Kenangan di Angkringan
Angkringan, restoran ala kaki lima, pasti menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak kos. Terlebih mereka yang tinggal di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Saya sebagai anak kos _mahasiswa kere_ juga kerap kali menyambangi angkringan terdekat dari rumah indekos untuk membeli makanan/minuman.
Angkringan menjadi pilihan di antara warung makanan lain tentu karena harga relatif murah dan menu yang disediakan pun beragam.
Khas Angkringan yang Takkan Terlupa
1. Wedang Jahe atau Jahe Susu, Dopping Istimewa
Meskipun tinggal di Semarang yang panas, saat kurang enak badan, biasanya saya minum wedang jahe atau susu jahe. Favorit belinya di angkringan depan TK ABA Wonodri. Di sini, harganya lebih murah, plastik yang digunakan selalu plastik tebal, dan panasnya mantab sehingga sampai indekos pun wedangnya masih panas.
2. Makan Hemat Bisa Pilih Aneka Menu
Terkadang, selain untuk menyelamatkan diri karena uang saku sudah sangat menipis, makan di angkringan juga bisa memilih menu yang beragam dengan harga murah. Di angkringan dekat kos, yang paling kusuka adalah nasi kucing teri sambal ijo dan ayam krispi.
Oh ya, buat yang belum paham, "nasi kucing" atau "sego kucing" adalah istilah untuk menyebut nasi bungkus porsi kecil yang biasa dijual di angkringan. Porsi kecil_semacam untuk makanan kucing_ inilah makanya disebut "sego kucing". Isinya sekepal nasi dengan sejumput lauk dan pelengkap lainnya.
Saat itu, dengan uang 4 ribu rupiah saya sudah bisa dapat 2 bungkus nasi kucing dan 2 tahu bakso goreng. Sebenarnya, harganya hanya selisih sedikit dengan harga nasi penyet dengan lauk tempe/tahu/ikan asin, tapi makan sego kucing juga nikmat.
3. Angkringan Bakaran
Saat pindah indekos di daerah Singosari, kami terkadang membeli makan di sekitar Pleburan, di mana ada angkringan dengan menu lauk bakar.
Di sini, kita bisa memilih lauk yang akan dibeli, lalu pemilik angkringan akan menyelipkannya ke dalam sambal/bumbu setengah kental, lalu membakarnya di atas arang.
Hm... aroma bakarannya bikin terasa lebih nikmat, meskipun harganya lebih mahal dibanding angkringan biasa.
4. Air Dimasak Di Atas Arang Kayu
Salah satu hal yang bikin kangen dari angkringan selain menunya yang beragam adalah minumannya yang khas. Aromanya terasa lebih nikmat karena dimasak di atas arang kayu.
Tak semua angkringan memakai cara ini, tapi umumnya seperti itu, apalagi di Jogja dengan kopi joss-nya.
5. Gorengan khas Angkringan
Di Semarang, ada "gilo-gilo" istilah untuk menyebut makanan yang dijual dengan gerobak dorong. Biasanya berisi aneka buah dan gorengan. Nah, selain di "gilo-gilo" biasanya gorengan yang ada di angkringan serupa dengan itu. Beragam macamnya, dan harganya lebih murah.
Kalau saya sering ke angkringan saat "kantong kering", suami saya punya cerita beda lagi. Katanya, justru ke angkringan saat punya uang lebih, karena banyaknya makanan yang ada di meja dan tinggal ambil, tahu-tahu saat membayar totalnya banyak. Kalap! Wkwkwkwk. Asal jangan salah hitung atau pura-pura lupa dengan jumlah makanan yang diambil, ya. Hihi.
Kenangan Nongkrong di Angkringan
Selama kuliah, saya tidak pernah nongkrong di angkringan. Beli di sana hanya sekadar beli, memilih untuk makan di rumah. Alasannya karena kurang nyaman jika makan di tempat, terlebih umumnya tidak tersedia tempat duduk di luar, hanya di dalam tenda. Selain itu, biasanya dipenuhi kaum pria. Beli untuk dibawa pulang jadi pilihan paling tepat meskipun tidak ramah lingkungan.
Seingatku, saat masih kuliah dulu masih jarang angkringan dengan konsep yang lebih mewah seperti menyediakan meja untuk lesehan atau kafe dengan konsep angkringan.
Suatu hari, membonceng motor seorang sahabat, kami pulang dari daerah Wologito Semarang Barat menuju indekos di Semarang Selatan.
"Arin, lapar?" Tanyanya sambil melaju di jalanan yang gelap.
"Iya, udah lapar."
"Mampir angkringan, yuk!"
Tak lama, ia pun menghentikan laju motornya saat mendapati angkringan di pinggir jalan.
"Serius kita makan di sini?" Tanyaku ragu.
"Iya, kenapa?"
"Nggak apa-apa, nggak biasa aja, kurang nyaman."
"Sesekali nggak apa-apa, yuk."
Akhirnya kami pun masuk. Beruntung, hanya ada 2 orang bapak-bapak setengah baya yang tengah ngobrol dengan budhe yang jualan di angkringan.
Si Bapak juga mengajak kami ngobrol. Mungkin heran, maghrib-maghrib ada 2 orang mbak-mbak yang dengan santainya nongkrong di angkringan.
Berhubung sepi, kami bisa cukup lama ngobrol, sesuatu yang jarang bisa kami lakukan. Waktu itu, biasanya hanya janjian untuk bareng ke pengajian, lalu pulang ke indekos masing-masing. Karena bukan satu fakultas dan tidak tinggal di kos yang sama, praktis hanya bisa bertemu saat agenda-agenda organisasi atau jadwal ngaji.
Sampai sekarang, angkringan masih menjadi tempat yang asyik bagi tongkrongers. Setuju? vibes-nya tuh gayeng gitu ya kalau nongkrong di angkringan.
Oh ya, di Bali juga ada angkringan yang mengusung khas Jogja, tapi saya belum pernah mampir. Lalu ada seorang teman yang punya usaha angkringan, tapi sampai sekarang belum kesampaian main ke sana.
Mengingat kembali suasana angkringan, membuatku ingin makan di Angkringan Doeljo Semarang, dan menikmati segelas wedang jahe ditemani beberapa potong jadah bakar. MasyaAllah...
Kamu punya kenangan manis apa di angkringan?
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Aku sukaaaa. Bener mba, vibe nya itu beda sih makan di angkringan. Apalagi dengan banyaaak pilihan menu menggoda Yaa. Terus muraaaah pulaaaa 🤣. Aku tuh suka kalap dulu kalo udh milih lauk. Soalnya penasaran Ama semuanya 😂
So far sih pernah cobain makanan angkringan di solo Ama Jogja aja. Semarang aku blm coba. Ntr , kalo mudik ke solo lagi, pengen juga sesekali jelajah Semarang deh 😁