Menyambangi Desa Bali Aga Tenganan Pegringsingan
Assalamualaikum, Temans. Kali ini mau berbagi cerita tentang kunjungan ke Bali Ancient Village atau Desa Bali Aga Tenganan Pegringsingan.
"Yeay! Akhirnya wishlist-ku tercoret lagi satu!" Teriakku begitu terlihat plang "Desa Tenganan Pegringsingan" dari jauh. Yup! Ini adalah wishlist sejak tahun 2018, tak lama setelah pindah ke Bali.
Saya memang senang dengan wisata budaya seperti ini. Saya ingat dulu tahu desa ini dari acara di TV seputar traveling (entah "Runaway" atau "Koper Vs Ransel" saya lupa tepatnya).
Sekilas tentang Desa Tenganan Pegringsingan
Tenganan Pegringsingan merupakan sebuah desa tradisional di Pulau Bali, tepatnya di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Lokasinya tidak terlalu jauh dari jalur utama Denpasar - Karangasem. Awalnya saya pikir bakal melewati jalan yang terjal/sulit dilalui dan jauh dari jalan utama.
Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga, selain Trunyan dan Sembiran. Desa Bali Aga artinya adalah desa di mana masyarakatnya masih mempertahankan pola hidup dan tata masyarakat yang mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan. (Sumber: Wikipedia).
Bangunan-bangunan utama seperti bale-bale, masih mempertahankan kondisi sejak dulu. Pengunjung pun tidak boleh memasuki bale-bale yang biasa digunakan untuk acara tertentu.
Selain bale-bale, struktur rumah-rumah pun masih mempertahankan kondisi aslinya, khususnya di bagian fasad. Untuk hunian dan workshop kain tenun, rata-rata sudah disesuaikan dengan kondisi saat ini. Rumah-rumah sudah dibuat bangunan permanen dengan lantai keramik.
Pengunjung yang akan memasuki desa tidak dipatok biaya tiket, tetapi ada loket donasi yang letaknya tepat di sebelah galeri. Di depan loket donasi, terdapat patung kerbau yang merupakan ikon Desa Tenganan. Tiap sore, kerbau-kerbau itu akan jalan berkeliling desa. Tentunya tidak akan mengganggu pengunjung, mereka hanya beraktivitas seperti biasa. Menjelang gelap, kerbau-kerbau itu akan kembali ke kandang di ujung desa.
Seperti halnya Desa Wisata Penglipuran, desa Tenganan membentang dari utara ke selatan. Bedanya, desa ini lebih luas dan lebih terasa hawa tradisionalnya. Bangunan rumah berada di pinggir dan di tengah-tengah membentang bale-bale seolah memisahkan rumah warga di kedua sisi.
Kain Gringsing dan Lukisan Daun Lontar, Warisan Budaya Leluhur
Pernah melihat naskah peninggalan zaman dulu yang ditulis di atas daun lontar kering? Nah, saya seperti dilempar ke masa lalu ketika memasuki Desa Tenganan, mendapati bapak-bapak yang sedang tekun melukis di atas rangkaian daun lontar.
Saya ingat, dulu saya pernah sekali melihat naskah kuno daun lontar karena kakak kelas yang mengambil peminatan Filologi. Saat itu, beliau sedang menyusun skripsi yang berkaitan dengan naskah kuno. Kata beliau, untuk meminjam naskah itu dari Perpustakaan Wilayah juga tidak mudah. Lembar-lembar daun lontar kering dengan aksara Jawa tergores di atasnya itu, disimpan dalam kotak khusus yang terbuat dari kayu.
Setelah sekian tahun, baru di Tenganan saya kembali melihat lembaran daun lontar kering sebagai media melukis.
Pelukis ini akan membuat goresan di atas daun lontar dengan pisau khusus berujung lancip dan tajam. Setelah goresan selesai seperti yang diinginkan, akan diolesi dengan tinta. Tintanya pun bukan sembarang tinta melainkan terbuat dari kemiri. Warna hitamnya akan meresap ke dalam goresan yang telah dibuat dan tidak akan hilang/rusak meskipun digosok/digores.
Amazing! Kata saya dalam hati melihat karya-karya Pak Pelukis yang membuat kalender Bali, peta pulau Bali, kisah pewayangan, bahkan kalender Bali, dan masih banyak lagi. Lembaran duan lontar dirangkai dengan bambu dan menjadi lukisan cantik nan klasik yang bisa dipajang untuk memperindah ruangan. Sayangnya saya lupa menanyakan kisaran harga lukisannya.
Memasuki desa lebih dalam lagi, kami mendapati tulisan "Tenganan Traditional Textile Demonstration". Nah! Ini dia yang saya cari! Saya pun langsung menuju ke sana. Sayang ketika sampai, pemilik mengatakan alatnya sedang tidak bisa digunakan karena ada benang yang rusak. Hm.. baiklah, tak jadi mencoba menenun tak masalah. Beruntung beliau berbaik hati menjelaskan tentang proses pembuatan kain gringsing. Kain Gringsing ini adalah kain khusus yang ditenun dengan teknik dobel ikat. Penggunaannya pun biasanya untuk upacara - upacara tertentu. Bagi masyarakat Tenganan, tiap upacara, yang digunakan adalah kain Gringsing.
Harga selembar kain gringsing berupa selendang, mulai 2 juta hingga puluhan juta rupiah. Harga yang cukup fantastis, bukan? Tentu karena proses pembuatannya masih sangat tradisional, mempertahankan cara tradisional turun temurun. Mulai dari proses pewarnaan kain hingga jadi selembar kain bisa memakan kurang lebih 2 tahun bahkan lebih jika motifnya lebih rumit. Pewarna yang digunakan adalah pewarna alami, seperti kemiri dan daun-daun yang diambil dari hutan untuk menciptakan warna magenta, indigo, dan krem sebagi ciri khas kain Gringsing. Pembuatannya menggunakan alat tenun kecil, bukan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) untuk produksi yang lebih banyak. Benar-benar masih mempertahankan warisan leluhur.
Berjalan menyusuri Desa Tenganan memang seperti menyusuri lorong waktu menuju masa dulu. Masyarakat desa beraktivitas seperti biasa seperti menenun, membuat kerajinan untuk dijual, dll. Sore itu terlihat ibu-ibu bergerombol di depan rumah, bersantai setelah beraktivitas seharian. Pakaian yang mereka kenakan memang bukan kebaya, tapi semuanya mengenakan Kamen/rok kain Bali. Anak-anak pun asyik bermain dengan teman sebayanya. Suara kokok ayam terus bersahutan. Hampir di setiap sudut, riuh rendah suara ayam. Ayam-ayam itu dipelihara sebagai ayam aduan yang secara rutin digelar.
Meskipun desa ini adalah desa tradisional Bali tertua, aktivitas sehari-hari masyarakat sudah terwarnai oleh teknologi dan perkembangan dunia modern. Mereka tetap mempertahankan warisan leluhur tetapi juga menerima perkembangan dunia modern. Sesekali sepeda motor berseliweran melintasi jalan desa, yang setiap derunya disambut dengan kokok ayam.
Oh ya, di sini, anjing juga berkeliaran dengan bebas. Mereka tak takut dan tidak menggonggong meskipun bertemu dengan orang asing. Mungkin karena sudah terbiasa setiap hari bertemu dengan orang tak dikenal, maka tak dianggap mengganggu/berbahaya. Mereka dengan santai berjalan ke sana ke mari. Di depan rumah, juga di lorong-lorong tempat demo menenun. Jujur, awalnya takut juga apalagi kalau ketemu yang warnanya hitam dan badannya besar. Hahaha.
Buat Temans yang senang dengan wisata budaya dan ingin mengetahui tentang kain tradisional Gringsing khas Tenganan Bali, wajib banget untuk menyempatkan datang ke sini untuk eksplorasi seputar kain tradisional dan bercengkrama bersama warga Desa Tenganan.
Semoga bermanfaat,
Salam,
Posting Komentar
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam