sebagai seorang petani kentang di pegunungan Dieng menjadikannya sosok pemuda tangguh.
Dialah Hamiin, seorang teman sekolah saya dulu di MAN Kalibeber Wonosobo. Usianya baru 30-an namun ia telah menjadi seorang petani sukses. Dulu, bagi saya dan orang kebanyakan yang bukan orang Dieng, selalu memandang orang Dieng adalah orang kaya raya berkat pertanian kentang yang mereka kelola. Berkah bagi mereka yang tinggal di sana dan memiliki lahan luas.
Meski begitu, para petani kentang tak melulu mendapat untung besar. Nyatanya, modal yang mereka keluarkan pun setara dengan keuntungan yang didapat. “Aku pernah mengalami kerugian ratusan juta, Rin” ujarnya sembari tertawa getir mengingat kenangan pahit itu.
Ia pun harus terus belajar dari alam, karena tanaman kentang butuh perlakuan berbeda di tiap musim. Berbagai kondisi yang dialami menuntutnya untuk terus menggali ilmu budidaya kentang. Hasil yang didapatkan pun sepadan dengan usaha yang telah ia keluarkan.
lahan kentang di Dieng, sumber: findglocal..com |
Perkembangan Pertanian Kentang di Dieng dari Waktu ke Waktu
Kentang (Solanum tuberosum) menjadi komoditas utama pertanian di Dieng dan sekitarnya sejak tahun 1980-an, dibawa oleh petani dari Bandung. Budidaya kentang makin populer dan digemari petani sehingga pada tahun 1990-an hampir semua petani menanam kentang. Sebelumnya, komoditas andalan mereka adalah tanaman tembakau dan jagung. Setelah hasil tembakau tak menjanjikan, mereka berpindah menanam kentang.
Saya teringat saat kecil dulu pergi ke Dieng, takjub melihat ladang kentang yang menghijau dan terbentang sangat luas. Saat itu pertama kalinya saya melihat langsung tanaman kentang karena bapak dan para petani di desaku tidak menanamnya.
Hingga kini, jika kita pergi ke Dieng dan sekitarnya, hamparan ladang sayur menjadi pemandangan sepanjang jalan. Tanaman kentang, sayur kol, saw putih, wortel, dan lain-lain terlihat menghiasi area pertanian.
Kualitas kentang Dieng pamor di berbagai tempat, tetapi sangat disayangkan, karena mengejar hasil yang maksimal para petani kerap tak mengindahkan konservasi lahan pertanian. Berbagai jenis pupuk dan pertisida diberikan melebihi saran dosisnya agar kentang terbebas dari berbagai hama dan mendapatkan hasil panen melimpah.
Hal ini berpengaruh terhadap kualitas tanah yang semakin hari semakin menurun. Kualitas tanah yang menurun akan berpengaruh signifikan pula terhadap hasil panen. Jika saat kualitas tanah masih baik, 1 hektare lahan bisa menghasilkan lebih dari 10 ton, saat ini terkadang hanya 5 – 8 ton/ha.
Tumpang Sari Tanaman Kentang dengan Carica, Sinergi Pariwisata Dieng
Tak hanya Hamiin, banyak teman sekolah saya yang terjun menjadi petani kentang. Salah satunya bernama Nurwati, yang biasa kami sapa dengan panggilan ‘Nur’. Ia mengaku menjadi petani kentang sejak 8 tahun terakhir. Prosefi ini baginya adalah semacam panggilan jiwa. Dulunya ia pernah menjadi guru selepas kuliah. Namun akhirnya ia memilih menjadi petani bersama suaminya.
Ia merasa terpanggil untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya. “Ada lahan, kalau nggak kami olah, akan diapakan? Sementara itu adalah aset kami, sumber penghasilan kami,” ujarnya.
“Kami mencintai pekerjaan ini, meski harus dibarengi dengan ‘kepala jadi kaki, kaki jadi kepala’. Dulu kami harus berangkat ke ladang sebelum anak bangun, harus tega meninggalkan anak bayi dititipkan ke budhe-nya,” lanjutnya sembari tersenyum getir.
Perjuangan Nur dan suaminya membuahkan hasil yang memuaskan. Ya, dari pertanian kentanglah mereka menggantungkan hidup, beroleh penghasilan besar saat musim panen.
Tak hanya itu, Nur juga jeli melihat peluang. Semenjak pariwisata di Dieng semakin ramai, permintaan buah carica (carica pubescens/carica candamarcensis), buah khas dataran tinggi Dieng, semakin meningkat. Buah yang masih kerabat pepaya ini hanya tumbuh di 3 negara, di Pegunungan Andes Amerika Selatan, Argentina dan di Dieng. Coba saja membawa buah carica untuk ditanam di tempat lain, biasanya tidak akan berhasil.
Tanaman yang dulunya tak bernilai itu kini menjadi primadona. Ia pun menanam pohon carica dengan sistem tumpang sari di ladang kentang miliknya. Hasilnya cukup memuaskan, paling tidak 50 kg selalu dihasilkan tiap kali panen. Ia akan menjual hasil panennya ke pengepul, yang biasanya telah ditunggu oleh para produsen makanan olahan buah carica.
Nurwati tengah memanen kentang |
Pemuda Membangun Desa, Secercah Harapan untuk Lahan Pertanian Dieng
Jika dulu para petani identik dengan orang-orang tua, kini mulai banyak pemuda yang mengabdikan dirinya untuk membangun desa, kembali ke kampung setelah menempuh pendidikan tinggi di berbagai kota. Tak sedikit yang turun menjadi petani, mengembangkan pertanian tradisional turun temurun dengan ilmu yang dimiliki. Kehadiran para pemuda dengan kapasitas yang mumpuni ini menjadi harapan baru bagi pertanian kentang di Dieng dan sekitarnya.
Menjadi petani kentang sudah mendarah daging bagi masyarakat di wilayah pengunungan Dieng. Mereka enggan untuk beralih komoditas lain karena hasil tanaman kentang masih menjanjikan.
Semoga dengan adanya para pemuda dengan ilmu yang mumpuni, dukungan dari pemerintah setempat dan kerja sama masyarakat, perlahan bisa mengembalikan kualitas lahan di sana. Selain itu, diharapkan ada sistem pertanian terintegrasi untuk menyelamatkan lingkungan tanpa harus menurunkan kualitas perekonomian masyarakat.
Edukasi ke masyarakat terkait lingkungan harus terus diberikan guna menyelamatkan pertanian Dieng untuk generasi yang akan datang.
Semoga nantinya muncul terobosan baru pertanian kentang ramah lingkungan atau masyarakat tergerak untuk menanam komoditi lain dan lebih memperhatikan kelestarian alam.
Jika bukan kita yang menyelamatkan, siapa lagi?
Semoga bermanfaat,
Salam,
Sumber:
1. Wawancara jarak jauh dengan Hamiin dan Nurwati
2. https://terastani.faperta.ugm.ac.id/2017/07/keadaan-usahatani-kentang-di-dataran-tinggi-dieng-kabupaten-banjarnegara-jawa-tengah/ (diakses pada tanggal 28 September 2020 pukul 17.29 WITA)
3. https://www.liputan6.com/regional/read/4085379/meraba-wajah-surga-pertanian-dieng-20-tahun-mendatang (diakses pada tanggal 28 September 2020 pukul 18.00 WITA)
Posting Komentar
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam